Takbir Persaudaraan di Kota Pusat Gereja Sulawesi Tengah

0
3109
Mesjid di Poso, foto oleh Wahid Mewanta

Sejak seminggu sebelum perayaan Idul Adha, Tirza dan teman-teman kelasnya di Sekolah Tinggi Teologia  GKST Tentena sibuk dengan persiapan khusus. Kali ini bukan untuk kegiatan di gereja, yang sering dilakukan. “ Kami akan ikut pawai Idul Adha” jelasnya antusias. Ini pertama kalinya bagi Tirza dan banyak mahasiswa STT Tentena menjadi bagian dari pawai Idul Adha. “ Ini juga pertama kalinya pawai Idul Adha diikuti oleh orang Kristen “ sambung Fatimah, warga muslim di Tentena. 

Tentena, kota kecil di Kabupaten Poso  selain dikenal dengan Danau Poso dan air terjun Salupoopa, juga merupakan kota dimana pusat pelayanan gereja-gereja se Sulawesi Tengah dilakukan. Hanya terdapat 1 mesjid , sementara gereja-gereja dari berbagai denominasi tersebar di hampir semua jalan besar dengan jarak yang berdekatan. 

Pun ketika 99 % warga di kota Tentena beragama Kristen, tidak mengurangi semangat warga muslim Tentena untuk melaksanakan takbir akbar. Sebaliknya, warga Kristen khususnya mahasiswa Teologi yang kuliah di STT GKST Tentena pusat belajar calon pendeta, beramai-ramai mengikuti takbir akbar. 

Baca Juga :  Saat Natal Tak Lagi Tentang Kami Saja, Kisah Muslim Kristen Poso

Malam sebelum Idul Adha,  puluhan mobil dan motor berarak mengelilingi kota Tentena untuk takbir keliling. Ini kedua kali dilaksanakan pasca tahun 2000. Tahun lalu, juga ada takbir keliling menyambut hari raya Idul Fitri.

Takbir keliling ini tidak hanya milik warga muslim saja, dalam sejarahnya di Tentena dan kota Poso, baik takbir keliling maupun pawai Natal diikuti umat agama lain yang menunjukkan kuatnya solidaritas antar umat beragama kala itu. Namun elit dan negara membuat hubungan itu renggang setelah adanya larangan umat Islam mengucapkan selamat hari Natal. Kini semangat membangun kembali persaudaraan itu muncul dalam takbir keliling di Tentena saat merayakan lebaran Idul Adha. Dalam rombongan takbir puluhan motor dan mobil itu ada sejumlah pemuda dan pemudi Nasrani yang turut serta.

Berbaurnya pemuda Islam-Kristen dalam kegiatan keagamaan seperti takbiran sudah lama berjalan. Simson (48) warga Tentena yang kini bermukim di Poso Kota menceritakan bagaimana dirinya turut memegang mic pengeras suara diatas mobil saat takbiran lebaran di Tentena awal 90an. 

Baca Juga :  Kurikulum Sekolah Perempuan : Perempuan Agen Perdamaian dan Keadilan

“Saya malah pernah pegang mic diatas mobil sama teman-teman muslim waktu takbiran, tidak ada masalah sama sekali karena kami merasa semua saudara”Simson menambahkan pengalaman dia ikut takbiran bukan hanya di Tentena saja tapi juga di Poso Kota.

Bukan hanya saat takbiran warga Poso menunjukkan kebersamaannya. Di desa Malei perayaan Isra Miraj melibatkan warga Kristiani dalam kepanitiaannya. Begitu pula saat perayaan Natal bersama di kampung, warga muslim turut menjadi penerima tamu.

Idul Adha juga dikenal sebagai Idul Qurban, yakni umat Islam yang memiliki kelebihan menyumbangkan daging hewan untuk dibagikan kepada warga kurang mampu. Pembagian daging qurban biasanya diutamakan kepada perempuan dan janda yang kurang mampu. Pemotongan hewan Qurban dilaksanakan kembali di masjid Baiturahman (sebelumnya bernama masjid Al Azikin) pada tahun 2007 silam, 4 tahun pasca konflik melanda kabupaten Poso.

Di Tentena sendiri umat Islam untuk pertama kalinya menggelar takbiran keliling Selasa malam. Rombongan motor dan mobil berjalan mulai dari masjid Baiturahman kelurahan Sangele menuju ke desa Soe kemudian berputar kembali menuju Tentena.

Baca Juga :  Berulang di Poso, Petani Lagi yang Jadi Korban MIT

Hj Timang, warga kelurahan Sangele mengatakan, perayaan Idul Adha yang berjalan dengan lancar menunjukkan semakin harmonisnya kehidupan masyarakat di wilayah Tentena dan sekitarnya. 

Meski tidak seramai Idul Fitri dimana orang-orang saling mengunjungi, hari raya Idul Adha atau hari raya haji biasanya hanya diisi dengan makan-makan bersama dengan masakan masakan daging sapi yang dimasak kare bersama-sama  dengan keluarga.

Bagikan
Artikel SebelumnyaMontibu, Suara dari Air untuk Jaga Danau Poso
Artikel SelanjutnyaMenemukan Akar Pancasila di Budaya Poso
Pian Siruyu, jurnalis dan pegiat sosial. Aktif dalam kegiatan kemanusiaan sejak konflik Poso. Sejak 2005 aktif menulis di surat kabar lokal dan media online. Sekarang aktif menulis tentang isu ekonomi, sosial, politik di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah untuk media Mosintuwu termasuk berita di Radio Mosintuwu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda