Mengagendakan Kegelisahan di Peretas Berkumpul

0
1665
Diskusi dalam sesi-sesi Peretas Berkumpul 01 Pakaroso di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

“Tidak ada agenda, Kita nanti bentuknya conference unconference ya” , demikian pesan Yuri, penyelenggara Peretas di WA grup para peserta Peretas Berkumpul 01 Pakaroso. 50 perempuan pekerja seni dari berbagai daerah berkumpul, tapi tak ada agenda pasti.

Mendapatkan agenda di sebuah kegiatan sebelum tiba di suatu kegiatan, tentu hal yang lumrah. Peserta membutuhkan persiapan khusus untuk bisa menjadi bagian aktif atau setidaknya memilih apa yang bisa dilakukan dalam kegiatan. Tidak demikian yang terjadi di Peretas Berkumpul 01 Pakaroso. Tidak ada agenda yang dicantumkan dalam pemberitahuan lolosnya peserta atau bahkan dalam komunikasi hingga tiba di lokasi. Yang ada hanya informasi tiket penerbangan, jarak perjalanan, dan akomodasi serta hal teknis lainnya. 

“Peretas berkumpul memilih metode conference unconference “ Naomi, ketua Peretas menjelaskan” setiap orang berkesempatan untuk menawarkan apa yang hendak dibagi dan apa yang ingin dipelajari” sambungnya. 

Dengan metode konferensi yang bukanlah sebua konferensi, seluruh peserta diberikan ruang bersama untuk menyusun sendiri kebutuhan diskusi dan topik yang menurut mereka relevan untuk dibahas.  Bahkan moderator dan narasumber baru ditentukan bersama oleh seluruh peserta di hari pertama. 

“Setiap kita yang ada di sini adalah sumber pengetahuan” ujar Naomi.

Peretas Berkumpul 01 Pakaroso di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

Tidak semua peserta saling mengenal, beberapa hanya tahu nama atau saling kenal di sosial media. Untuk menentukan agenda yang dibicarakan, semua merujuk pada apa yang diketahui dan apa yang ingin dipelajari. Di hari pertama, para peserta meramu bersama apa yang akan dilakukan dan akan didiskusikan baik secara individual maupun berkelompok. Setiap orang bersemangat membagikan apa yang mereka tahu atau gelisahkan. Lebih banyak juga peserta yang ingin belajar dan mendengarkan . 

Berkumpul tanpa agenda pasti ini  justru kemudian menghasilkan beragam topik yang mewakili kegelisahan beragam latar belakang seni . Hanya butuh 2 jam untuk menemukan puluhan isu dan topik yang kemudian mewarnai berkumpulnya para perempuan pekerja seni selama 5 hari di Dodoha Mosintuwu, sejak 21 – 25 Maret 2019.  Menggunakan kertas kecil, setiap peserta menulis ingin belajar apa, atau ingin berbagi apa. Mereka saling melihat topik yang ditulis oleh lainnya. Beberapa berkumpul dan bersepakat untuk menentukan topik bersama. Yang lainnya tampak menghubungi orang-orang yang ingin diajak untuk berbagi.

Baca Juga :  Mengembangkan dan Menjaga Laboratorium Alam Danau Poso dalam Kerjasama Mosintuwu dan Fapetkan UNTAD

“mbak, bisa ya cerita tentang bagaimana sih membangun organisasi masyarakat akar rumput seperti Mosintuwu, dari awal?” Indah, seorang penampil teater mendekati saya menceritakan kegelisahan dan harapannya untuk bisa sekembali nantinya akan memulai gerakan perempuan.  Dalam perkembangannya, beberapa peserta mengusulkan untuk bisa mendengarkan cerita-cerita para perempuan penyintas yang diorganisir Institut Mosintuwu. Beberapa ide topik muncul bahkan sebelum agenda disusun bersama. Dian, seorang peneliti dari Papua dalam sesi perkenalan tentang risetnya di Korowai, sebuah suku di Papua, telah menarik perhatian banyak peserta untuk dibuatkan pleno khusus. 

Susunan acak topik yang ingin dibagi dan ingin diketahui itu dibahas kembali bersama-sama. Naomi menfasilitasi proses bersama hingga setiap topik yang ditulis peserta menjadi agenda bersama. Alhasil terdapat sesi-sesi, pleno, dan praktek karya.

Diskusi dalam sesi-sesi Peretas Berkumpul 01 Pakaroso di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

Sastra dan literasi & keresahan2 di dalamnya, manajemen seni, Perempuan dan Islam,  Seni dan kesehatan mental, Kekerasan berbasis gender,  Ethno Sensory, Fotografi dan Identitas, Klinik keamanan digital, Bisnis berbasis komunitas, Perempuan dan Menstruasi, Etika kerja riset dan seni dalam komunitas, Membaca Audiobook, Workshop Dongeng, Terapi / praktik gerak tari, Videoart & dramaturgi seni rupa, Podcast, menjadi topik-topik dalam sesi-sesi kelompok kecil. Para peserta juga berkarya bersama dalam sesi eco-print, melukis cat air, custom painting, mendongeng dan mural. Dalam proses diskusi, para peserta saling merekomendasikan pemantik diskusi.

Baca Juga :  Toponimi, Mengenal Sejarah Peristiwa Besar dan Potensi Bencana

Topik Gerakan Perempuan akar rumput bersama Institut Mosintuwu diceritakan oleh saya bersama ibu Martince, Perempuan Korowai yang dibawakan oleh Dian peneliti dari Papua , Belajar dari Perempuan Penyintas di Poso yang menghadirkan anggota sekolah perempuan Mosintuwu untuk berbagi cerita , dan tema kerja kolektif perempuan yang diskusinya dihantar oleh Citra. 

Bukan hanya menentukan sendiri agenda, para peserta juga bebas memilih untuk terlibat pada sesi yang mana. 

“Semuanya isu penting dan sangat menarik,  saya harus memilih” cetus Novieta Tourisia, pekerja seni kriya dari Cinta Bumi Artisan. Semua peserta sangat antusias mengikuti semua sesi . Tidak ada narasumber tunggal yang ada hanya pemantik diskusi, semua terlibat memberikan pemikiran, pengalaman dan catatan kritisnya. 

Diskusi dalam sesi-sesi Peretas Berkumpul 01 Pakaroso di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

Ruang-ruang di Dodoha Mosintuwu terisi penuh dengan beragam diskusi, praktek seni dan cerita-cerita. Radio Mosintuwu, ruang restoran, perpustakaan, ruang rapat , hingga rumah dan dermaga, aktivitas dilakukan. Kekayaan diskusi terlihat saat beberapa diskusi lewat dari jam yang ditentukan, dan berlanjutnya diskusi-diskusi kecil dua tiga orang bahkan ketika sesi selesai. Kemauan belajar dan saling berbagi menjadi kekayaan pertemuan Peretas berkumpul 01 Pakaroso.

Metode conference unconference ini kemudian dirasakan sangat menarik oleh peserta karena mereka menemukan diri dan kebutuhannya dalam setiap sesi. Keterlibatan peserta sejak awal secara aktif untuk menentukan topik diskusi, dan mengisinya bersama-sama dalam serangkaian diskusi membuat sebagian kegelisahan , ketertarikan, kebutuhan, kemauan bisa setidaknya terpenuhi. 

“Alih-alih panitia menentukan agenda untuk peserta, kita menggunakan metode ini sebagai ruang terbuka bagi peserta untuk bisa berkembang dengan saling belajar satu sama lain” Kata Naomi. “ “Tidak ada pertanyaan yang salah atau jawaban yang bodoh” sambungnya.

Mereka  yang berkumpul adalah penulis puisi, cerpen, lakon, novel; penulis karya jurnalistik, perupa lukis, patung, komik, mural, disain grafis, kriya kain tenun, keramik; para penampil baik itu aktor, penari, pesuara; juga para  pemusik; sutradara baik sutradara film atau sutradara teater, para koreografer, komposer, arsitek, kurator, peneliti/akademisi, guru kesenian, manajer ruang seni, manajer pertunjukan , peneliti, antropolog dan sosiolog, dosen, aktivis buruh  dan sebagainya. Latarbelakang itu menjadi kekayaan bersama yang diramu dalam serangkaian sesi, pleno dan karya bersama selama Peretas Berkumpul 01 Pakaroso di Dodoha Mosintuwu, 21 – 25 Maret 2019.

Baca Juga :  Geospasial, Cara Anak Muda Rencanakan Desa Membangun Paska Bencana
Diskusi dalam sesi-sesi Peretas Berkumpul 01 Pakaroso di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

Kegelisahan yang dibagi

“Sebenarnya bagaimana kita meletakkan seni yang kita pamerkan atau hasilkan dalam konteks masyarakat” pertanyaan ini menjadi pertanyaan kegelisahan yang dilontarkan oleh Gita dalam sesi etika kerja riset dan seni dalam komunitas. Sesi yang menggugat seni dan perannya dalam masyarakat, berlangsung seru. Para peserta mempertanyakan apa fungsi seni dalam menterjemahkan persoalan di masyarakat. “Apakah seni ini bisa punya peran yang mempengaruhi”? demikian salah satu celutukan peserta.  

Di ruang lain, sesi tentang seni dan kesehatan mental, Hana menjadi pemantik diskusi. Kepercayaan antara satu peserta dengan yang lainnya terlihat dalam suasana diskusi yang menghangat ketika beberapa peserta menceritakan pengalaman pribadinya . Di ruangan lain hingga malam hari, diskusi tentang kekerasan berbasis gender membuka solidaritas antar perempuan pekerja seni. Semua terhubung pada pengalaman sebagai perempuan yang mengalami berlapis kekerasan, menjadi penyintas . 

“Seni, teater khususnya, menjadi tempat saya menemukan diri dan bisa berkembang” cerita seorang peserta.

Pengalaman pribadi, temuan atas peristiwa di sekitarnya  memperkaya diskusi dan menguatkan topik-topik yang dibicarakan. Kegelisahan dibagi , seringkali bertemu pada kesadaran pada pengalaman perempuan sebagai pekerja seni yang khas. Kegelisahan yang dibagi dalam sesi-sesi diskusi ini bahkan kemudian menguatkan solidaritas perempuan pekerja seni. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda