Mengurusi Isi Kepala di Program Deradikalisasi

0
1906
Aksi lilin perdamaian oleh ibu-ibu lintas agama ( Islam , Kristen, Hindu ) yang tergabung di Sekolah Perempuan Mosintuwu, merespon bom bunuh diri di Kantor Polisi tahun 2013. Foto : Dokumentasi Mosintuwu

“Pemberian bantuan modal belum tentu tepat. Kalau ada mantan napiter dibantu sampai 75 juta jangan-jangan nanti justru membuat banyak anak muda ingin jadi teroris “ 

Pernyataan ini disampaikan Hasanuddin,  salah satu mantan napi kasus terorisme dalam sebuah diskusi terfokus di Poso. Hasanuddin adalah mantan napi kasus mutilasi 3 siswi SMA Kristen Poso di tahun 2005 .  Pernyataan ini disampaikannya dihadapan perwakilan kepolisian dan Pemda Poso dalam sebuah diskusi 19 Februari 2019 yang diadakan oleh Wisdom Institut. Kritik ini berdasarkan pengalamannya dengan  beberapa eks napiter lainnya saat mengikuti program deradikalisasi . Hasanuddin bersama napi terorisme lainnya di Poso mengikuti program deradikalisasi menjalani bertahun-tahun hukuman penjara. 

Di Kabupaten Poso, program deradikalisasi dijalankan seiring operasi penumpasan kelompok-kelompok radikal yang lahir di Poso pasca konflik 2000-2003 silam.  Operasi keamanan ini memiliki nama beragam dan diperpanjang berulang kali, hingga saat ini. Operasi keamanan bersandi Aman Maleo bermula ketika tanggal 8 Oktober 2012 dua orang anggota Polisi Brigadir Andi Sappa yang bertugas di Polres Poso dan Brigadir Sudirman yang bertugas di Polsek Poso Pesisir dinyatakan hilang sepulang menghadiri undangan syukuran di Dusun Tamanjeka, Desa Masani kecamatan Poso Pesisir. Delapan hari kemudian, 16 Oktober keduanya ditemukan meninggal terkubur dalam satu lubang dangkal diantara pohon sagu sebuah jurang dipinggir jalan menuju Desa Lape. Kelompok Santoso kemudian langsung disebut sebagai pihak yang bertanggungjawab sebagai pelakunya.

Pembunuhan dua orang anggota Polisi itu direspon dengan dengan 10 operasi sepanjang tahun 2013-2015 dengan nama Operasi Aman Maleo sebanyak 5 jilid dan Operasi Camar Maleo sebanyak 4 jilid. Sejak tahun 2016 hingga sekarang, nama operasi keamanan ini diganti menjadi Tinombala.  Dalam edisi awal operasi pengejaran yang berlangsung dari tahun 2012 hingga 2015 polisi mengumumkan daftar nama-nama DPO sebanyak 58 orang. Nama Santoso alias Abu Wardah ada di daftar pertama bersama Ali Kalora. Sepanjang periode itu pula sebanyak 47 orang ditangkap dengan dakwaan terlibat dengan kelompok MIT.

Baca Juga :  Etnobotani di Ritual Adat Suku Pamona : Jejak Tradisi Lama yang Menghormati Alam

Terakhir tahun 2019 Polisi mengumumkan 14 nama DPO baru. Didalamnya ada nama anak mantu Santoso, Irul yang disebut bersatu dengan Ali Kalora bergerilya di Gunung Biru, kawasan perbukitan dan perkebunan yang membentang sepanjang wilayah kabupaten Poso hingga Parigi Moutong. Bergabungnya lingkaran dalam keluarga Santoso menunjukkan penyebaran ideologi ISIS dimana Santoso berbaiat pada 2015 silam terus berjalan.

Pasca konflik, tepatnya sepanjang 2004-2007 berbagai peristiwa teror yang terjadi baik di Poso maupun di Palu bahkan Jawa belum dikaitkan dengan Santoso. Kelompok yang dituduh pada waktu itu berjumlah 29 orang yang dipimpin Basri alias Bagong. Salah satu yang masuk dalam daftar pada waktu itu adalah Hasanudin dan Irwanto Irano, dipengadilan ketiganya terbukti melakukan pembunuhan 3 siswi SMA Kristen yang berangkat ke sekolah pagi-pagi tanggal 29 Oktober 2005.

Kritik atas Program Deradikalisasi 

Lepas dari penjara,  Hasanudin salah satu mantan pelaku aksi terorisme, aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang diselenggarakan pemerintah maupun LSM . Kegiatan pemberdayaan ini kemudian disebut proses deradikalisasi. Beberapa bentuk-bentuk kegiatan deradikalisasi ini adalah bantuan modal,  pelatihan ketrampilan, pemberian  peralatan hingga akses pada proyek-proyek APBD. Beberapa mantan napiter kemudian menjadi pengusaha beberapa proyek. 

Baca Juga :  Mewariskan Ilmu Pengetahuan dan Toleransi, Semangat dari Haul Guru Tua

Serangkaian program deradikalisasi ini,  toh ini tidak membuat semuanya melupakan ideologinya. Basri, contohnya.  Pada saat menjalani sisa masa hukuman di penjara Ampana, dia melarikan diri, bergabung dengan Santoso hingga akhirnya menyerah tahun 2017 lalu.

 ‘Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengurus isi kepala para mantan teroris itu. Yang kami tanyakan untuk isi kepala siapa yang seriusi?” demikian catatan sekaligus pertanyaan kritis Hasannudin.

Eks rekan Basri dalam kasus pembunuhan 3 siswi itu mengkritik keras model proyek deradikalisasi pemerintah yang menurutnya terlalu instan lewat pendekatan ekonomi semata. Dikatakan Hasanudin, yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pola pikir orang yang selama bertahun-tahun ditempah paham radikal dengan mengisi kepala mereka  dengan pengetahuan yang cukup.

Pernyataan Hasanudin ini menanggapi beberapa program yang dilakukan pihak kepolisian dalam menangani eks napiter yang baru keluar dari penjara dengan memberikan bantuan uang hingga puluhan juta rupiah. Padahal upaya paling penting dalam menghadapi napiter menurut dia adalah dengan mengubah isi kepalanya. Jika mentalnya masih sama dengan pendapat orang-orang radikal yang mempengaruhinya maka program deradikalisme dengan jalan bagi-bagi bantuan dinilai hanya menghabiskan waktu dan bisa berbahaya. Dianggap berbahaya karena dapat membuka peluang kembali bergabungnya mereka dalam aksi terorisme, termasuk membiayai aksi terorisme dari bantuan yang didapatkan. 

Baca Juga :  Raru Topuha, Menghidupkan Ekonomi Desa dari Hasil Hutan

Tahun 2019,  masih ada sekitar 7 orang napi kasus terorisme yang akan keluar dari penjara dari total sekitar 35 orang yang tengah menjalani masa hukuman di berbagai penjara di pulau Jawa maupun di Sulawesi. 

Dewan Pakar Pengurus Besar Alkhairaat, Dr Lukman Thahir yang tengah melakukan pembinaan pada sejumlah eks napi kasus terorisme mengatakan akar persoalan yang mereka hadapi sangat beragam, terutama mencari pekerjaan setelah keluar dari lapas. Jika tidak ada yang mendampingi, dikhawatirkan mereka bisa menjadi radikalisme baru.

Bagaimana pandangan masyarakat Poso terhadap para eks napi terorisme ini? berdasarkan riset yang dilakukannya, Lukman Thahir membagi 3 pandangan masyarakat umum terhadap mereka. Yang pertama pandangan orang Poso yang secara umum melihat keberadaan mereka secara positif. “ Dikalangan penganut Islam, ternyata hanya sedikit yang memandang negatif kelompok eks napiter ini “ ujar Lukman.

Selanjutnya, tipe kedua menurut Lukman, para eks napiter ini tidak sulit diajak bicara dan  berdialog . Sementara  yang ketiga, ada yang mau diajak keluar dari pengalaman yang selama ini mereka hadapi.

Lukman kemudian mengatakan, selama ini para eks napiter ini seakan dijadikan objek mulai dari penelitian hingga program yang tidak digagas dengan matang. Karenanya Lukman berharap para eks napiter bisa diubah dari objek menjadi subjek yang melakukan kerja-kerja untuk membangun Poso yang damai dan harmonis.

Bagikan
Artikel SebelumnyaCerita Rakyat untuk Mitigasi Bencana
Artikel SelanjutnyaKampanye Kabar Baik dari Poso
Pian Siruyu, jurnalis dan pegiat sosial. Aktif dalam kegiatan kemanusiaan sejak konflik Poso. Sejak 2005 aktif menulis di surat kabar lokal dan media online. Sekarang aktif menulis tentang isu ekonomi, sosial, politik di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah untuk media Mosintuwu termasuk berita di Radio Mosintuwu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda