Sepekan sebelum tanggal 4 Juni 2019 jalan-jalan di kota Poso hingga Tentena ramai oleh kendaraan pribadi. Lebih ramai dari biasanya. Ini pemandangan biasa setiap tahun jelang perayaan lebaran. Pos-pos pengamanan juga dibangun di dekat terminal untuk membantu pengendara yang akan pulang ke kampung halaman atau yang kini populer disebut mudik.
Di Poso tepatnya di wilayah Poso Kota yang sebagian berpenduduk suku Hulondalo banyak yang mudik ke Gorontalo. Eduard seorang pegawai di pemda Poso yang berasal dari Limboto, kabupaten Gorontalo merasa mudik setiap jelang lebaran itu seperti kewajiban, terutama untuk ziarah kubur.
“Ba siram kuburnya sebe (bapak) itu selalu saya bikin setiap mau lebaran, hitung-hitung selain doa juga tanda saya berterimakasih sama almarhum yang sudah membesarkan saya”kata Edi mengenai alasan utama mengapa harus pulang kampung.
Tradisi siram kubur atau ziarah biasanya juga dilakukan sebelum ramadhan namun banyak juga yang memanfaatkan momen saat lebaran dimana keluarga besar berkumpul. Mansur, bapak 3 orang anak asal Bone Sulsel juga menjadikan mudik seperti ritual tahunan. Bersama istri dan anaknya dia menyetir sendiri mobil dalam perjalanan selama 20 jam menuju kampung kelahirannya.
Tidak pulang berarti tidak berbakti sama orang tua. Tudingan seperti ini biasanya muncul jika lebaran tidak bersama orang tua. Mansur yang dibesarkan dalam tradisi bugis dimana bakti kepada orang tua adalah hal utama sangat kuatir bila dianggap mengabaikan orang tuanya.
Bukan hanya yang kerja atau tinggal di kota merasa harus pulang merayakan Idul Fitri, yang tinggal dikampung juga kembali ke kampung asal, dimana orang tua atau kakak tertua tinggal. Tradisi ini menurut sejarah sudah ada sejak zaman Majapahit.
“Dimana ada tiket murah, ba kasi info dulu sudah mau dianggap Malin Kundang saya ini kalau tidak pulang”begitu Fauzi meminta bantuan informasi harga tiket pesawat murah tujuan Poso. Ini pertama kali dia mudik ke Poso setelah beberapa bulan lalu menikah dan tinggal di Bontang Kalimantan Timur.
Di Poso lebaran itu sendiri seperti reuni besar para pemudik yang tinggal diluar, di kota-kota besar seperti Palu, Makassar hingga Jakarta. Reuni pertama biasanya terjadi dilapangan Sintuwu Maroso tempat shalat Ied dipusatkan. Selepas itu rumah-rumah terbuka, winalu, opor ayam, ikan bakar rica, lalampa, tape terhidang di meja bersama kue-kue kering menunggu kehadiran siapapun yang datang.
Bukan hanya yang muslim. Lebaran juga menjadi momen mereka yang beragama Kristen dan Hindu untuk mudik. Setidaknya yang tinggal atau studi di Palu. Pemerintah menetapkan libur lebaran dimulai Senin 3 sampai 7 Juni. Cukup panjang untuk kumpul bersama keluarga dan bertemu kawan yang tengah berlebaran. Itu sebab saat lebaran kota Poso ramai juga oleh warga Kristen dan agama lain yang sama-sama menikmati mudik.
Tradisi mudik ini menunjukkan keanekaragaman suku yang tinggal di Poso. Uniknya, meskipun berasal dari berbagai daerah dan tinggal merantau di Poso, sebagian besar sudah menganggap Poso adalah rumahnya.
“Saya memang punya kampung di Jawa Tengah, asalnya di sana. Tapi Poso sudah jadi rumah saya juga. Di sini dan anak-anak saya “ demikian diungkapkan Papa Bintang, seorang perantau asal Magelang yang saat ini menjual mie ayam di wilayah Tentena.
Kesempatan pulang kampung sekaligus menjadi kesempatan para pemudik menceritakan keadaan di Poso.
“Kami selalu sampaikan cerita kalau Poso aman dan kita saling membantu di sini meskipun berbeda agama. Soalnya banyak yang salah paham tentang keadaan di Poso hanya karena pemberitaan di media massa” sambung Papa Bintang.
Pulang kampung bisa jadi sebuah tradisi yang bukan hanya menunjukkan mereka tidak lupa orang tua, tidak lupa kampung halaman, tapi juga menyebarkan kabar baik tentang Poso.