Perempuan di DPRD Poso

0
2027
350 perempuan lulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu angkatan 3 menyatakan komitmen untuk mengabdikan pengetahuan, ketrampilan dan akses yang mereka miliki untuk kepentingan masyarakat. Komitmen ini disampaikan dalam Festival Sekolah Perempuan 2015. Foto : Dok. Mosintuwu

“Saya memilih calon yang punya komitmen kuat melayani perempuan. Dan yang nanti tidak hanya jadi pelengkap atau pajangan diantara laki-laki” ujar Irna Batelapa , dari Desa Pandayora

Ada 5 orang perempuan yang menjadi anggota DPRD Poso periode 2014-2019 dari 30 orang wakil rakyat dilembaga itu. Jumlah itu sama dengan 6 persen dari total wakil rakyat. Mereka berasal dari 2 partai, dari Demokrat 3 orang dan partai Golkar 2 orang. Seorang diantaranya, Ellen E Pelealu bahkan menjadi ketua DPRD saat ini.

Pada periode 2009-2014, dari 30 anggota DPRD Poso, tidak satupun perempuan meskipun pada pemilu saat itu kampanye 30 persen keterwakilan perempuan sangat massif dibandingkan saat ini. Namun pada hari perhitungan memperlihatkan pemilih perempuan yang mencapai 47 persen dari total jumlah sekitar 161.742 pemilih di kabupaten Poso pada pileg 2014 tidak menghasilkan wakil perempuan.

Padahal terdapat sedikitnya 4 peraturan yang mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di dewan perwakilan yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik, undang-undang nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang juga turut mengatur pemilu tahun 2009. UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Meski sekarang setelah ada 5 orang perempuan dengan posisi penting di DPRD Poso, diantaranya ketua DPRD, ketua fraksi, ketua BK tidak lantas bisa mendorong lahirnya peraturan-peraturan daerah yang berpihak pada perempuan. Sepanjang 2017-2018 misalnya, dari 5 peraturan daerah yang dihasilkan tidak satupun yang secara khusus memperhatikan kesehatan perempuan dan anak.

Baca Juga :  Sekolah Perempuan MOSINTUWU

Padahal catatan dinas kesehatan kabupaten Poso, pada tahun 2016 tercatat ada 1.175 kasus bayi mengalami stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis. Dalam jangka pendek kekurangan gizi ini akan menyebabkan kurangnya kecerdasan serta gangguan metabolisme pada anak.

Jikalau tidak adanya perda pro perempuan dan anak lahir karena jumlah suara perempuan di parlemen Poso hanya 6 persen sehingga kalah dengan usulan penganggaran infrastruktur, maka pemilu 2019 menjadi kesempatan untuk menaikkan kuota menjadi lebih dari 6 persen.

Pelaksanaan Pemilu 17 April 2019 di Kabupaten Poso. Foto : Dok. Mosintuwu

Kami mewawancarai beberapa orang perempuan mengenai bagaimana kriteria calon pilihan mereka di legislatif. Irna Batelapa, ibu rumah tangga di desa Pandayora kecamatan Pamona Selatan mengatakan, kriteria pertama calon yang dipilihnya adalah orang yang benar-benar memperjuangkan perempuan dan punya komitmen kuat membangun daerahnya.

“Memilih calon perempuan saya yakin karena percaya bisa membawa dan memperjuangkan aspirasi kami”demikian kata Irna Batelapa. Pada pileg 17 April kemarin dari 4 calon mulai dari DPRD kabupaten, provinsi, pusat dan DPD tidak semua calon yang dipilihnya adalah perempuan, Irna sangat selektif, karena bagi dia yang dipilih bukan hanya jenis kelaminnya tapi setelah meyakini komitmen si calon.

Seperti Irna, ibu Herlin di desa Didiri kecamatan Pamona Timur mengatakan, alasan memilih calon perempuan karena dia yakin aspirasinya bisa diwujudkan dalam kebijakan. Selain itu menurut Herlin, lebih mudah membangun komunikasi dengan anggota legislatif perempuan dibanding laki-laki apalagi jika itu menyangkut kepentingan perempuan didalam komunitas.

Baca Juga :  Kami Dikenal Sebagai Pelaku Kerusuhan Poso, Di Penjara Kami (Muslim Kristen) Gabung,Saling Menjaga Melindungi

Dalam perhitungan KPU Poso ada 147.236 orang penduduk yang menjadi wajib  pilih. Dari jumlah itu sebanyak 72.215 orang adalah perempuan, jumlah ini hampir setengah dari total pemilih, hanya berselisih 2.802 pemilih dibanding pemilih laki-laki. Jika para pemilih perempuan berpikir seperti ibu Herlin dan ibu Irna, tentu jumlah perempuan yang anggota DPRD Poso bisa lebih dari 30 persen. Tapi di Indonesia, daerah paling maju seperti Jakarta pun tidak mencapai itu, dalam pemilu 2014 lalu hanya terpilih 16 orang perempuan dari total 106 orang. Di DPRD kota Bandung malah hanya 2 orang perempuan dari 49 orang.

Patriarki masih sangat mempengaruhi sebagian masyarakat dalam memilih, sebagian lagi masih meragukan kemampuan perempuan yang maju dalam pemilihan. Keraguan itu kerap ditemukan di kalangan pemilih perempuan sendiri.

Sebagai contoh di salah satu desa di kecamatan Pamona Barat, beberapa orang perempuan yang kami tanyai mengapa tidak memilih caleg perempuan menjawab mereka ragu nantinya perempuan mampu berdebat dalam rapat-rapat di DPRD dengan anggota legislatif laki-laki.

Rupanya hanya sekedar memilih perempuan sebagai wakil belum cukup untuk memperjuangkan hak perempuan. Di kabupaten Poso contohnya. Meski ketua DPRD adalah perempuan, ditambah 4 orang legislator perempuan lainnya dengan posisi penting di alat kelengkapan dewan namun kita juga bisa melihat anggaran pemberdayaan perempuan, penanganan perlindungan perempuan dan anak masih sangat kecil. Untunglah di desa-desa sudah ada yang sebagian menganggarkan untuk itu dari dana desa meski masih sangat kecil.

Baca Juga :  Perempuan Poso dan Mimpi Desa Membangun

Jika para legislator perempuan yang sudah menjabat hampir 4,5 tahun ini terpilih lagi, maka seharusnya ada perbaikan pada keberpihakan mereka untuk melahirkan kebijakan yang mendukung perempuan. Pada pemilu 17 April kemarin menunjukkan beberapa legislator perempuan yang menjabat sekarang masih terpilih lagi. 

Dalam kampanye hampir setahun yang minim informasi dan dialog dengan konstituen, informasi kinerja mereka sangat kecil diketahui publik terutama perempuan di desa. Kampanye lebih banyak dilakukan dengan janji bantuan, tidak ada evaluasi dari masyarakat mengenai apa yang sudah dikerjakan selama mewakili mereka.

Ini juga menjadi salah satu catatan penting bagi kelompok perempuan untuk memantau kinerja wakil mereka di lembaga legislatif selama 5 tahun kedepan sehingga ada proses dialog, ada usulan dan ada kritik dari perempuan terhadap produk-produk legislasi seperti perda yang dihasilkan DPRD.

“Dalam kotak (suara) kemarin itu saya tusuk caleg perempuan. Harapan saya kalau dia teprilih, aspirasi kami perempuan yang ada di desa Didiri ini bisa dia perjuangkan karena perempuan itu lebih mengerti kebutuhan perempuan”kata Herlin menuturkan alasannya memilih.  Memilih perempuan menurutnya karena perempuanlah yang mengerti kebutuhan sehari-hari, mengerti bagaimana kehidupan itu berlangsung setiap hari mulai dari dapur sampai ke ruang publik.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda