Martince : Perempuan Provokator Damai Poso

0
2631
Martince, saat memimpin aksi damai bersama ibu sekolah perempuan lainnya tahun 2014. Foto : Dok. Mosintuwu

Sore menjelang malam, sekelompok pemuda dengan wajah ditutup kain hitam, menghadang perjalanan Martince yang menggandeng  dua anaknya yang berumur 2 dan 5 tahun. Sambil menghardik, seorang pemuda mengacungkan benda tajam dan berkata “ Langgadopi atau?”

Martince gemetar, dia tahu, apapun jawabannya punya resiko. Dia tidak berani menjawab. Pertanyaan Langgadopi atau bukan adalah pertanyaan yang menentukan hidupnya dan kedua anaknya. Tahun 2000, konflik kekerasan di Poso yang membawa nama agama mendorong adanya kelompok-kelompok melakukan sweeping agama. Mereka yang melintas dan mau mengungsi berhadapan dengan sweeping baik oleh kelompok yang mengatasnamakan kelompok Islam maupun mengatasnamakan kelompok Kristen. Jarang atau hanya keajaiban yang bisa membuat mereka yang disweeping tetap hidup jika berhadapan dengan kelompok yang berbeda dengannya. Langgadopi adalah salah satu kodenya. 

Anginlah yang membantu Martince memberikan jawaban pada kelompok itu. Anting-anting di telinga anak Ibu Martince tertiup angin dan menampakkan simbol salib. Mereka dibiarkan lolos.  Di pengungsian, Martince kemudian mendengar hal yang sama dialami oleh keluarganya saat berhadapan dengan kelompok yang mengatasnamakan Islam. 

Tahun-tahun kegelapan itu tidak berakhir. Berita tentang seorang paman yang dibunuh dengan cara yang mengerikan di bawah pohon, lalu tiga anak SMU yang adalah keluarga Martince dimutilasi, membuat kebencian dan kemarahannya pada kelompok Kristen terpupuk. Martince trauma hingga mengalami depresi berat yang menyebabkannya sakit  ketika berhadapan dengan mereka yang menggunakan simbol-simbol agama Islam. Apalagi pengalaman keluarganya selama di pengungsian yang sangat tidak nyaman, sementara rumah Martince dibakar hingga tiga kali pada tahun tahun berbeda.

Baca Juga :  Konferensi Perempuan Poso: Kami Diabaikan dan Dimiskinkan oleh Pembangunan

Itupula yang masih dirasakannya ketika suatu hari memutuskan untuk mengikuti kelas sekolah perempuan Mosintuwu yang diinisiasi oleh Institut Mosintuwu.  Dalam pembukaan sekolah perempuan, Martince menceritakan kepada saya kemarahan dan ketakutan yang dialaminya ketika melihat dirinya seruangan dengan perempuan-perempuan berjilbab

“Hamaa…saya gelisah sekali dan bertanya-tanya, kenapa ini kita digabungkan macam-macam agama? Saya kan mo datang belajar supaya meningkatkan pengetahuan, kenapa digabung dengan yang muslim?” ungkapnya.

Martince memutuskan untuk tidak beramah tamah dengan mereka yang berjilbab atau teridentifikasi Muslim, di hari pembukaan. Dia enggan berjabat tangan dan harus memaksakan diri untuk tersenyum. Sepulang dari pertemuan pertama, Martince berpikir keras dan berdiskusi dengann keluarganya apakah dia bisa meneruskan kelas sekolah perempuan Mosintuwu yang ternyata akan dilakukan selama 1 tahun.

“Saya putuskan tetap ikut karena saya ini hanya ibu yang kerjanya di dapur, kebun. Saya hanya lulusan SMU, dan saya dengar di kelas sekolah perempuan kita bisa belajar banyak” Demikian alasan Martince. Sementara untuk harus sekelas dengan perempuan muslim lainnya, Martince pasrah. “Pasti ada rencana Tuhan” katanya.

Salah satu rencana yang tidak diduga oleh Martince adalah di kelas sekolah perempuan Mosintuwu, anggota sekolah perempuan diajak berkunjung dan belajar bersama di rumah-rumah ibadah. Termasuk di mesjid. Rasa penasaran bersamaan dengan rasa takut menghantui Martince. Dia memiliki banyak pertanyaan yang terpendam tentang Islam dan Hindu, terutama Islam. Dalam mesjid, Martince menanyakan semua prasangkanya.

“Apa itu jihad? apa benar orang Islam menghalalkan untuk membunuh orang? “ menjadi pertanyaan Martince yang utama. Dia mengingat semua tragedi keluarganya yang dibunuh oleh mereka yang mengatasnamakan Islam. Seruan Oh yang hampir keluar dari mulutnya membawa pemahaman baru Martince tentang Islam. Termasuk membuatnya mengingat bahwa dalam konflik kekerasan yang dialami selama ini semua orang Poso adalah korban. 

Baca Juga :  Hadrah : Pengumpul Sampah yang Melindungi Lingkungan

“saya membayangkan bagaimana kelompok Kristen yang sweeping saya sore itu mereka sangat mungkin juga membunuh jika tidak seagama. Jadi kita dibutakan oleh kepentingan apa di luar sana, akhirnya kita saling membunuh” Panjang lebar Martince menjelaskan pemahamannya yang mendorongnya menjadi orang pertama yang mengkarifikasi jika ada hujatan kepada kelompok muslim.

“Saya bisa menjelaskan, jika ditanyakan ke saya apa itu jihad” ujarnya tersenyum “ Kita harus jernihkan ini salah paham agama”

Tahun 2010, saat ada rumor beredar tentang rencana penyerangan kelompok Islam ke desanya Bukit Bambu yang 99,9 % beragama Kristen, berdiri di depan warga desa Bukit Bambu mengklarifikasi rencana penyerangan . Untuk membuktikan klarifikasinya,  Martince menghubungi anggota sekolah perempuan yang beragama Muslim, ibu Yanti, di desa Sayo. Warga yang panik dan mempersenjatai diri, segera membubarkan diri. 

“Provokator Damai” Kata ini tepat menggambarkan semangat dan pekerjaan Martince paska lulus dari kelas Sekolah Perempuan. Mengalami langsung konflik kekerasan secara beruntun di tahun 1998 – 2002 , Martince menjadi contoh sosok perempuan yang mampu bertransformasi mengurai rasa takut, kecurigaan, dendam pada komunitas agama yang berbeda. Martince mengunjungi wilayah-wilayah yang dikategorikan sebagai daerah pusat kekuatan Muslim, untuk bisa mengorganisir perempuan-perempuan desa bergabung di kelas sekolah perempuan. Keberanian Martince ini pernah menimbulkan ketakutan pada keluarga dan komunitasnya. Tetapi Martince meyakinkan keluarga dan komunitas Kristen tentang kebaikan dan jaminan dari keluarga muslim yang dikunjunginya. Beberapakali terdapat rumor penyerangan dari komunitas lain, Martince bergandengan tangan dengan anggota sekolah perempuan Muslim lainnya untuk mengklarifikasi dan mencegah konflik baru.

Baca Juga :  Kopi Kojo, Kopi Organik Orang Poso

Bukan hanya mampu menjalin persahabatan lintas komunitas agama, Martince menjadi contoh kepemimpinan perempuan di desa untuk terlibat secara aktif mengambil keputusan dalam desa. Martince memiliki tekad agar lebih banyak lagi perempuan di desa yang mampu berbicara dan bergerak aktif dalam pembangunan. Mengunjungi berbagai desa-desa di Kabupaten Poso dan Morowali, Martince membangun kepercayaan diri perempuan di desa untuk masuk dan terlibat dalam Musyawarah Desa, menjadi tim dalam pengambilan keputusan di desa. Martince juga keluar masuk kantor DPRD dan berbagai Dinas terkait di Kabupaten Poso, untuk melakukan lobi memastikan agar ada peraturan perundangan yang memberikan ruang dan mendukung partisipasi perempuan dalam pembangunan.

Sempat menjadi fasilitator kelas sekolah perempuan Angkatan II dan III, Martince sekarang menjadi koordinator pengorganisiasian di Institut Mosintuwu. Selain mengorganisir kelompok perempuan dalam beragam kegiatan kepemimpinan, Martince juga mengorganisir kelompok perempuan dalam mengembangkan usaha desa. Martince menjadi contoh hidup perempuan desa yang menjadi pemimpin dengan bergerak bersama perempuan desa lainnya untuk memastikan nilai kesetaraan dan keadilan menjadi milik perempuan dan kelompok marjinal lainnya.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda