50 Perempuan pekerja seni dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Poso, Tentena sejak tanggal 20 – 25 Maret 2019. Bukan hanya berasal dari berbagai daerah, mereka memiliki beragam pilihan medium karya seni. Mereka yang berkumpul adalah penulis puisi, cerpen, lakon, novel; penulis karya jurnalistik, perupa lukis, patung, komik, mural, disain grafis, kriya kain tenun, keramik; para penampil baik itu aktor, penari, pesuara; juga para pemusik; sutradara baik sutradara film atau sutradara teater, para koreografer, komposer, arsitek, kurator, peneliti/akademisi, guru kesenian, manajer ruang seni, manajer pertunjukan , peneliti, antropolog dan sosiolog, dosen, aktivis buruh dan sebagainya. Yang menarik, diantara para peserta terdapat dua balita yang mengikuti ibunya.
“Sangat banyak dan beragam perempuan pekerja seni di Indonesia, sayangnya masih ada persoalan terkait kurangnya kesempatan bagi keterlibatan strategis perempuan di ranah seni budaya” jelas Naomi Srikandi, menjelaskan alasan berkumpulnya para perempuan ini. Ide ini berawal saat mencermati hasil penelitian yang dikerjakan Dhyta Caturani dan Rebecca Conroy mengenai pelaku-pelaku seni di Indonesia dengan fokus pada perempuan pelaku seni.
“ Kami lebih lanjut membaca persoalan kurangnya kesempatan bagi keterlibatan strategis perempuan di ranah seni budaya, kurangnya referensi mengenai peran dan kerja perempuan di sana, dan kurang kuatnya jaringan perempuan pekerja seni di Indonesia” kata Naomi.
Karena itu, Peretas menjadi organisasi lintas batas yang mengupayakan sistem pendukung bagi jaringan kerja, ruang produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan perempuan di rana seni dan budaya. Memulai upaya tersebut berkembang gagasan mengumpulkan para perempuan pekerja seni. Terdapat 390 perempuan pekerja seni dari seluruh Indonesia yang melamar untuk menjadi bagian dari proses awal berkembangnya gagasan ini. Hanya 50 orang yang menjadi awal dari gagasan berkumpul ini. Naomi mengatakan, selain karena gagasan, aktivitas dan dialog dalam proses yang mereka ajukan saat memasukkan lamaran, juga karena keterbatasan kemampuan menfasilitasi.
“Agenda berkumpul ini akan membahas gerakan seniman perempuan merespon berbagai isu sosial dengan menyusun strategi kerja berkesenian, berkebudayaan dalam satu jaringan kolektif “ ujar Naomi. Mengunakan metode conference unconference, Peretas Berkumpul memaksimalkan pengetahuan dan pengalaman para perempuan pekerja seni untuk saling berbagi dan menyusun strategi kerja berkesenian. Sebagian besar para pekerja seni ini belum pernah bertemu tapi saling mengenal karya. Saat berkumpul, mereka baru menyusun agenda bersama , berbagi isu penting tentang perempuan dan seni kebudayaan. Penciptaan peristiwa bersama ini di antaranya berbentuk diskusi panel atau ceramah; diskusi kelompok atau forum bincang-bincang; mengajarkan kemampuan (skill sharing); kegiatan untuk mengaktivasi dinamika kelompok . Setiap pekerja seni berkesempatan merancang dan mengundang yang lain untuk sesi selain diskusi panel.
Semangat kerja bersama sangat kuat didalam pertemuan ini, bukan hanya karena keterlibatan Institut Mosintuwu tetapi penggunaan seruan Pakaroso sebagai tema. Pakaroso, ajakan untuk saling menguatkan dalam Bahasa Pamona. Pakaroso adalah seruan dengan cerita yang panjang soal saling menguatkan di Tana Poso. Seruan itu dipopulerkan kembali oleh aktivis penjaga Danau Poso, sementara pemerintah menggunakan kata Maroso yang artinya kuat (tapi tidak selalu berarti saling menguatkan).
“Pakaroso juga adalah bahasa yang digunakan untuk berhadapan dengan Maroso, sebuah tandingan bahwa kuat saja tidak cukup jika tidak saling menguatkan, dan hanya akar rumput yang punya semangat itu” Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu menjelaskan. Menjadi bagian dari gerakan yang sedang dibangun oleh Peretas , menurut Lian, karena akar gerakan Institut Mosintuwu adalah gerakan perempuan akar rumput. Apalagi, menurut Lian sejak 2019 Institut Mosintuwu memilih jalan kebudayaan untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan.