Mosango, Bergembira Berbagi Rejeki dari Danau Poso

1
5647
Tradisi mosango di wilayah sekitar Danau Poso yang masih berlangsung hingga sekarang. Foto diambil saat mosango di wilayah Polapa Baula, Pamona Selatan. Foto : Dok. Aliansi Penjaga Danau Poso

Uhuiii…, huuuuuuu,…hooooo…

Seruan panjang ini diteriakkan oleh seorang nelayan disambut dengan sorakan gembira ratusan nelayan lain di lokasi Kompo Dongi. Tangannya memegang ikan yang terperangkap di dalam sango. Belum juga selesai meletakkan ikan pada tali di pinggangnya, seruan dari arah lainnya kembali terdengar. Seorang warga lainnya berhasil  mendapatkan ikan di dalam sangonya. Seruan-seruan kegembiraan ini sambung menyambung terdengar hampir setiap 10 sampai 20 menit selama kurang lebih 3 jam.

Mosango, demikian masyarakat Danau Poso menamai aktivitas menangkap ikan ini. Untuk bisa ikut bersama Mosango, semua warga yang turun mosango harus memiliki alat sango. Sango terbuat dari bambu bulat tipis dengan panjang 30 – 50 cm yang diikat dengan rotan berjarak dekat antara satu dengan yang lain, dengan posisi kerucut. Sango akan ditancapkan ke dasar danau sekitar 3- 5 detik untuk menangkap ikan. Beberapa kali sango harus digoyangkan kiri dan kanan untuk merasakan apakah ada ikan yang terjebak di dalamnya.

Seorang ibu bersama sango yang dipakai untuk mosango di wilayah Kompodongi, outlet Danau Poso. Foto : Mosintuwu/Lian

Tahun lalu, 4 November 2018, saya menyaksikan mosango di wilayah Kompo Dongi. Hari sudah sore, wilayah Kompo Dongi ramai dengan mereka yang mosango maupun yang datang khusus menonton mosango. Puluhan warga menghentikan kendaraan bermotor mereka untuk menonton dan menyaksikan kegembiraan mosango. Sesekali mereka ikut menyambung teriakan ketika melihat warga berhasil menangkap ikan di sangonya.

“Kompo Dongi Ini sudah semenjak saya anak-anak jadi tempat Mosango” ujar Nenek yang rumahnya berada di ketinggian wilayah Danau Poso sehingga dapat melihat kegiatan mosango. 

“Orang-orang datang dari kampung-kampung ke sini, rame-rame untuk Mosango” lanjutnya.

“ Ada yang dari Saojo, Tendea, Sawidago, Kelei. Kalau sudah turun air, semua orang datang, Mosango. Orang kumpul sama-sama mosango, datang dari berbagai kampung, mo anak-anak atau perempuan, laki-laki, semua gabung. Disaat itulah orang-orang merasa ada kebersamaan, semua gembira, barangkali dapat ikan atau tidak, semuanya senang” 

Mosango hanya bisa dilakukan jika ada lebih dari 80 orang, semakin banyak orang semakin baik. Hal ini dijelaskan Hajai Ancura, sebagai salah satu filosofi mosango.

“ Tidak ada orang mau mosango sendirian, atau kalau cuma belasan orang. Mo gila orang kalau mosango cuma sedikit orang. Makanya orang akan baku panggil ( saling memanggil ) untuk mosango sama-sama” 

Baca Juga :  Perempuan Mencari Air di Kabupaten Air
Sango, alat untuk mosango yang digunakan dalam tradisi menangkap ikan bersama-sama di masa air Danau Poso turun. Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

Ratusan orang yang saling memanggil untuk mosango akan memulai mosango pada satu titik lokasi , lalu bergerak melingkar bersama-sama atau menyudutkan wilayah-wilayah ikan. Gerakan bersama dalam mosango inilah yang membuat mosango memiliki nilai filosofis. Wilayah yang dipijakkan kakinya oleh ratusan orang akan kabur dan menjebak ikan-ikan besar.

Hajai yang berasal dari Sawidago menceritakan bahwa inti dari mosango adalah kegembiraan dari kebersamaan. Hajai yang sudah mosango sejak masih remaja menjelaskan bahwa filosofi  mosango bukan hanya bahwa itu dilakukan bersama-sama oleh ratusan orang, tapi juga saling berbagi ikan dan air.

“Saat mosango, wilayah Kompo Dongi ini menjadi milik bersama. Siapapun yang dapat ikan , semua orang bersyukur, tidak akan menggerutu bahwa dia tidak dapat. Sebaliknya orang dapat ikan semua senang. Ada istilah  motila ri ue , atau berbagi rejeki di air. Orang tidak boleh menuntut harus dapat ikan yang sama, bahkan mereka akan bagi jika ikan yang mereka dapat lebih banyak dan yang lain tidak dapat”

Ferdy Kalengke, seorang nelayan waya masapi yang juga sering mosango menguatkan makna kegembiraan dari mosango 

“Kalau Mosango itu bisa sampai seribu orang yang turun dari kampung-kampung. Disitulah kebersamaan, semua gembira biarpun belum tentu dapat ikan”kata Fery Kalengke dalam talkshow di radio Mosintuwu, bulan Maret 2018. 

Bagi orang-orang dari Sawidago, wilayah Kompo Dongi bukan hanya sebagai wilayah mosango tapi juga memiliki sejarah panjang memperjuangkan hak mereka untuk bisa melakukan aktivitas menangkap ikan dan mosango. Kegembiraan bukan hanya menjadi milik mereka yang mosango. Menurut warga yang tinggal di sekitar wilayah Kompo Dongi, mereka ikut merasa bahagia setiap kali air sudah turun dan warga sudah datang mosango. Katanya selalu ada cerita-cerita menarik tentang mosango di kalangan keluarganya yang menyaksikan selama berpuluh-puluh tahun tradisi ini berlangsung.

Mosango, tradisi menangkap ikan di Danau Poso harus dilakukan bersama-sama oleh lebih dari 80 orang, dengan prinsip berbagi rejeki di air. Warga berkumpul dan saling memanggil untuk mosango. Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

Kegiatan mosango bukan hanya menjadi kebiasaan warga di sekitar Pamona Utara dan Pamona Puselembah. Warga di wilayah Pamona Selatan, Pamona Tenggara dan Pamona Barat memelihara tradisi mosango ini sampai sekarang. Prinsip dan nilai-nilai mosango yaitu dilakukan bersama-sama dan saling berbagi rejeki ini , juga dipegang oleh warga Pandayora, Tokilo, Tindoli, dan Pasir Putih. Kami berkesempatan melihat dan ikut mosango bersama warga di bulan Mei 2018.

Baca Juga :  Tiga Generasi Musisi Poso

Wilayah mosango ada di Danau Poso, khususnya di Polapa Baula,  yang airnya berasal dari Sungai Kodina. Untuk mencapai wilayah mosango, warga bahkan berjalan hingga 5 km. Kadang mereka pulang tanpa membawa satupun ikan, namun mosango selalu menjadi kegiatan yang ditunggu. Areal berupa rawa seluas 2 kali lapangan sepakbola  ini memang menjadi lokasi Mosango yang masih dijaga oleh masyarakat sekitarnya. Meski dilokasi ini dipenuhi tanaman berduri  dan rumput tajam setinggi hampir 1 meter bahkan lebih, warga tetap turun mosango. 

“Ini hobi dan tradisi ratusan tahun di tempat kami, jadi biar tidak dapat ikan tetap kami turun sama-sama mosango”  ujar seorang bapak.

Yang lainnya menjawab

“Sejak kapan ada tradisi mosango? ya sejak adanya ikan disini, so ada itu mosango”

Membakar ikan bersama-sama setelah Mosango. Foto : Dok. Mosintuwu

Kebersamaan lain juga ditunjukkan saat setelah mosango selesai dilakukan. Mereka yang mosango akan membakar beberapa ikan yang ditangkap dan makan bersama-sama. Bekal seperti nasi, rica dan garam dibawa oleh warga dari rumah mereka. Ada semacam tabu yang dipercayai mereka yang mosango, yaitu untuk tidak membawa lauk dalam bentuk apapun dari rumah. Membawa lauk dari rumah dianggap akan memberikan kesialan bagi mereka saat mosango. 

“Kalau kita bawa bekal lauk dari rumah , itu bawa sial. Artinya kita tidak percaya sama danau untuk memberikan kita ikan sebagai lauk di sini” komentar seorang bapak. 

Tradisi Yang Terancam Dihilangkan 

Video visual rencana pembangunan taman konservasi yang dipublikasikan oleh PT Poso Energy menunjukkan tradisi mosango di Kompo Dongi dipastikan akan hilang. Untuk kepentingan pengerukan demi pemenuhan debit air PLTA Sulewana, wilayah Kompo Dongi akan dikeruk. Proses ini artinya menimbun tempat dimana ikan-ikan berlindung, bertelur dan berkembang biak. Selain tempat berkembang biaknya ikan, inilah satu-satunya lokasi Mosango di pinggiran danau Poso di wilayah Pamona Puselemba yang masih sering dilakukan sampai saat ini.

Pengerukan di wilayah Outlet Danau Poso oleh PT. Poso Energy ( 5 November 2019 ). Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

Irma Suriani, Pejabat perusahaan PT Poso Energy membenarkan bahwa lokasi pembangunan taman konservasi itu berada diantara bangunan putih bertingkat milik salah seorang pengusaha di Tentena hingga ke area dibelakang SPBU Tentena. Area yang disebutkan ini merupakan kawasan tempat Mosango yang masih lestari sampai saat ini. Meskipun demikian Irma membantah akan melakukan reklamasi.

Baca Juga :  Rumah Belajar Anak Indonesia : Ruang Bertemu, Belajar, Berpetualang Bersama

“Area Kompo Dongi nantinya akan tetap menjadi area konservasi, jadi kami tidak melakukan reklamasi. Yang ada adalah murni penataan sungai termasuk area Dongi tersebut”

Selain itu, Irma membantah bahwa yang dikeruk bukan Danau Poso tapi sungai Poso. Lokasi pengerukan akan dilakukan di bawah jembatan beton Pamona sepanjang 1 km ke arah sungai Danau Poso sebelum wilayah PLTA Poso 1. Pengerukan akan dilakukan selebar 42 meter dengan titik tengah pada bagian terdalam sungai Poso, selama 2 tahun.

Dalam pesan yang disampaikan di WA grup Danau Poso, Jumat, 24 Mei 2019, Irma menuliskan 

“Untuk budaya mosango dan monyilo itu nantinya tetap ada setelah pekerjaan dregding selesai dan taman konservasi selesai”

Para Toposango, sebutan bagi mereka yang mosango, menyebutkan penjelasan Irma tidak masuk akal. Hajai Ancura salah satu Toposango yang sudah mosango sejak masih anak-anak, mempertanyakan logika rencana ini. Apalagi lokasi yang disebutkan oleh Irma, termasuk didalamnya Kompo dongi, lokasi mosango.

“Wilayah Kompo Dongi ini adalah wilayah tempat ikan-ikan berlindung, bertelur dan berkembang biak. Kalau selama dua tahun sudah ditimbun dan dirusak, bahkan dibeton untuk taman air atau pembangunan hotel bintang 3 , bagaimana ikan-ikan akan bertahan, bagaimana kitorang mo mosango, sudah tidak akan ada lagi mosango?” 

Selain Hajai, Yanis Moento seorang Toponyilo yang selama bertahun-tahun monyilo termasuk di wilayah di bawah jembatan beton Pamona menyampaikan tidak masuk akalnya rencana tersebut. Katanya untuk bisa monyilo, membutuhkan arus dan kedalaman air tertentu, yang alami.

Sementara itu, Prof. Gadis , seorang ahli limnologi menyebutkan bahwa ekosistem sungai dan danau keduanya berkaitan. 

“Kedua ekosistem ini yg sangat berperan dalam keberadaan ikan sidat. Jadi apapun kegiatan di ke kedua ekosistem ini akan berpengaruh terhadap keberlangsungan dan kehidupan ikan sidat. Di tambah ekosistem riparian ( area daratan yang mengelilingi air, sungai dan danau ) yang juga mempunyai peran terhadap biota danau”

1 KOMENTAR

  1. Saya Chan. Saya berasal dari tana Poso, pandayora. Tradisi ini juga sering di lakukan di tempat asal saya. Kalau di Tentena lokasinya kompo dongi. Kalau di tempat saya lokasinya di “leru” (belakang kompi pendolo). Sampai saat ini tradisi ini Masi kami lakukan pada saat musim kemarau. Sangat mengasyikkan. Jadi rindu ingin pulang ke kampung. Salam Maroso, artikel ini sangat bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati ❤️🙏👍🙏

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda