Di sebagian besar desa-desa di Poso, kukis ubi primadona penganan khusus. adalah Rasanya seperti kita menggigit biskuit populer yang dijual massal di toko, supermarket hingga warung kecil. Renyah dan sedikit manis tertangkap dilidah, paling asik sambil di colo-colo (celup) didalam cangkir teh hangat. Sayangnya kukis Kasubi atau kue Ubi sudah mulai jarang ditemukan kecuali di pesta-pesta perayaan di kampung. Posisinya mulai digantikan makanan eropa seperti Brudel atau Puding yang berbahan dasar terigu dan susu.
Ibu Helpin, anggota sekolah perempuan Mosintuwu di Desa Tiu, Pamona Timur, kabupaten Poso, merasakan penganan ini mulai tergeser oleh perubahan selera yang diciptakan oleh iklan lewat bahan-bahan makanan produksi massal seperti keju, kismis hingga mentega dan coklat yang berbahan minyak sawit.
Ditengah makin banyaknya jenis penganan baru, kue ini rupanya masih punya penikmat yang banyak. Pembuatannya yang tidak praktis membuatnya mulai langka. Tahun 2014, ibu Helpin mulai membuat kukis Ubi untuk dijual banyak yang sangsi kalau itu bakal laku. Berbekal pengetahuan mengenai pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal yang didengarnya saat belajar di sekolah perempuan Mosintuwu, perempuan paruh baya ini mulai mencabut ubi yang banyak ditemukan di desa Tiu untuk diolah menjadi tepung, bahan utama kue ini. Produksi pertama sebanyak seribu potong hanya untuk pesanan dengan harga 700 rupiah per potong. Awalnya pemasaran kue ini hanya di Dodoha Mosintuwu, pada sebuah galeri usaha desa. Karena enak, pesanan lain terus muncul termasuk pesanan dari Bali.
Membuat kue Ubi bagi ibu Helpin seperti meningkatkan nilai tambah Ubi atau Singkong yang di desanya kurang diperhatikan. “Bayangkan,” kata ibu Helpin “ kadangkala ubi hanya dijadikan campuran makanan ternak di desa, padahal dulu ubi adalah makanan pokok kita”
Membuat kue ini sangat mudah, namun membutuhkan proses yang cukup lama. Ubi Ubi yang sudah dikupas di iris tipis lalu dijemur hingga kering lalu ditumbuk hingga menjadi tepung halus. Setelah itu dicampur dengan vanili dan gula putih. Ketiga bahan itu dicampur menjadi adonan lalu dibentuk bulat atau bentuk lainnya sesuai pesanan.
Proses memanggangnya juga sederhana, adonan yang sudah dibentuk dimasukkan dalam sebuah wadah yang diletakkan diatas tungku yang dipanaskan dengan sabut kelapa. Lalu diatas wadah itu juga ditaruh bara dari sabut kelapa. Tinggal tunggu 20 hingg 30 menit kue Ubi sudah jadi.
Sejak kapan masyarakat Pamona mengenal Kue Ubi? Ibu Helpin tidak mengetahuinya. Dia hanya mengatakan, mengatakan memakan kue ini saat dibuat oleh neneknya. Namun bisa dikatakan ada pengaruh eropa disana yakni Vanili. Bubuk yang menjadi salah satu bahan pembuat kue Ubi ini berasal dari masyarakat Indian di Mexico. Dalam sejarahnya bangsa eropa mewariskan berbagai ragam kue pada masyarakat Minahasa. Dari Minahasa kue dan bahan-bahannya menyebar ke Poso lewat guru-guru yang didatangkan dari sana.
Rasanya yang tidak kalah dari biskuit membuat kue Ubi makin populer diluar wilayah Poso. Namun untuk membuatnya lebih banyak diminati orang, membutuhkan banyak tahapan. Salah satunya promosi terus menerus dan kemasan yang lebih menarik.
Untuk ini Martince Baleona, koordinator program ekonomi solidaritas Institut Mosintuwu mengatakan, salah satu cara memperkenalkan kue buatan ibu-ibu dari desa melalui pameran yang diselenggarakan baik di kabupaten Poso hingga ke kota Palu.
Jika hendak jalan-jalan ke desa-desa di Poso, cobalah mencari kukis ubi. Mengkonsumsi kukis ubi bukan hanya karena enak dan sehat tetapi juga menjaga tradisi penganan lokal . “ Kalau kita terus konsumsi penganan lokal, salah satu bentuk kecintaan kita pada desa dan tanah yang diolah “ pungkas ibu Helpin yang terus bertekad tetap akan memproduksi dan mengkampanyekan kukis ubi