Relawan Mosintuwu : Karena Berbagi tidak Merugikanmu

1
2139

Karena berbagi tidak merugikanmu. Setidaknya demikian pepatah yang menggambarkan semangat kurang lebih 11 anak muda dari berbagai wilayah yang menjadi relawan di Institut Mosintuwu. Menjadi relawan di antara tuntutan pertanyaan entah dari orang tua maupun dari lingkungan soal pekerjaan dan jabatan, tentu bukan hal yang mudah. 

“Saya ingat pesan nabi Muhamad SAW, sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya” demikian Dwiki, seorang anak muda asal Malang lulusan ITB menjelaskan alasannya bergabung membantu Institut Mosintuwu. Dwiki bersama Adi, seorang relawan lainnya bergabung di Sustainable Energy Movement, sebuah komunitas yang menawarkan energi terbarukan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Meskipun hanya singkat dan dalam rangka sebuah kerjasama jangka panjang, kehadiran keduanya menjadi contoh semangat anak muda berbagi pengetahuan yang dimiliki untuk kebutuhan sosial.

“Karena pendidikan itu seharusnya hasilnya adalah memberdayakan masyarakat” tungkas Adi. 

Bagi Adi, semuda apapun, setiap pengetahuan dan hasil dari sebuah pendidikan hendaknya dibagikan bagi masyarakat yang membutuhkan. Sementara itu, Ray Rare’a seorang relawan lainnya mengatakan visinya ditemukan bersama dengan aktivitas di Institut Mosintuwu. Keahliannya dalam menggunakan kamera film digunakan untuk merekam berbagai aktivitas organisasi menjadi film dokumenter atau film pendek. Sejak awal bergabung menjadi relawan di Institut Mosintuwu, Ray sudah menghasilkan 2 video dokumentasi dan beberapa video kampanye organisasi. Sambil tetap kuliah di kampus Universitas Kristen Tentena, Ray selalu menyempatkan diri untuk membuat karya-karya video.

Baca Juga :  Perempuan Mencari Air di Kabupaten Air

Menyusul Dwiki, Adi dan Ray, mahasiswa asal Univesitas Tadulako Palu dan Universitas Pertamina masing-masing Maulana dan Muhamad Yasri meninggalkan keluarga mereka untuk menjadi relawan di Institut Mosintuwu. Di Mosintuwu mereka diberikan tanggungjawab mengerjakan beberapa hal penting, misalnya mengurus Radio, Comunity Workspace, Perpustakaan dan membuat film pendek.

Pertanyaan seperti “Mau dapat apa memangnya kalau jadi relawan?” atau “Memangnya kamu mau dibayar berapa disana” antara lain menjadi pertanyaan sinis yang diajukan bagi mereka yang menjadi relawan. Menjadi relawan atau volunteer yang bekerja diluar situasi bencana memang jarang, apalagi di kabupaten Poso. Biasanya banyak yang langsung menanyakan honor atau gaji sebagai syarat untuk bekerja meskipun di lembaga sosial.

Namun bagi mereka yang menjadi relawan di Institut Mosintuwu, pengalaman bertemu dan bekerjasama dengan pihak lain adalah bayaran yang punya nilai tinggi. 

“Kami senang karena bukan hanya bertemu banyak orang tapi juga kami dipercaya untuk melakukan sesuatu termasuk berkreativitas. Jarang ada yang menghargai ide-ide anak muda. Biasanya banyak yang bilang ‘ apa juga yang kamu tahu? Tapi kalau di sini kami bisa belajar sekaligus mengembangkan ide” ujar Ray

Christina Luminda, selama menjadi relawan bergabung di divisi Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak. Selama dua minggu, mahasiswi semester akhir di STT GKST ini turut mendampingi advokasi kasus kekerasan terhadap anak hingga ke wilayah kecamatan Lage. Dia mengatakan, melakukan pendampingan kasus secara langsung menambah pengalaman dia yang dalam beberapa peristiwa di kampung halamannya juga dimintai untuk menjadi pendamping.

Baca Juga :  Setelah Konflik, Mungkinkah Membicarakan Poso yang Plural ?

Maulana juga adalah relawan yang membantu pembuatan film bersama Ray. Ini merupakan pengalaman pertama dia menjadi relawan ditempat yang jauh dari keluarganya.

“Mencari pengalaman, menambah wawasan dan pengetahuan. Sekaligus juga mengisi libur kuliah”begitu asalan yang dikemukakan mahasiswa semester 4 jurusan Komunikasi itu. 

Relawan : Berbagi dengan Belajar 

Pekerja relawan di Institut Mosintuwu bukanlah hal baru. Sejak awal berdiri, setiap tahunnya Institut Mosintuwu menerima relawan yang membantu kegiatan di kantor maupun aktivitas di desa-desa. Menariknya sebagian besar berasal dari luar negeri. Sebagian besar adalah mahasiswa dari universitas di Eropa dan Amerika Serikat. Menjadi relawan, terutama dari luar negeri, tidaklah mudah. Setiap mereka yang akan menjadi relawan akan melalui proses wawancara terkait visi misinya. 

Sejak tahun 2012, Institut Mosintuwu telah menerima 82 volunter dari dalam dan luar negeri. Sebagian besar relawan dari luar negeri khususnya negara-negara Eropa menjadi volunter sebagai bagian wajib dari proses perkuliahan. Meskipun wajib, menjadi volunter tahun 2013 di Mosintuwu, bagi Hannah seorang mahasiswa asal Manhattan, New York adalah kesempatan untuk melatih dirinya di lingkungan yang baru . 

Sementara itu bagi Paul dan Monika, volunter dari Austria beranggapan bukan hanya belajar tetapi mereka juga mengharapkan dapat berkontribusi pada masyarakat. Selama 3 bulan menjadi volunter di Mosintuwu, Paul dan Monika melakukan penelitian tentang lokasi wisata di Kabupaten Poso. Sebagai hasilnya, mereka berkontribusi membuat buku ekowisata di Kabupaten Poso yang berpusat di Dodoha Mosintuwu.  Selain menyusun buku pariwisata yang dipenuhi informasi menarik tentang Poso, keduanya juga menjadi pelayan restoran dan  mengajar anak-anak belajar bahasa Inggris setiap hari Rabu. 

Baca Juga :  1 Tahun Pandemi di Poso, Korban Bertambah, Hadapi Infodemik dan Ketidakpedulian

Bekerja sebagai relawan adalah salah satu semangat yang dikembangkan oleh Mosintuwu. Mosintuwu sendiri dalam bahasa Pamona berarti bekerja bersama-sama tanpa pamrih. 

Lama tidaknya relawan di Mosintuwu sangat tergantung pada kebutuhan organisasi dan kesiapan relawan. Paling singkat waktu menjadi relawan di Mosintuwu adalah 2 minggu. Paling lama adalah 6 bulan, dilakukan oleh Shane, mahasiswa asal Australia. Saat ini sebanyak 8 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi ( STT ) Tentena menjadi relawan di Mosintuwu selama 2 minggu. Kedatangan Jeniarto Kaluti, Christina Luminda, Neni Palewa, Elvin Biulu Prischilla Ch. Kubika, Friskal D. Paesa, Roynaldo Setagau dan Ezra F. R. Tegel yang calon pendeta dan guru agama ini merupakan bagian dari program turun lapangan dari kampus. Adapun dua orang lainnya adalah mahasiswa dari Unkrit Tentena, Universitas Tadulako Palu dan Universitas Pertamina Jakarta.

“Bekerja dengan relawan di Mosintuwu memperkaya visi Mosintuwu khususnya dalam rangka menguatkan gerakan berbagi atas nama kemanusiaan. Karena itu agama bukan masalah untuk berbagi, sebaliknya jadi motivasi untuk berbagi” Sin Budjalemba, sekretaris Institut Mosintuwu menggambarkan visi kerelawanan di Mosintuwu.

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda