Ekspedisi Poso : Menemukan Zona Sesar Poso Barat

0
3823
Longsor di Pegunungan wilayah Desa Meko paska gempa 24 Maret 2019. Pegunungan Tokorondo di wilayah Desa Meko merupakan bagian dari patahan / Sesar Poso Barat. Foto : Dok. Ekspedisi Poso

Di atas mobil pick up di perjalanan dari Desa Pandayora menuju Desa Boe, keduanya masih di kecamatan Pamona Selatan, kami sempat mengira nama Watu Makilo situs yang akan kami kunjungi itu artinya Lima Kilo. Ternyata bukan.  Papan informasi di pinggir jalan masuk situs ini menuliskan jaraknya hanya 1,5 km. Kami pun lega, rasanya bisa dilalui. Setidaknya berdasarkan pengalaman menyusuri gua dan gunung di desa-desa sebelumnya. Ini adalah hari kedua perjalanan pertama Ekspedisi Poso. 

Jalan masuk ke Watu Makilo sepanjang kurang lebih 500 meter berupa tangga beton yang kemiringannya semakin curam saat di penghujung. Jalan masuk  500 meter bukanlah penghujung perjalanan mencapai Watu Makilo.  Perjalanan selanjutnya semakin berat karena jalan setapak yang dilalui belum lama diguyur hujan. Selain licin, tanjakan curam membuat tenaga terkuras. Perjalanan setapak di medan yang mendaki, tebing yang seakan membentuk huruf V, akhirnya terasa berjarak 5 kilometer. 

Perjuangan untuk mencapai ketinggian gua Makilo tidak sia-sia. Tidak jauh dari gua Makilo, di sebelah utara terdapat dua batu besar dengan dinding yang lebarnya kurang lebih 10 meter, pada ketinggian 767 mdpl berdiri tegak berhadapan dengan garis-garis tidak beraturan, disetiap bagiannya membelah kearah barat. Apakah ini rekahan permukaan yang kami cari? 

Rahman , tim ahli Ekspedisi Poso dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) kemudian melakukan pencocokan peta sesar Poso Barat dengan posisi tebing menggunakan GPS. Berdasarkan pengukuran diperoleh titik koordinat 02 derajat 04 menit, 0,20 detik timur 120 derajat, 37 menit, 31,9 detik. Rahman, melanjutkan dengan memeriksa jenis batuan di dinding ini. Hasil pemeriksaan ini diumumkan kepada tim yang menyertai perjalanan menantang ini . 

“Berdasarkan hasil pencocokan data GPS dengan peta, sesar Poso barat diketahui posisinya tepat di tempat kita berdiri, disamping sebelah utara situs watu Makilo” ujarnya sumringah disambut wajah puas anggota tim lainnya. Mendaki selama 1 jam di tebing curam tanpa alat pengaman menjadi pengalaman menakjubkan.

Meski sudah dilakukan pencocokan menggunakan peta berdasarkan jalur gempa yang dilihat di peta dan GPS, masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk lebih memastikan usia rekahan ini. Meskipun demikian, Reza Permadi, tim ahli geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia ikut menegaskan bahwa menemukan rekahan pada batuan dengan komposisi seperti yang ditemukan di Watu Makilo menjadi salah satu faktor penting yang menunjukkan ciri adanya patahan.

Baca Juga :  Merancang Mitigasi Diketidaktahuan Hidup di Atas Sesar Aktif

Pada hari pertama perjalanan Ekspedisi Poso yang pertama, Reza juga menjelaskan salah satu penciri adanya sesar adalah air terjun. Hal ini dikemukakan setelah tim berjalan ke wilayah air terjun Kandela di Desa Tindoli. Desa Tindoli disebutkan menjadi bagian dari lewatnya sesar Poso. Hal yang sama dijelaskan oleh Abang Mansyursyah Surya Nugraha, tim ahli Ekspedisi Poso yang juga peneliti geologi Sulawesi, saat mengunjungi air terjun Saluopa , Desa Wera dan Batu Dua di Desa Leboni.

“Batu Dua ini bisa jadi terpisah setelah melalui peristiwa alam yang luar biasa” katanya Ega, nama panggilan Kaprodi Geologi Universitas Pertamina ini. Ega juga menunjukkan tebing batuan yang ada di sekitar Batu Dua.

Resti, tim ahli Ekspedisi Poso yang menekuni palaentologi, langsung menyambut penjelasan Ega dengan riang saat menunjukkan pada belahan batu yang diambil dari Batu Dua terdapat jenis fosil yang usianya bisa dihitung di laboratorium. 

“Ini jenis fosil yang berusia pendek, sehingga bisa kita tentukan usinya di laboratorium nantinya” Ujar Resti, yang juga dosen geologi di universitas Pertamina.

Mendapatkan usia dari fosil yang melekat pada batuan Batu Dua akan bisa memperkirakan kapan peristiwa alam yang cukup dahsyat ini membelah kedua batu ini. 

Ega menambahkan ciri-ciri adanya patahan di wilayah Batu Dua, dengan menunjukkan GPS yang menggambarkan adanya pegunungan yang memanjang ke arah barat . 

Tim Ekspedisi Poso menemukan bukti rekahan batu di zona Sesar Poso Barat, di Watu Makilo. Foto : Dok.Ekspedisi Poso

Saat menempuh perjalanan dengan perahu, tim memandangi perbukitan memanjang yang oleh peta geologi disebut sebagai pegunungan Tokorondo. Perbukitan memanjang dan berlapis-lapis namun terpotong-potong , bagi para geologist Indonesia dan dunia, menjadi sebuah wilayah penelitian yang sangat menarik . Demikian disampaikan Ega yang secara khusus meneliti terbentuknya pulau Sulawesi. 

“Sulawesi terbentuk dari amalgamasi beberapa pecahan blok kontinen yang berasal dari benua Australia. Salah satu konsekuensinya adalah gempa yang hingga saat ini terus terjadi di Sulawesi. Gempa tersebut terjadi karena adanya tabrakan serta pergeseran satu sama lain dari blok-blok yang membentuk Sulawesi” kata Ega.

Baca Juga :  Petani Poso Dibunuh, Dari Cap Banpol Sampai Salah Tembak

Batu-batuan dan fosil di batuan menjadi teman bicara para tim ahli geologi ini. Bagi Reza yang juga pendiri geowisata, Ega yang adalah peneliti geologi Sulawesi, Resti seorang palaentologist dan Abduh junior geologist yang ikut dalam perjalanan pertama Ekspedisi Poso, bukan hanya jenis bebatuan yang menjadi penunjuk tetapi juga posisi , letak, garis-garis yang ada dalam batuan.

Batuan dan Mitigasi Bencana

Sesar Poso Barat merupakan salah satu jalur gempa yang aktif kembali pasca gempa 7,4 sr yang mengguncang Palu 28 September lalu. Tercatat pasca gempa besar yang dahsyat itu Poso mengalami gempa besar berkekuatan 5,7 SR berpusat di sekitar Desa Salukaia.

Hingga saat ini, studi mengenai potensi bencana khususnya gempa di wilayah kabupaten Poso belum pernah dilakukan, jikapun ada sebaran informasi itu masih sangat terbatas. Berkaca dari peristiwa bencana di beberapa daerah, masyarakat perlu mengetahui potensi bencana apa saja yang ada diwilayah tempat tinggal mereka.

Kepada Aris Pasombo mantan kepala dusun dan mama Sion tetangganya kami menanyakan apakah pernah mendengar istilah sesar atau patahan yang menyebabkan gempa? dijawab belum. Mama Citra warga lainnya mengatakan setelah gempa dia berusaha mencari-cari informasi sumber gempa. Kekhawatirannya semakin tinggi saat mendapatkan informasi yang berseliweran yang menyebutkan pusat gempa didalam danau dan tsunami akan segera terjadi.

Tidak adanya informasi yang kuat sampai kepada warga dusun Ampu-Ampu membuat mereka berusaha melakukan analisis sendiri kemungkinan bencana yang akan terjadi. Aris Pasombo misalnya yang khawatir kemungkinan banjir bandang akibat gempa. Dia mengatakan, disalah satu titik sungai Meko diapit dua tebing, jika salah satunya longsor akan menyumbat aliran air yang bisa memicu banjir bandang.

Sebagian besar masyarakat di sisi barat danau Poso belum mengetahui wilayah mereka dilalui sesar yang menjadi penyebab gempa. Mama Citra, warga dusun Ampu-Ampu desa Meko dan sekitar 9 orang warga lainnya sehari setelah gempa 5,7 SR lalu menunjukkan mereka belum memiliki informasi apapun, termasuk yang berkaitan dengan mitigasi bencana. 

Gempa berkekuatan 5,7 SR pada hari Minggu 24 Maret sekitar pukul 8:35 pagi bersumber dari Sesar Poso Barat. Berbeda dengan gempa sebelumnya, kali ini ada hal lain yang membuat warga di sisi barat danau Poso itu khawatir yakni munculnya suara gemuruh dan ledakan sesaat sebelum gempa terjadi. Suara-suara itu masih terus terjadi mengiringi gempa-gempa susulan hingga hari Selasa 26 Maret 2019. 

Baca Juga :  Menyemai Perubahan : Buku Kisah Anak Muda Rekonstruksi Paska Bencana

Lalu ditengah minimnya informasi, bagaimana cara warga disana menghadapi bencana? Saat kami sedang berbincang tiba-tiba gempa mengguncang.  Semua bergegas ke halaman. Lalu teriakan-teriakan Uuuu…uuuuuu..bersahutan dari rumah-rumah dilorong itu. Rupanya itu salah satu cara untuk memberitahukan bahwa mereka ada disana.

Di Desa Leboni ujung dari kecamatan Pamona Puselemba di sebelah barat salib besi diatap menara Gereja bengkok. Menurut pendeta Dedi S Abu, kerusakan itu terjadi akibat gempa saat mereka tengah beribadah hari minggu itu. Kerusakan juga terlihat dari sejumlah Pura di desa Toinasa dan Salukaia kecamatan Pamona Barat. Di desa Meko bangunan sekolah SDN 2 Meko rusak berat. Di ibukota kecamatan ini sejumlah warga mengungsi ke kebun yang ada disebelah barat kampung.

Meko, Salukaia dan Toinasa serta Owini bisa dibilang merupakan desa baru di sisi barat danau Poso, sebagian penduduknya merupakan pindahan dari beberapa desa lain seperti Bancea, dan desa lain disekitar danau Poso, juga warga transmigrasi dari Bali, ada pula warga dari Rato, sebuah lembah diwilayah dekat Rampi, kabupaten Luwu Utara, Sulsel. Itu pula sebabnya jarang ada cerita mengenai peristiwa gempa dimasa lalu yang terekam diwilayah ini.  Aris Pasombo dan papa Tole, tukang kayu di desa Meko mengatakan gempa 5,7 SR hari Minggu 24 Maret itu yang terbesar mereka rasakan sejak bermukim di ibukota kecamatan Pamona Barat itu sejak tahun 2000. 

Ekspedisi Poso sendiri merupakan perjalanan yang salah satu agendanya mencatat potensi bencana yang ada di kabupaten Poso.  Pada perjalanan pertama ini, ekspedisi poso masih menjelajahi 17 desa di pinggir danau Poso. Desa-desa tersebut adalah Desa Tolambo, Tindoli, Tokilo, Pendolo, Pandayora, Bo’e, Mayoa, Panjo, Bancea, Taipa, Owini, Meko, Toinasa, Salukaia, Leboni, Wera dan Tonusu. Pada bulan Juni nanti ekspedisi akan dilanjutkan dengan penelusuran ke wilayah yang dilalui sesar Poso. Perjalanan akan dimulai dari desa Dulumai, Tentena hingga Poso Kota .

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda