Animasi yang dibuat oleh PT Poso Energy membawa imajinasi banyak orang pada sebuah kehidupan modern yang menyilaukan. Kehidupan yang dibayangkan dan ditawarkan dalam animasi , terasa begitu menyenangkan dan modern. Tidak ada nelayan, tidak ada petani. Yang ada adalah orang-orang sedang berjalan-jalan dengan penampakan seperti turis dan bersenang-senang. Kehidupan berubah menjadi menyenangkan hanya dengan sebuah jembatan yang megah dan taman modern. Menjadi modern. Semuanya menyenangkan, layaknya iklan sebuah perumahan modern yang biasanya ditayangkan di layar televisi nasional.
Modern, kata ini menjadi impian kehidupan yang ditawarkan oleh PT Poso Energy. Impian yang rupanya didukung oleh Pemerintah Poso, bahkan oleh Majelis Sinode. Mungkin itu juga sebabnya, sebuah jembatan tua bernama Yondo mPamona terasa mengganggu imajinasi modernitas. Ide mengganti seluruh konstruksi jembatan Pamona dengan design yang modern terasa lebih masuk akal untuk kehidupan imajinatif yang ditawarkan. Kayu-kayu di jembatan Pamona digambarkan sudah tidak tahan lagi dan perlu diganti. Tidak peduli bahwa kayu kulahi adalah jenis kayu yang semakin kuat jika di air, konon bisa sampai 300 tahun tahannya. Bahkan bukan diganti, tapi di bongkar. Yondo mPamona yang baru akan dibuat “modern”, menggantikan yang “kampungan”. Ide pembangunan modern ini memabukkan.
Bagi sebagian masyarakat, melihat pembongkaran Yondo mPamona hanya masalah bongkar yang lama ganti yg baru. Mengganti yang baru yang lebih modern. Namun, mencermati rancangan penataan sungai Poso, membongkar Yondo mPamona tidak sesederhana mengganti yang lama dengan yang baru.
Kisah yang tidak diceritakan dari animasi PT Poso Energy, adalah penghilangan sejarah, dan penghancuran kebudayaan.
Mengapa penghilangan sejarah? Jembatan kayu Pamona, dibongkar diganti dengan design baru berkerangka besi . Sejarah pembangunan jembatan Pamona seperti dikisahkan oleh banyak orang tua, adalah sejarah mosintuwu, sebuah nilai kebudayaan orang Poso untuk bekerja bersama-sama. Masyarakat wingke ndano, wingke mposo, onda’e , bersama-sama membawa bahan-bahan kayu dari desa-desa, menyumbangkan tenaga untuk menyelesaikannya menjadi sebuah jembatan.
Meskipun kemudian pernah dilakukan renovasi beberapa kali karena kondisinya, namun bentuk kayu dipertahankan. Itu sebabnya untuk kebutuhan lalu lalang kendaraan bermotor pada tahun-tahun kemudian dibangun jembatan baru berbentu beton, tanpa mengubah jembatan Pamona. Kebijakan ini menghargai sejarah mosintuwu pembuatan jembatan Pamona.
Maka, jika dibongkar, tidak akan ada ingatan dan kenangan tentang Yondo mPamona yg pernah dibangun bersama oleh masyarakat wingke ndano, wingke mposo, onda’e.
Pada tahun 1966, diceritakan oleh orang-orang tua bahwa sebuah lagu diciptakan khusus untuk jembatan Pamona sebagai sebuah ekspresi kebahagiaan atas dibangunnya jembatan Pamona bersama-sama . Demikian cuplikan syairnya :
“Puumboto, Ondae dan Tentena dulunya satu satu
skarang jadi satu
sbagai bukti jembatan Puselemba
bayangan kemakmuran, kecamatan Pamona “
Orang-orang tua terdahulu melihat Yondo mPamona sebagai alat pemersatu antara masyarakat. Jika dulunya Puumboto ( wilayah Pamona Selatan ), Ondae ( Pamona Timur ) dan Tentena terpisah secara geografis, Yondo mPamona yang menyatukan. Penyatuan secara geografis ini dilakukan atau proses pekerjaannya dilakukan dengan bekerja bersama-sama. Sebagai hasilnya Yondo mPamona bukan hanya jembatan penyebrangan, bukan hanya simbol penyatuan wilayah yang terpisah oleh sungai Danau Poso, tapi sebuah simbol pemersatu.
Simbol kebudayaan ini akan dibongkar untuk kepentingan PT Poso Energy, sebuah perusahaan PLTA asal Sulawesi Selatan. Mereka menawarkan kebudayaan modern yang tidak peduli pada sejarah, apalagi kebudayaan Poso. Ada semacam anggapan kebudayaan itu sudah kuno, seperti tuanya jembatan kayu. Tidak ada yang tahu, kayu kulahi yang kelihatan tua, semakin terendam air semakin kuat dan kokoh. Ironisnya, PT Poso Energy berhasil menegosiasikan kepentingannya. Oleh Camat Pamona Puselemba, pembongkaran disarankan dilakukan oleh masyarakat, didukung oleh pemerintah daerah dan orang-orang yang memiliki garis keturunan yang sadar kebudayaan Poso.
Ide agar pembongkaran dilakukan oleh masyarakat sendiri adalah sebuah ironi, gambaran memecah belah persatuan yang disimbolkan oleh Yondo mPamona. Yondo mPamona yang seharusnya menjadi simbol bersatunya orang-orang Wingke ndano, wingke mPoso , Onda’e berakhir dengan kisah pecah belah. Sungguh ironis, pecah belah ini karena sebuah kepentingan perusahaan , PT Poso Energy.
Di tanah ini, di negeri yang diberikan Sang Khalik pada kami, leluhur kami membangun sebuah peradaban, menciptakan tatanan bermasyarakat dengan semboyan “Sintuwu Maroso”. Pernah diabadikan dalam salah satu karya bersama yg sederhana: Yondo mPamona.
Lalu mereka datang. Kami sambut dengan ramah sambil menempatkan mereka di kamar depan pondok budaya kami. Demikian keluhur kami mengajarkan bagaimana menghormati tamu yang datang. Kemudian mereka meminta kamar yg lain. Kami pindah ke wilayah dapur. Demikian leluhur kami mengajarkan bagaimana menghormati tamu yg datang.
Tamu kami punya banyak keinginan; mereka meminta lagi wilayah dapur, pusat budaya kehidupan kami. Haruskah kami keluar dan membangun pondok budaya kami di sudut halaman belakang tanah kami? Lalu warisan budaya yang ada tergantikan dengan apa yg mereka inginkan? Kami bertanya pada para tetua, mereka hanya tersenyum penuh arti sambil menyuruh kami berkemas dan mereka berkata:”demikianlah leluhur kita mengajarkan bagaimana menghormati tamu yang datang.”
Kelak anak-cucu kita akan memberi penilaian apakah kita ramah atau bodoh.
Saya membayangkan, jika mempertimbangkan sejarah kebudayaan Pamona, mereka pengambil kebijakan berkenan menyisahkan sedikit sejarah budaya Pamona. Bagaimana?membangun kembali jembatan yg akan dibongkar ini dengan tetap mempertahankan konstruksi kayu, dapat dilewati, tetap terbuka untuk masyarakat umum, tidak dikuasai pedagang.
Ketika kita menatap tiang kayu kokoh berdiri, ada kisah sintuwu leluhur kami.
Animasi hanya indah di tayangan dan lamunan,tetapi pahit didalam kenyataan bagi masyarakat pamona karena culturnya dilecehkan oleh segelintir orang .