“Saya sudah berumur 62 tahun, tapi baru kali ini saya merasakan gempa yang sebesar ini” Kata Ngkai Gian dari Desa Owini kepada Tim Ekspedisi Poso. Dua hari sebelumnya, tepatnya di hari Minggu, 24 Maret 2019, pukul 07.32.05 WITA terjadi gempa berkekuatan 5,7 M berpusat di 48 km arah barat daya Kota Poso. Guncangan gempabumi ini dilaporkan dirasakan di Poso IV MMI, Palu dan Malili III MMI.
Cerita Ngkai Gian dibenarkan oleh Papa Tole, 48 tahun dan beberapa warga lainnya, termasuk perangkat desa. Pertama kali merasakan gempa yang sangat kuat membuat warga berlarian dari rumah ibadah, saat itu sebagian besar warga sedang berada di dalam gereja. Pengalaman dampak gempa yang diikuti tsunami dan likuifaksi di Palu masih menjadi ingatan traumatis warga. Apalagi, tidak ada informasi yang lengkap dari pihak berwenang terkait gempa yang dialami.
Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di BMKG menginformasikan peristiwa ini dengan menyebutkan ” memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempabumi yang terjadi merupakan jenis gempabumi dangkal akibat aktivitas Sesar Poso. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini dipicu oleh penyesaran naik (Thrust Fault)”
Hasil pemodelan, menurut Daryono, menunjukkan bahwa gempabumi tersebut tidak berpotensi tsunami. Kunjungan tim Ekspedisi Poso menemukan terjadi kerusakan bangunandi Owini ( 9 rumah rusak ringan ), beberapa pura yang rusak di Toinasa, Salukaia, Meko; sebuah gereja di Leboni mengalami rusak ringan , sementara beberapa ruangan kelas SDN 2 Meko . Sementara itu, warga di Desa Salukaia saat ditemui hari Selasa, 26 Maret, warga memilih tinggal di tenda-tenda di luar rumah.
“Sudah dua hari ini kami tidak tenang, kami ini hanya butuh informasi sebenarnya apa yang terjadi” Ujar Mama Citra, mewakili perasaan sebagian besar warga di wilayah Desa Owini, Taipa dan Meko. Ketiga desa ini menjadi wilayah pusat gempa yang baru saja terjadi.
Pada launching Tim Ekspedisi Poso, Reza Permadi , anggota Ekspedisi Poso dalam rilis di sosial media menjelaskan bahwa Kabupaten Poso memiliki 3 sesar. Ketiganya adalah Sesar Poso Barat , Sesar Poso dan Sesar Tokararo. Dari peta yang dikeluarkan oleh Pusat Studi Gempa Nasional, terlihat bahwa Sesar Poso Barat terletak di hampir sepanjang tepi Danau Poso sebelah barat melewati. Sesar Poso hampir mengikuti arah sungai Poso dari mulut Danau Poso ke Kota Poso. Sementara itu Sesar Tokararu berada di wilayah Poso Pesisir.
Lebih lanjut, Reza mengatakan, faktor yang menyebabkan meningkatnya aktivitas gempa di Poso adalah aktifnya struktur Sesar Poso bagian Barat, Sesar Poso Barat memang dikenal sebagai sesar aktif tetapi sudah lama tidak memicu aktivitas gempa yang signifikan. Sehingga wajar jika saat ini gempabumi banyak terjadi di wilayah Poso karena Sesar Poso Barat dalam fase akumulasi stres maksimum dan saatnya melepaskan energi yang dimanifestasikan sebagai aktivitas gempa yang beruntun kejadiannya.
Keberadaan sesar di wilayah Kabupaten Poso, menunjukkan akan seringnya warga mengalami gempa bumi. Lian Gogali, ketua Ekspedisi Poso mengatakan bahwa mitigasi bencana bisa dimulai dari pengenalan yang baik atas lingkungan sekitar. Selain itu, Kabupaten Poso terletak di wilayah tektonik aktif dan iklim tropis dengan kepadatan penduduk yang menengah. Bencana gerakan tanah seperti tanah longsor, amblesan tanah dan likuifaksi merupakan salah satu bencana geologi yang bisa menimbulkan kerugian ekonomi yang besar di Indonesia. Bencana tanah longsor sering terjadi saat musim hujan lebat, dengan korban yang cukup banyak per tahun. Sementara itu, peristiwa amblesan tanah akibat aktifitas manusia (ekstraksi air tanah berlebih, pembangunan dan pertambangan bawah tanah) menyebabkan kerusakan pada bangunan, dan menyebabkan genangan air saat musim hujan di wilayah perkotaan. Peristiwa likuifaksi akibat getaran gempa menimbulkan permasalahan pada ketersediaan air bersih dan kerusakan bangunan dan infrastruktur jalan dan jembatan, seperti yang terjadi pada saat gempa Bantul tahun 2006, gempabumi Padang tahun 2009 dan Gempabumi Palu 2018.
Potensi terjadinya gerakan tanah atau longsor di wilayah Poso menjadi semakin tinggi pada musim hujan dibandingkan pada musim kemarau. Lantas, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah setempat?
Ketua Tim Ekspedisi Poso, Lian Gogali menjelaskan, masyarakat harus memahami lokasi mereka tinggal.
“Masyarakat harus paham bahwa di mana mereka tinggal. Pahami apakah mereka tinggal di daerah yang berdekatan dengan lereng atau persis di atas lereng. Wilayah lereng ini secara alami kalau hujan turun akan jadi jalur air,” ujar Lian Gogali
Setelah memahami di mana mereka tinggal, Masyarakat harus memahami tataguna lahan di atas permukimannya. Apakah lahannya digunakan untuk hutan, perkebunan atau pesawahan.
“Semakin kurang daya ikat vegetasi di bagian atas (lahan itu), dia harus berhati-hati,” kata Lian
Dentuman, Gempabumi Swarm
Ketiadaan informasi yang membuat warga panik, bertambah ketika mendengar suara gemuruh dari dalam tanah . Beberapa warga bahkan mendengarnya sebagai dentuman. Dentuman dan suara gemuruh ini terdengar sebelum gempa. Kondisi ini mencemaskan warga hingga tidak bisa tidur tenang.
“Tadi juga sebelum gempa memang ada bunyi semacam letusan , Saya dengar lalu ( tanah ) goyang. Saya ba peluk di pohon coklat” Cerita Ngkai Gian.
Reza Permadi, ketua Forum Geosaintis Muda Indonesia yang juga anggota Ekspedisi Poso menjelaskan dugaan sementara saat ini Poso sedang terjadi gempabumi swarm.
Gempabumi swarm menurut Reza, adalah gempabumi yang frekuensinya sering, tetapi kekuatannya kecil. serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo relatif kecil dengan frekuensi kejadiannya sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama di wilayah sangat lokal.
Reza dalam rilis Ekspedisi Poso menyebutkan bahwa fenomena swarm di Indonesia sudah terjadi beberapa kali, seperti aktivitas swarm di Klangon Madiun (Juni 2015), Jailolo Halmahera barat (Desember 2015), dan Mamasa Sulawesi Barat (November 2018).
Namun, Reza menegaskan sejauh kapan gempa bumi ini akan terjadi, belum dapat dipastikan.
“ Jika berkaca pada daerah lain yang pernah dilanda gempa bumi swarm, durasinya memang lama. Berdasarkan laporan, terjadi sampai dua bulan, tetapi tentu kondisi setiap daerah berbeda-beda” jelasnya
Menanggapi adanya dentuman yang banyak di dengar oleh masyarakat , Reza yang juga anggota ikatan ahli geologi Indonesia ini, dentuman memang sering berasosiasi dengan Gempabumi Swarm. Dentuman ini tidak mengakibatkan getaran hanya suara saja. Hal ini diakibatkan oleh pelepasan tegangan pada batuan yang berlangsung terus karena karakteristik batuan di sekitar Poso yang heterogen/ bermacam-macam serta rapuh. Jika tegangan yang tersimpan dalam batuan sudah habis, aktivitas gempa bumi tipe swarm dan dentuman berakhir.
Mengulang tujuan Ekspedisi Poso untuk menelusuri keanekaragaman budaya, alam dan potensi bencana di Kabupaten Poso, Reza menjelaskan bahwa seharusnya fenomena Gempa Swarm ini setidaknya menjadikan pembelajaran tersendiri untuk masyarakat untuk memahami Gempa Swarm ini, dampak dari Gempa Swarm.
“ Harus diakui , pengalaman dengan gempa ini memang meresahkan masyarakat,. Tapi jika kita belajar dari berbagai kasus gempa swarm di beberapa wilayah sebenarnya tidak membahayakan jika bangunan memiliki struktur yang kuat” pungkas Reza.