Wiwit, tidak pernah menyangka sosial media yang menjadi tempatnya mengekspresikan diri menjadi sorotan seluruh warga Poso di pertengahan bulan Agustus. Mengaku bahwa akun FB miliknya dibajak, ujaran kebencian terhadap agama tertentu menghiasi halaman akun miliknya. Peristiwa di akun FB Wiwit, sebelumnya dimulai dengan akun FB milik RJA, seorang guru yang memberikan komentar terhadap kelompok agama tertentu. Kedua peristiwa ini menjadi salah satu contoh ujaran kebencian yang terjadi di Kabupaten Poso di tahun 2018. Sebelumnya, sejak 1998, ujaran kebencian-lah yang mendorong konflik kekerasan di Kabupaten Poso. Saat ini Kepolisian di Poso menangani sekitar 5 pengaduan yang berkaitan dengan perkara ini. Ujaran kebencian ini muncul justru dari hoaks.
Melawan, terutama mencegah ujaran kebencian memerlukan kepekaan dan pemahaman yang harus terus menerus dilakukan. Hal ini mendorong sejumlah agamawan, pegiat budaya dan kepolisian Poso berkumpul menyusun sebuah langkah berupa kontra narasi. Pertemuan bersama ini diselenggarakan dalam bentuk lokakarya yang difasilitasi oleh Institut Mosintuw, Fahmina Institute dan Imparsial di Poso, 19 September 2018.
Ustadz Asri Lakuntu, menyebut orang-orang yang menyebarkan kebencian keliru menggunakan dalil agama. Sebab agama menurut dia tidak pernah menggugat keserasian antar umat beragama dimanapun dimuka bumi ini.
Masih menurut Asri Lakuntu, melawan Hoaks atau ujaran kebencian harus tegas, sebab mentoleransi sesuatu yang intoleran lebih dari sikap intoleransi itu sendiri.
Sama seperti Asri Lakuntu, akademisi STT GKST Tentena, DR Asyer Tandapai mengatakan banyaknya ujaran kebencian berbungkus isu agama tidak lepas dari sikap menduga-duga tanpa terlebih dahulu membangun basis data dan analisis tentang isu yang sedang dibicarakan.
Dalam kasus ujaran kebencian yang terjadi di kabupaten Poso, pangkalnya adalah ketidaktahuan dan informasi palsu atau Hoaks. Misalnya, kasus ujaran kebencian tahun 2017 lalu dimana seorang oknum pegawai menyebut seorang tokoh agama yang ditolak sekelompok orang di Bali sebagai provokator, pernyataan di media sosial ini langsung menantik kemarahan sekelompok warga Poso hingga nyaris membuat si pembuat pernyataan diamuk. Dalam kasus ini, si pembuat pernyataan tidak memiliki pengetahuan memadai tentang apa yang disebarkannya sementara mereka yang mengancamnya juga sama, ada mekanisme hukum yang harus ditempuh.
“Kita harus menyadari ujaran kebencian itu selalu ada, karena itu kita juga harus selalu hadir untuk melawannya. Sebab tidak semua pengguna media sosial itu bijak menggunakannya”kata ustadz Asri Lakuntu mengenai makin seringnya paham kebencian disebarkan lewat Medsos.
Jika melihat angka kasus ujaran kebenncian yang terus meningkat di Indonesia apalagi jelang tahun politik, maka untuk melawannya juga tidak instan, Asyer menawarkan dua langkah yakni mendidik anak-anak dari dalam rumah sendiri , sosialisasi di sekolah dan mengisi mimbar agama dengan ceramah menyejukkan.
Sementara itu, Kapolres Poso AKBP Bogiek Sugiarto menyebut pihaknya mewaspadai kampanye hitam dalam politik saat ini sebab tidak menutup kemungkinan penggunaan ujaran kebencian untuk menyerang kelompok lainnya.
Baso Ali dan Kruyt, serta Silsilah Keluarga untuk Lawan Kebencian
Dalam percakapan bersama di
sepakati, nilai-nilai Pancasila dapat menjadi landasan untuk melawan ujaran kebencian yang semakin banyak menarik isu-isu agama sebagai bahan bakarnya. Selain Pancasila, nilai budaya dan sejarah akan dijadikan alat untuk memperkuat persatuan warga agar tidak mudah di provokasi oleh para penyebar kebencian. Dalam konteks di Kabupaten Poso, menemukan kontra narasi ujaran kebencian yang memiliki nilai Pancasila adalah dengan menggali sejarah perjumpaan , nilai kebudayaan dan cerita kekeluargaan yang hidup di Kabupaten Poso sejak lama.
Dalam penelitian yang dilakukan DR Asyer menemukan, agama Islam masuk ke tana Poso dengan damai demikian juga dengan agama Kristen, semua diterima dengan damai. Cerita tentang pertemuan misionaris Kristen AC. Kruyt dan tokoh Islam saat itu, Baso Ali, adalah bukti awal adanya dialog kemanusiaan. Bahkan dalam sejarah diceritakan bahwa Baso Ali mengajak AC Kruyt menginap di rumahnya dan mengantar misionaris Kristen ini ke wilayah untuk bisa mennginjil. Sejarah ini kemudian mempengaruhi generasi orang Poso selanjutnya yang sangat toleran, hidup berdampingan dengan penganut agama berbeda tanpa ada persoalan.
Sejarah keharmonisan hubungan Baso Ali dengan A.C Kruyt menjadi modal kuat bagi generasi sekarang di Poso untuk menangkal berbagai hasutan untuk saling benci yang makin mengkhawatirkan belakangan ini.
Simbol keharmonisan beragama itu masih bisa kita temukan di rumah tua peninggalan Baso Ali di kelurahan Mapane yang dibangun tahun 1918. Asyer mengatakan, ruman ini memiliki narasi ketuhanan bagi semua orang Poso. Ketika Mapane diserang saat konflik terjadi, rumah ini dan mushala disampingnya tidak disentuh oleh para penyerang. Sejumlah sumber menyebutkan para penyerang menghormati Baso Ali. Demikian pula ketika Kasiguncu mendapat serangan, Gereja Bethesda sama sekali tidak tersentuh, para penyerang disebut menghormati tokoh-tokoh agama pada masa sebelumnya yang hidup saling membantu tanpa membedakan agama.
Bukan hanya sejarah abad ke-18 dan 19, pada saat kerusuhan, banyak kita temukan narasi persahabatan diantara orang-orang Islam dan Kristen saat bertemu di hutan karena sama-sama mengungsi. Mereka saling melindungi dan membantu. Keyakinan bahwa semua orang Poso bersaudara ditunjukkan perempuan-perempuan penjual ikan dari desa Tokorondo yang berjalan kaki memasuki desa-desa berpenduduk mayoritas Kristen di Kasiguncu hingga Tangkura juga menunjukkan masih adanya ikatan persaudaraan itu.
Narasi yang dimilik oleh banyak orang Poso tersebar di hampir semua desa. Mengangkat kembali narasi tersebut akan menjadi modal bersama masyarakat Poso meyakinkan diri sebagai satu rumpun keluarga yang beragam namun saling menghargai .
Selain narasi-narasi, percakapan antar tokoh agama Islam, Kristen dan Hindu dalam pertemuan lanjutan di Tentena, 22 – 23 September 2018, menemukan bahwa orang Poso adalah satu darah. All Tampakatu, misalnya, selama ini menyangka bahwa keluarganya berasal dari Tojo dan beragama Islam. Pada suatu ketika terkejut ketika mendengar bahwa keluarganya juga beragama Kristen dan tinggal di Tentena. Hal ini dikarenakan fam dari marga orang tua perempuan tidak muncul dalam silsilah keluarga. Tradisi pemberian nama di Kabupaten Poso memang hanya mewariskan fam dari orang tua laki-laki. Penelusuran silsilah keluarga pada akhirnya menemukan jalinan kekeluargaan lintas agama dan suku di Kabupaten Poso .
“Jika sudah demikian” , ujar All, “untuk apa kita saling memusuhi dan menghujat apapun agama kita? “
Dialog yang terjadi akrab diantara 20 tokoh agama, ini menyepakati gerakan bersama melawan ujaran kebencian di Kabupaten Poso. Saat ini kelompok kerja penguatan kebhinekaan Poso sedang menyusun narasi sejarah Poso untuk menjadi sejarah milik orang Poso.