Saat gempa berkekuatan 4,9 skala richter mengguncang kota Tentena yang tenang siang sekitar pukul 12:21 wita warga berhamburan keluar rumah. Satu jam sebelumnya gempa yang lebih kecil juga dirasakan. Setelah dua kali goncangan itu, aktifitas kembali berjalan seperti biasanya sampai kemudian guncangan kembali terjadi sore pukul 16:00 wita. Kali ini linimasa media sosial mulai ramai menebar kepanikan, lapangan sepakbola desa Tonusu amblas, ada lokasi di pinggiran danau Poso sudah tenggelam, hati-hati tsunami.
Sesaat setelah gempa sore itu, hampir setengah penduduk desa Tonusu mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Sebagian besar ke bukit di jalan menuju Bada, sebagian lagi di kebun-kebun dibelakang desa. Semua panik, menyangka gelombang tsunami akan datang menyapu desa di pinggir danau Poso ini. lebih dua ratus warga Tonusu mengungsi malam itu, ratusan warga di desa tetangga juga dilaporkan mengungsi.
Kepala desa Tonusu yang dihubungi wartawan malam pasca gempa itu mengatakan, sebelumnya dia hanya mengumumkan lewat pengeras suara agar jika gempa kembali terjadi segera keluar rumah. Namun warga merespon dengan mengungsi. Kurangnya pengetahuan mengenai gempa dan tsunami membuat kepanikan mudah terjadi.
Trauma dan kepanikan yang dirasakan warga Poso bukan hanya karena ada bencana dahsyat di Palu namun juga karena tidak adanya informasi memadai yang menjelaskan bagaimana seharusnya menghadapi fenomena alam itu. Neni Muhidin, pegiat literasi yang juga anggota tim ekspedisi Palu Koro menekankan pentingnya masyarakat diberikan pengetahuan mengenai bencana dan mendapatkan informasi yang didasarkan pada dokumen penanganan bencana yang kuat dan siap dilaksanakan kapanpun yakni dokumen rencana kontingensi.
Ada beberapa catatan yang disampaikan Neni Muhidin dalam dialog di radio Mosintuwu 107.7 fm khususnya mengenai kesiapan pemerintah daerah. Bukan hanya ketersediaan logistik tapi lebih dari pada itu adalah rencana mitigasi yang siap dilaksanakan dilapangan. Kesiapan itu bisa dilihat dari apakah pemerintah daerah Poso memiliki dokumen rencana penanganan bencana, termasuk didalamnya apakah sudah memiliki peta-peta wilayah rawan bencana.
Salah seorang warga bertanya, apakah pemerintah sudah memiliki peta wilayah rawan bencana dan apakah perda RTRW sudah mempertimbangkan wilayah-wilayah itu. Apakah pemerintah lewat BPBD sudah memilikinya? kita belum mendengarkan adanya sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai hal itu apalagi mengetahui ada simulasi menghadapi bencana.
Padahal kita ketahui, sebagian wilayah kabupaten Poso dilewati Sesar Palu Koro yang membentang dari teluk Palu ke lembah Napu, sebagian ke wilayah Poso Pesisir Utara hingga kemudian bertemu sesar Matano di Sulsel. Kedua sesar ini merupakan patahan yang sangat aktif dan memiliki siklus yang terus berulang.
Kabupaten Poso mengalami gempa dengan magnitudo yang besar pada 29 Mei 2017 lalu. BMKG mencatat gempa berkekuatan 6,6 SR terjadi di desa Wuasa kecamatan Lore Utara. Sebanyak 5 orang warga luka berat tertimpa bangunan, 164 rumah rusak berat, 18 fasilitas umum , termasuk puskesmas rusak, 170 orang mengungsi di tenda. Ini merupakan gempa terbesar dalam 20 tahun terakhir yang terjadi di wilayah kabupaten Poso.
Lebih jauh kebelakang, tahun 1938 dikutip dari historia.id, yang dicatat dari National Oceanic and Atmospheric Administration (ngdc.noaa.gov) bahwa pada 19 Mei 1938 terjadi gempa berkekuatan magnitudo 7,6 dengan pusat gempa di Teluk Tomini yang terasa di seluruh pulau Sulawesi. Gempa ini mengakibatkan 18 orang meninggal, lebih dari 50 persen rumah roboh dan 184 rusak. Jalan-jalan retak hingga puluhan meter dengan lebar retakan 50 cm; di sana-sini lumpur mengalir.
Di Parigi, sekolah dan Gereja ambruk. Di wilayah Palu dan Donggala terjadi sedikit kerusakan. Sedangkan di daerah Poso dan Tinombo, tidak ada kerusakan sama sekali, meskipun ada guncangan kuat.
Belajar dari Palu, magnet penarik orang datang ke Sulawesi Tengah yang kini ditinggalkan sebagian penghuninya pasca bencana maka informasi yang kuat dan jelas menjadi sangat penting. Kesimpangsiuran informasi yang menyebabkan eksodus itu. Hingga 2 pekan pasca gempa dan tsunami, setiap hari saya menyaksikan mobil-mobil berbagai jenis, pickup, SUV hingga truk keluar dari kota Palu dengan tulisan pada kaca depannya ‘Pengungsi Gempa Palu’. Setiap hari pula saat saluran komunikasi belum pulih, informasi dari mulut kemulut menyebar. Palu akan tenggelam. Informasi ini dipercayai sehingga iring-iringan mereka yang keluar lebih banyak dari iring-iringan kendaraan masuk yang membawa bantuan logistik.
Pengetahuan bencana memang tidak bisa menghentikannya, namun membantu bagaimana menghadapinya ketika itu terjadi untuk mengurangi resiko yang ditimbulkannya. Karena itu dibutuhkan persiapan yang panjang dan jelas mulai dari dokumen sampai kepada kebijakan pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi alam.