“Kami pernah bersolidaritas bersama sebagai sesama korban dan penyintas gempa dan tsunami” demikian Ade Nuriadin, menjelaskan tentang komunitas anak muda yang sedang dirintisnya” Kami merasa bahwa tugas kami untuk menangani dan merespon kondisi masyarakat paska gempa belum berakhir” lanjutnya. Ade, demikian nama panggilannya bersama puluhan anak-anak muda di Desa Toaya dan Batusuya menginisiasi gerakan anak muda merespon situasi dan dinamika rekonstruksi di wilayah Donggala, khususnya di wilayah Pantai Barat. Donggala, merupakan pusat gempa tanggal 28 September 2019 yang menimbulkan tsunami dan likuifaksi di wilayah Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong.
Sebelumnya, anak-anak muda yang adalah korban dan penyintas gempa di Donggala bergabung bersama dengan Jaringan Relawan Kemanusiaan dan Institut Mosintuwu dalam tanggap darurat dengan membentuk dapur umum. Tidak tanggung-tanggung, terdapat 62 dapur umum yang berhasil dikoordinir, dan berhasil memberikan akses makanan dan minuman serta kebutuhan darurat lainnya pada puluhan ribu korban yang terkena gempa.
Masa tanggap darurat sudah lewat, memasuki masa rekonstruksi , anak-anak muda ini memiliki kegelisahan untuk bisa ikut terlibat menentukan.
“Di desa banyak sekali bantuan dari luar, itu tentu saja tidak masalah” kata Andi “ tetapi jadi bermasalah ketika masyarakat sudah siap kembali ke rumah, bahkan sudah mau bangkit beraktivitas, tapi diminta kembali bikin tenda untuk dapat bantuan”
Tenda yang sebelumnya sudah dibongkar karena warga kembali ke rumah masing-masing dan mulai menata ulang, menurut Andi, dipasang kembali sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan. “ Ini seperti kita mengemis” keluh Andi.
Trilyunan anggaran dipastikan akan menjadi bagian dari skema penanganan wilayah paska bencana gempa bumi, likuifaksi dan tsunami di Palu, Sigi , Donggala dan Parigi Moutong. Penanganan ini melibatkan para pakar, pejabat, termasuk LSM nasional dan internasional yang bekerja di pusat-pusat bencana. Tidak terkecuali di Desa Toaya, Batusuya , Kabupaten Donggala serta Lemusa di Kabupaten Parigi Moutong.
Kegelisahan terhadap ditemukannya metode membangun komunitas paska bencana dengan mempertimbangkan, melibatkan seluruh dinamika sosial budaya serta sumber kehidupan masyarakat desa dirasakan mendesak. Mereka gelisah, beragam metode pemulihan hingga rekonstruksi yang tidak melibatkan masyarakat. Mereka membentuk komunitas Tana Sanggamu.
Melanjutkan kerja bersama paska gerakan Dapur Umum, Institut Mosintuwu mendialogkan kemungkinan mengembangkan inisiatif anak muda ini. 19 anak muda dari Tana Sanggamu, mengikuti serangkaian agenda Festival Mosintuwu yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu tanggal 3 – 5 Desember 2019 di Tentena. Kemampuan seni dan minat pada kebudayaan, menjadi bagian dari ekspresi mereka yang ditampilkan dalam pagelaran seni Festival Mosintuwu. Proses ini diikuti dengan diskusi bersama dengan Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu, yang menghasilkan komitmen untuk membangun desa mereka dengan perspektif masyarakat.
“Kabupaten Poso, adalah contoh penanganan wilayah paska bencana ( baca : konflik ) yang sebagian besar tidak melibatkan atau memikirkan konteks sosial, dan kebudayaan masyarakat” Lian Gogali menjelaskan alasan Institut Mosintuwu terlibat dalam proses bersama dengan Tana Sanggamu. “ Akibatnya, bencana berikutnya bagi komunitas dengan penanganan yang demikian adalah kehilangan identitas kebudayaan” lanjutnya. Institut Mosintuwu yang berdiri tahun 2009, kemudian menjadi gerakan kebudayaan masyarakat paska konflik untuk memperjuangkan kedaulatan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Saat hadir di Festival Mosintuwu dengan membawa syair berbahasa Kaili, diiringi alunan lalofe, musik etnik Kaili, anak muda di Tana Sanggamu bukan hanya menikmatinya tetapi merasa mendapatkan ruang mengekspresikan identitasnya.
“Ini pertama kalinya, kami memainkan musik, bersyair dengan alunan lalofe, paska bencana” cerita Fandi “ dan itu melegakan” sambungnya sambil tersenyum.
Metode pemulihan diri dengan seni dan budaya yang dekat dengan identitas masyarat seperti yang dialami anak muda Tana Sanggamu mencerminkan kebutuhan penting mendengarkan perspektif masyarakat dalam membangun kembali paska bencana. Hal yang sama dialami di Desa Lemusa, Kabupaten Parigi Moutong. Selama satu tahun ke depan, Institut Mosintuwu bekerjasama dengan anak-anak muda di Tana Sanggamu dan anak-anak muda di Lemusa akan merancang bersama rekonstruksi komunitas paska bencana termasuk mitigasinya. Lian menjelaskan, hal yang juga tidak dibahas dalam model penanganan wilayah paska bencana seringkali adalah mitigasi, atau upaya pencegahan agar peristiwa yang sama tidak terjadi. Dalam konteks paska bencana, maka rekonstruksi bukanlah tanpa mempertimbangkan potensi bencana yang akan terus terjadi.
Ade menjelaskan potensi dari desanya seperti kelapa serta mata air, juga kebudayaan yang dimiliki masyarakat bisa menjadi kekuatan membangun komunitas paska bencana.
Mengawali prosesnya, dilakukan serangkaian workshop, diskusi, dan training serta pemetaan desa termasuk pemetaan geospasial di desa Toaya, Batusuya dan Lemusa. Diharapkan ke depan, model rekonstruksi ini dapat menjadi panduan desa dengan menggunakan sumber daya di desa , yakni dana desa untuk membangun desanya paska bencana.