Bila hari raya Idul Fitri atau Idul Adha tiba, banyak motor dan mobil dari Tentena menuju Poso. Saat Natal di bulan Desember, giliran mobil dan motor dari Poso Kota yang banyak menuju Tentena. Begitu pemandangan di jalan raya saat hari raya di kabupaten Poso.
“Kalau Natal, torang pigi pasiar sama teman-teman di Tentena. Nanti lebaran, dorang juga datang pasiar kemari”. Begitu Rahman menggambarkan eratnya hubungan mereka meski berbeda keyakinan. Saat lebaran, rumah warga kelurahan Kasintuwu, Poso Kota Utara ini banyak dikunjungi teman-temannya yang beragama Kristen.
Joshua Fery, rutin menyapa teman-teman muslimnya saat lebaran tiba. Dia selalu membawa rombongan saat lebaran ke Poso Kota untuk bersilaturahmi kepada mereka yang merayakannya.
“Sudah setiap lebaran saya mendatangi rumah teman-teman di kota Poso sama keluarga dan teman-teman. Selalu ada sambutan yang hangat,”. Lebih dari satu rumah yang disinggahi. Selama masih kuat, demikian istilah mereka, mereka akan singgah di semua rumah keluarga dan teman beragama muslim di wilayah Poso Kota. Kalau sudah lelah, maka pesan singkat berisi permohonan maaf yang akan dikirimnya kepada pemilik rumah yang tidak sempat disinggahi.
Joni, termasuk diantara orang-orang yang bersilaturahmi atau bahasa sehari-hari pesiar saat lebaran tiba. Bersama istri dia mengunjungi rumah Rianto, sahabatnya yang tinggal di kelurahan Sayo, Poso Kota Selatan. Bersama Rianto, mereka kemudian bersama-sama mengunjungi rumah lain yang sebelumnya tidak dikenalnya. Meski awalnya canggung, dia akhirnya bisa terlibat obrolan panjang dengan tuan rumah yang baru dikenalnya. “Itu asiknya kalau hari raya begini, banyak makanan, teman tambah banyak juga” kata Joni sambil tertawa.
Saling mengunjungi di hari raya bagi Rahman, Feri dan Joni adalah merawat pertemanan dan untuk merayakan kegembiraan ditengah makin menguatnya ekslusifisme masyarakat perkotaan seperti yang ditunjukkan beberapa hasil survey belakangan. Kecenderungan yang dikritik oleh ketua MUI kota Palu, Zainal Abidin menjadikan agama sebagai berhala namun melupakan intinya, yakni keberimanan. Sementara Ustadz Junaidi, dalam khotbahnya di masjid raya Donggala mengingatkan pentingnya merawat budaya sebagai modal menjaga kebinekaan ditengah masyarakat.
Kehidupan bertoleransi sempat terancam oleh bangkitnya radikalisme yang diedar melalui media sosial, belum lagi peran pemerintah orde baru juga tidak kalah besar. Dahulu di Desa Malei, kata Irmawati, warga yang beragama Islam maupun Kristen saling memberi dan berkunjung saat hari raya Idul Fitri maupun Natal tiba. “Tapi setelah sekitar tahun 80an ada larangan mengucapkan selamat hari Natal kepada saudara yang Kristen, semua mulai berkurang. Tapi kami disini tetap seperti biasa, mengucapkan selamat Natal dan yang kristen juga begitu”.
Yang menyenangkan, di perayaan Idul Fitri di Poso, seruan berbuat kebaikan dikumandangkan dalam khotbah. Seperti khotbah shalat Ied di lapangan Kasintuwu, Poso Kota Utara yang dihadiri seribuan umat Islam. “ingat mati. Karena itu berbuat baiklah” begitu inti khotbah yang disampaikan dengan nada serius.
Konflik yang jadi Refleksi Bersama
“ Dulu sewaktu konflik, ada itu nenek yang sudah angkat cucunya buru-buru mengungsi ke hutan sampai lupa kepala cucunya so dibawah “ gelak tawa menyertai percakapan siang hari itu di rumah Evi Tampakatu, warga muslim Kelurahan Tegalrejo. Cerita disambung oleh Cici, warga Kristen dari Tentena yang hari itu berkunjung.
“Di Galuga, ada itu ibu sudah bawah itu gerobak isi semua pakaian dan makanan untuk pakai mengungsi dan dorong sambil berlari . Dia tidak sadar kalau di gerobaknya ada orang yang juga ikut didalam. Tapi tidak kerasa beratnya” Cici menghentikan ceritanya karena seluruh ruangan membayangkan suasana saat itu. “ itu gerobak dibawa sampai di Polres, di sana baru kerasa berat sekali dan sadar kalau ada orang di dalamnya”
Konflik kekerasan dan bagaimana dinamika komunitas menghadapinya tidak lagi diceritakan dengan kengerian yang menguatkan trauma, sebaliknya menyadarkan pentingnya menguatkan pengertian dan kepercayaan .
“Kita dulu bodoh sekali bisa dibuat saling berkelahi sama orang luar” cerita Martince, warga Kristen lainnya. Padahal, sambung lainnya, sejak Kabupaten Poso belum berdiri sejarah kawin mawin dan ikatan saudara lintas agama menjadi hal yang sangat biasa di Poso. “Beragama jadi urusan pribadi, yang penting bersaudara itu diingat” lanjut Martince.
Di rumah-rumah yang dikunjungi, saling bercerita tentang bagaimana dulu menghadapi konflik disampaikan dengan refleksi betapa pentingnya untuk tidak lagi menjadi bagian dari sejarah gelap kekerasan. “So cukup kita alami dan merusak kita semua. Sudah terbukti menang jadi arang, kalah jadi abu. Tidak ada gunanya “ demikian Bale, warga muslim yang hari ini kedatangan teman-temannya dari Tentena.