Kami Masih Orang Desa

0
1915
Anak-anak di Desa Taipa bercerita kebahagiaan mereka bermain di desa. Foto : Dok. Mosintuwu

“Selama 20-an tahun saya berpikir salah. Salah karena mengira orang-orang di desa sudah tidak mencintai desanya dan mulai kekota-kotaan”

Awalnya, Ade Nuriadin, pegiat sosial di desa Toaya merasa orang di desanya sudah seperti orang-orang yang tinggal di kota pada umumnya, cuek tidak peduli pada lingkungan disekitarnya. Asumsi itu muncul karena desa tempat lahirnya itu sedang mengalami perubahan, seperti transisi dari desa menjadi kota. Kesibukan sudah mulai melunturkan kebiasaan bertemu dan bercerita yang dulu menguatkan ikatan sosial.

“Tapi saya keliru. Ternyata kami orang Toaya masih orang desa seperti yang saya kenal dulu. Ramah, masih suka tegur sapa”. Hal ini  membuat Ade dan teman-temannya di Institut Tana Sanggamu lega dan senang ketika menemukan kembali desanya. Penemuan kembali ini terjadi saat mereka melakukan penelitian sepanjang bulan Juli 2019.  Penelitian ini dilakukan dalam rangkaian pemetaan sosial untuk program rekonstruksi paska bencana berbasis komunitas. 

Mereka melakukan wawancara kepada kurang lebih 200 orang warga di 4 dusun yang ada di Toaya. Desa ini merupakan ibukota kecamatan Sindue.

Pengalaman menarik juga disampaikan Budi, anggota I-TASA lainnya begitu kami biasanya menyingkat nama organisasi ini. Saat bertemu orang-orang di dusun lainnya dia mendapatkan banyak pertanyaan sekaligus usulan yang menunjukkan mereka dipercaya ditengah banyaknya keluhan penyintas tentang seringnya mereka didata dan diwawancarai. Kejenuhan yang dirasakan warga juga disampaikan kepada Fandi, seniman muda di I-TASA saat berdiskusi dilorong-lorong kampungnya.

Baca Juga :  Dekolonisasi Bantuan : Solidaritas Masyarakat Dunia, Bukan Sekedar Bantuan

“Ditengah banyak pertanyaan terkait proses penelitian ini, saya temukan disini semua orang ingin membangun desa sehingga banyak yang memberikan usulan kepada kami, usulan untuk bikin kegiatan yang membantu saudara-saudara kita itu supaya bangkit kembali bahkan supaya lebih baik dibandingkan sebelum bencana”demikian Fandi menyimpulkan sikap orang-orang di desanya.

Pasca bencana 28 September 2018 yang menghancurkan hampir sepanjang wilayah pantai barat kabupaten Donggala, kota Palu, Sigi dan sebagian Parigi Moutong, berdatangan bantuan dari dalam dan luar negeri untuk para penyintas yang seperti tidak berdaya di minggu-minggu pertama pasca peristiwa yang menelan lebih dari 4 ribu jiwa itu. Banyaknya bantuan yang datang kemudian menjadi persoalan sendiri mulai dari jenis bantuan yang tidak tepat sasaran hingga cara mendapatkannya yang melalui proses berlapis. Hal ini kemudian membuat banyak warga menjadi enggan ketika menerima proses wawancara atau pendataan sosial seperti yang dilakukan oleh Ade, Budi dan Fandi di Toaya.

Bencana seperti gempa bumi dan tsunami meninggalkan persoalan ekonomi dan sosial yang hingga kini seakan menjadi tanggungan masyarakat korban sendiri. Seperti yang dihadapi petani di desa Toaya. Sawah sudah tidak bisa diolah karena saluran irigasinya rusak, imbasnya pada pendapatan. Upaya beralih menanam jagung dicoba, hasilnya terbentur pada harga pasaran yang anjlok hingga 3.000/kg. Catatan Institut Tana Sanggamu menunjukkan pendapatan para petani tidak lebih dari 500 ribu per bulan. Angka yang tidak sampai setengah dibandingkan ketika sawah masih bisa ditanami.

Baca Juga :  Jelajah Budaya Temukan Jejak Kemandirian di Pasar Desa Salukaia
Anak muda dari Desa Toaya sedang memetakan desa menggunakan GPS. Foto : Dok. Mosintuwu

Hampir sama dengan yang ditemukan oleh Ade, Budi dan Fandi di Toaya, di desa Lemusa kecamatan Parigi Selatan, kabupaten Parigi Moutong, anak muda di Desa Lemusa juga mengalaminya. Anto, Ika dan Piora yang tergabung dalam komunitas Sangga Lemusa juga menemukan banyak pertanyaan ketika mereka hendak bertanya. Ini disebabkan adanya stigma yang mengaitkan pendataan atau wawancara dengan pembagian bantuan.

Jika di Toaya persoalan pasca bencana yang menjadi fokus perhatian, di Lemusa yang menjadi temuan penting  adalah anak-anak muda putus sekolah, tidak adanya lapangan kerja, penggunaan narkotika dan ada segregasi diantara anak-anak muda yang kerap memicu perkelahian.

Stefan menuturkan bagaimana dirinya menemukan sikap tidak peduli pada persoalan yang terjadi di desa pada anak-anak seusianya yang ada di kisaran 20 hingga 25 tahun. Karena tidak ada pekerjaan banyak yang kemudian bekerja sebagai penarik kayu tebangan di hutan.

Padahal desa Lemusa sesungguhnya menyimpan banyak potensi, seperti dituturkan Piora, anggota Sangga Lemusa lainnya. Dalam penelitian selama kurang lebih 1 bulan di desanya, dia mengumpulkan banyak informasi dan data dari warga mengenai potensi-potensi apa saja yang bisa menjadi sumber kesejahteraan bila dikelola dengan tepat.

Baca Juga :  Desa di Kacamata Abu-Abu, Gumul Anak Desa

Potensi wisata misalnya. Sungai Lemusa yang jernih dipinggir kampung menjadi salah satu objek wisata yang bisa dikembangkan menjadi area kamping, belum lagi lahan subur yang bisa ditanami apa saja sebagai sumber pendapatan. Hanya saja perlu ada yang menggerakkan, peran inilah menurut Piora bisa mereka ambil. 

“Kami tinggal di desa, dan mencintai desa kami dan ingin agar ke depan semua orang masih di desa , tidak meninggalkannya” Ujar Ade “ karena ternyata kita ini semua masih orang desa”

Proses pemetaan sosial desa, menjadi langkah awal komunitas anak muda di Desa Lemusa dan Toaya untuk menyusun blue print dokumen rekonstruksi komunitas paska bencana berbasis komunitas. Pemetaan sosial desa ini menjadi langkah penting untuk memastikan rancangan pembangunan di wilayah paska bencana mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat, berakar pada desa, termasuk mempertimbangkan kondisi geologi mereka. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda