Bahasa Suku-suku Di Poso Bisa Punah

0
6163
Ngkai Balie, penyusun kamus bahasa daerah Pamona sedang menunjukkan tulisan tentang sejarah Poso kepada pegiat literasi , Neni Muhidin. Foto : Isra, Ekspedisi Poso

Kapan terakhir kita berbahasa daerah di rumah? atau siapa saja di rumah kita yang masih bisa berbahasa daerah? 

“Bahasa suku-suku di Poso bisa jadi salah satu bahasa yang akan hilang dan tergusur oleh bahasa lainnya”

Ahli Linguistik dari Balai Bahasa Sulawesi Tengah Dr Herawati mengatakan bahwa hal tersebut juga terjadi dengan bahasa ibu atau bahasa daerah lainnya di Indonesia. Pendapat ini disampaikan Herawati kepada jurnalis Mosintuwu disela acara Sosialisasi Penyuluhan Bahasa Indonesia Bagi Pengelola Media Massa di Kabupaten Poso hari Kamis, 26 September 2019. 

“Terutama jika bahasa ibu atau bahasa daerah tidak lagi digunakan dalam percakapan sehari-hari di rumah” sambungnya.

Saat ini Balai Bahasa  sudah mendata 17 bahasa di Sulawesi Tengah dimana 2 diantaranya adalah bahasa Pamona dan Mori. Kedua bahasa ini digunakan mayoritas penduduk kabupaten Poso . Selain itu ada dua bahasa asli lainnya yakni Bada di Lore Selatan dan Barat serta Pekurehua yang digunakan masyarakat di lembah Napu.

Meski saat ini belum menemukan ada kegentingan bahasa Poso atau Pamona, Pekurehua, Bada dan Mori bakal hilang, namun kecenderungan itu mulai tampak.  Salah satu indikatornya adalah keluarga lebih sering berkomunikasi dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari.

Baca Juga :  Mudik, Supaya Tidak Dianggap Lupa

Selain serbuan bahasa asing, salah satu kesulitan yang dihadapi bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tengah karena tidak memiliki aksara sendiri seperti Lontara atau Hanacaraka di masyarakat Jawa. Bahkan bahasa asing, seperti bahasa Inggris porsinya lebih digalakkan atau lebih trend diperkenalkan di sekolah daripada bahasa daerah. Adapun bahasa Pamona, Bada, Pekurehua atau Kaili semuanya menggunakan huruf latin sehingga sulit melestarikannya.

Kebutuhan untuk  terus digunakan dalam percakapan di rumah, harus disertai dengan kemauan pemerintah daerah untuk bisa memasukkannya dalam kurikulum di sekolah. Kurikulum muatan lokal di SD sampai SMP  dalam bentuk bahasa daerah merupakan salah satu dukungann pemerintah untuk memastikan agar bahasa asli wilayahnya tidak lenyap. Di kabupaten Poso, upaya melestarikan bahasa Pamona lewat muatan lokal sejak SD sampai SMP sudah dilakukan beberapa tahun terakhir. Langkah ini dianggap cukup efektif mempertahankan bahasa Pamona dan Bada serta Pekurehua dari kepunahan.

Selain lewat pelajaran di sekolah, menyebarkan bahasa daerah lewat kamus juga dilakukan. Saat ini di Poso terdapat dua kamus bahasa Poso yang ditulis oleh Abdurrahman Balie yang berisi lebih dari  tujuh ribu kata dan satu lagi berupa terjemaahan bahasa Pamona-Belanda ke Pamona Indonesia yang dicetak kembali oleh pemda tahun 2009.

Baca Juga :  Di Pagar Masapi, Fredi Kalengke Melawan Hingga Titik Terakhir

Abdurrahman Balie, Pelestari Bahasa Pamona

Abdurrahman Balie, lahir di desa Sayo tanggal 5 Agustus 1938, 80 tahun lalu. Setiap hari masih sering kita jumpai dia  berkeliling kota Poso menggunakan ojek untuk menjual kamus bahasa Pamona-Indonesia yang ditulisnya.

Balie menulis 340 halaman kamus bahasa Pamona-Indonesia selama 3 tahun dengan hanya menggunakan sebuah buku catatan besar, dia menuliskan setiap kata dengan rapi dipondoknya yang belum dialiri listrik. Saat ini dia tinggal di sebuah pondok kecil beratap rumbia di kelurahan Tegal Rejo, Poso Kota Utara.

Balie menjelaskan bahwa dia menulis kamus ini supaya orang Poso masih bisa mengklaim dirinya sebagai orang Poso. 

“Kalau orang sudah tidak fasih lagi berbahasa ibunya sulit dia disebut sebagai orang bersuku itu” demikian alasan  Ngkai Balie mengapa harus menyusunnya.

Bahasa Pamona saat ini menghadapi tantangan serius ditengah berbagai bahasa yang makin beragam digunakan oleh masyarakat, khususnya generasi muda. Menurut Ngkai Balie ada beberapa kata dalam bahasa Pamona yang sulit dicari padanannya pada bahasa Indonesia.  Persoalan seperti ini menurut dia menjadi salah satu tantangan serius yang harus dipikirkan para kaum terpelajar Poso.

Baca Juga :  Morono, Tradisi Menangkap Ikan Kecil Danau Poso

Kamus Pamona-Indonesia adalah karya keduanya, sebelumnya dia telah menulis sebuah buku kumpulan derita rakyat Poso dalam bahasa Pamona. Meski belum ada yang membiayai penerbitannya, buku yang berisi 12 cerita dari 4 suku besar di kabupaten Poso kemudian di fotocopy di kertas bekas, lalu disampulnya. Buku itu kemudian disumbangkannya ke Perpustakaan daerah.

Tahun 2019, Ngkai Balie mendapatkan penghargaan Mosintuwu Award kategori Penjaga Tradisi Bahasa . Saat menerima penghargaan , Ngkai Balie mengajak lebih banyak anak muda untuk melestarikan bahasa daerah Poso. 

“Buktikan bahwa kita masih bisa disebut orang Poso bukan hanya karena kita tinggal di Poso atau lahir di Poso, atau bahwa kita masih bisa bilang ngana, karena itu bukan bahasa kita tapi karena kita masih bisa bicara dan menjelaskan dalam  bahasa daerah kalau ditanya ‘ incema siko?”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda