“Kami disebut pemulung” Ujar Hadra, memulai kisahnya. “Tidak apa. Tidak apa jadi pemulung kalau bisa menyelamatkan lingkungan. Bahkan apalagi kalau bisa menghasilkan ekonomi baru” sambungnya tersenyum lebar.
Di sebuah rumah kecil di Desa Tokorondo, 5 perempuan nampak sibuk diantara sampah-sampah plastik kemasan. Beberapa menggunting, yang lainnya menganyam. Di dua rak sederhana dalam ruangan berukuran 3 x 6 meter itu terdapat beberapa produk anyaman dari sampah. Dompet berbagai ukuran dan warga, tempat gelas, tas berbagai ukuran, pigura dari kertas koran dan beberapa kotak sebagai wadah tersusun rapi di rak yang lebih tinggi. Rak lainnya menampung beberapa kardus berisi berbagai sampah plastik, alat kerja tapi juga bahan-bahan pokok seperti sabun, sikat gigi, minyak , buku tulis dan lainnya.
Di hadapan turis dari Belanda dan Austria yang mengunjungi bank Sampah hari itu, Hadra menceritakan inisiatif awal bank Sampah.
“Semua berawal dari kelas sekolah perempuan Mosintuwu khususnya ekonomi solidaritas” cerita Hadra. Mengikuti kelas ekonomi solidaritas, Hadra menyadari bahwa sampah bisa menjadi masalah besar tapi juga bisa menjadi sumber ekonomi bila dikerjakan dengan kreatif.
Bermodalkan menonton tutorial di youtube, Suryani seorang remaja tuna rungu yang dikenalnya, diajak untuk memulai menganyam sampah-sampah dari gelas plastik kemasan. Awalnya hanya produk keranjang, pola yang biasanya ditemui di pasar tradisional Poso. Dalam perkembangannya, Suryani mengembangkan pola-pola baru seperti membuat dompet kecil, lalu tas-tas dan wadah-wadah kreatif lainnya. Hadrah kemudian mengajak anggota sekolah perempuan lainnya dari Desa Tokorondo serta ibu-ibu di sekitar wilayahnya untuk bergabung mengembangkan produk kerajinan dari sampah.
“Sekarang produk kami sudah sampai ke Belanda, dan Amerika. Orang-orang senang dengan produk bukan hanya karena bentuknya tapi niat kami melindungi lingkungan “ kata Hadrah.
Sejak berinisiasi memproduksi kerajinan dari sampah tahun 2016, produk-produk Bank Sampah yang diproduksi telah dibeli oleh turis dari mancanegara . Produk-produk ini dijual di galeri Dodoha Mosintuwu, di Tentena. Selain tamu dari dalam negeri, beberapa turis dari India, dan Amerika yang juga mengunjungi bank sampah tidak hanya membeli tapi juga ikut mengkampanyekan semangat dari bank sampah ini.
“Lihat rak di sebelah sana?” tangan Hadrah menunjuk rak yang terisi bahan-bahan makanan dan alat tulis, lalu mengambul buku besar dari rak . Dibantu penerjemah, Hadrah menjelaskan mekanisme bank sampah yang dibangun dalam program Usaha Desa Institut Mosintuwu. Tidak seperti bank sampah lainnya dimana sampah dibeli dengan uang, sampah di bank sampah Tokorondo ditukarkan dengan bahan makanan. Hadrah menjelaskan bahwa setiap sekian kilo sampah akan dihitung dengan rupiah, hasilnya bisa ditukarkan dengan barang kebutuhan yang tersedia.
“Dulu untuk beli kebutuhan alat tulis, anak-anak harus minta orang tuanya. Sekarang anak-anak sekolah mengumpulkan sampah yang ada di sekitar mereka untuk ditukarkan dengan buku tulis” ujar Hadrah bangga.
Bank Sampah yang dikelola kelompok perempuan desa Tokorondo bukanlah yang pertama dikembangkan oleh Institut Mosintuwu. Sejak diluncurkan pertama kali pada 16 Juli 2012 di Tentena, program ini masih berkonsentrasi di wilayah sekitar pinggiran danau Poso. Kelompok bank sampah pertama yang dibentuk justru di desa Peura dan Dulumai pada bulan April 2015. Sebulan kemudian, sekitar 20 orang perempuan dari 2 desa ini mendapatkan training keterampilan dasar menjahit untuk membuat aneka kerajinan dari kain bekas dan plastik bekas dari Ibu Sunarni, pengrajin dan pengelola Rumah Sampah di Jakarta.
Berbeda dengan ibu-ibu dari kedua desa ini, Hadra dan perempuan lain mendapatkan pengetahuan pengelolaan sampah dari materi ekonomi Solidaritas, salah satu kurikulum di kelas sekolah perempuan.
Pada awalnya hasil kerajinan bank Sampah di Tokorondo pada sisi kualitas dinilai masih kurang bagus. Proses belajar yang dilakukan terus menerus akhirnya membuahkan hasil. Selain tas dan keranjang dari plastik botol minuman ringan, kini mereka mengembangkan produk berupa tatakan gelas yang ternyata banyak diminati untuk menghias meja makan.
Dompet kecil dihargai 150 ribu rupiah, tas keranjang juga 150 ribu rupiah menjadi contoh betapa berharganya sampah plastik ditangan kelompok perempuan. Selain mengurangi sampah yang tidak terurai juga membuka lapangan pekerjaan di desa.
Bukan hanya tempat beraktifitas perempuan-perempuan Tokorondo, Gallery mereka juga menjadi tujuan studi banding dari kelompok desa lain di kabupaten Poso hingga daerah lain. Awal Mei 2017, belasan mama-mama dari kabupaten Waropen, Papua mengunjungi bank sampah untuk mempelajari bagaimana berbagai kerajinan itu diproduksi dan apa semangat yang melatarinya.
“Ini studi tiru” ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Waropen. “kami akan mengerjakan hal yang sama di Waropen”
Banyaknya kerajinan berbahan sampah tentu saja dibarengi harapan masyarakat tidak membuang sembarangan secara sembarangan, terutama sampah plastik. Kecenderungan hidup instan yang tumbuh satu dekade terakhir mendorong penggunaan plastik yang sulit dikontrol. Bahkan, bila hari ini kita ke pasar, hampir semua pedagang menawarkan bahkan sedikit memaksa menggunakan tas plastik untuk setiap dagangan yang dibeli, mulai dari sayur, ikan sampai rempah-rempah.
Setiap hari, menurut data tahun 2014 dari dinas Tata Kota dan Pemukiman Penduduk, produksi sampah masyarakat Poso mencapai 24 ton, sebagian besarnya adalah plastik. Dari jumlah ini, tidak sampai setengahnya yang bisa diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sekitar 55 persen dibakar atau dibuang ke sungai. Data dari kementerian lingkungan hidup menyebutkan, setiap orang memproduksi sampah antara 0,5 sampai 0,8 kilogram setiap hari. Sementara, inisiatif membangun bank Sampah masih minim. Di kecamatan Poso Pesisir bersaudara, mulai dari Pesisir, Pesisir Selatan sampai Pesisir Utara, baru kelompok bank Sampah Poso Pesisir yang diketahui ada. Di kecamatan lainnya, ada di Pamona Puselemba, tepatnya di bank sampah Mosintuwu kelurahan Pamona.
Di Bank Sampah yang dikelola institut Mosintuwu, masyarakat diajak untuk tidak membuang segala jenis sampah plastik, sebaliknya menabungnya. Sampah-sampah yang ditabung ini kemudian akan diolah menjadi sesuatu yang bernilai seperti kelompok ibu Hadra. Karena itu melihat bank Sampah Mosintuwu adalah soal komitmen mengajak masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarang dan menyumbangkan diri dalam aktivitas penyelamatan lingkungan hidup.