Melukis Ancaman Lingkungan di Atas Jembatan Pamona

0
2479
Seniman seperti Rio Simatupang, Ferdy Kaladu, Erick Bindu membuat lukisan tentang ancaman lingkungan dan budaya di atas Jembatan Pamona sebagai aksi solidaritas. Foto : Dok . Amanatia

Ibu Miranti tidak pernah membayangkan sebelumnya bila ia harus pindah dari bantaran sungai di hilir Danau Poso. Kesehariannya telah menyatu dengan danau purba tersebut. Semenjak suaminya tiada, ia tinggal bersama anak dan cucu, menggantungkan hidup pada berkah Danau Poso. Air untuk minum, memasak, mencuci dan mandi didapat langsung dari air sungai yang masih jernih dan bersih. Ia membuka warung makan dan berternak ikan dalam karamba untuk menafkahi keluarganya. Sudah sepuluh tahun ia tinggal di sana.

Sudah tiga minggu ini air yang keluar dari pipa panjang miliknya keruh di kala siang hari. Saat malam hari, barulah air yang ia butuhkan cukup jernih seperti biasa. Ibu Miranti menduga bahwa perubahan air sungai itu akibat dari proyek Penataan Sungai Poso yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Poso dan PT Poso Energi.

“Katanya di bawah, orang sudah dapat ganti rugi. Hanya lima juta jo buat karamba seperti punya saya. Padahal, sekali panen saat Natal saya bisa dapat tiga sampai empat juta. Warga banyak yang tetap bertahan,” ungkap Bu Miranti. Raut wajahnya gamang saat mengalihkan pandangan ke karamba yang beberapa bilah bambunya terlepas, tepat di bawah lantai papan rumahnya. “Saya sudah putus asa. Tidak mau memperbaiki karamba itu. Buat apa kalau sebentar lagi harus dibongkar?”

Baca Juga :  Menjadi Pemimpin Perempuan di Lembah Lebanu PosoBecoming Women Leader
Rumah-rumah warga di tepi Danau Poso yang akan menjadi terdampak pertama dari pengerukan sungai Danau Poso. Foto : Dok: Amanatia.

Sore ini (30/10) Ibu Miranti melihat ada banyak orang berkumpul di Jembatan Pamona atau yang biasa disebut Yondo mPamona. Dari jendela rumahnya ia juga melihat beberapa orang berseragam Satpol PP dan orang-orang proyek ikut berkerumun. Karena penasaran, ia segera keluar rumah dan mencari tahu.

Di salah satu sisi jembatan kayu tua tersebut tiga papan triplek polos bersandar. Tiga orang laki-laki sedang menyiapkan peralatan melukis. Mereka membuka kaleng-kaleng cat dan menuangkannya dalam gelas plastik. Mencampurnya dengan sedikit air lalu diaduk hingga dirasa cukup cair. Tidak memakan waktu lama, para seniman itu menyapukan kuas ke permukaan papan. Gerakan mereka cekatan dan penuh kemantapan.

Rio, seniman bertubuh kekar memilih warna merah dan putih sebagai dasar lukisannya. Ferdi memilih warna biru, ia melukis ombak dengan indah. Sementara Erik membuat sketsa karang dan tumbuhan. Ibu Miranti menyaksikan gerak tangan ketiga seniman tersebut dengan takjub. Papan triplek yang polos segera penuh warna. Lukisan surealis bergambar rantai dengan dua lelaki bertangan besi pengeruk danau tampak mengancam sekumpulan orang yang berada dalam ketinting. Lukisan ombak danau yang indah dengan sosok naga dan bunga matahari yang besar pun tampak terancam oleh backhoe. Dan lukisan ketiga, seorang manusia dengan kepala dalam monitor tengah mengenakan kaos bertuliskan “Pohon Beton”. Tangan manusia itu juga terbuat dari besi mekanik.

Baca Juga :  Festival Sekolah Perempuan: Desa Membangun, Membangun Desa dengan Perempuan

 

Pelukis, Ferdy Kaladu, melukiskan kejahatan lingkungan yang sedang terjadi di atas Jembatan Pamona. Foto : Dok. Amanatia

Tentu mudah untuk memahami makna lukisan dari para seniman tersebut. Mereka menggambarkan pemandangan yang ada di depan mata. Tak jauh dari Yondo mPamona, di seberang jembatan beton, sebuah alat berat tengah bekerja, terapung di sungai. Terdengar suara logam berdenting dan mesin berdengung. Orang-orang berhelm putih tampak mengerjakan apa pun yang tampak janggal di tengah keindahan Danau Poso. “Tak pernah kulihat sebelumnya, alat berat seperti itu di Tentena. Sudah mirip Jakarta jo,” komentar Kris saat melintasi jembatan dan menengok sungai dengan prihatin.

Ibu Miranti teringat pada mimpinya beberapa hari yang lalu. “Saya orang yang jarang bermimpi. Tapi kemarin, saya bermimpi ibu lurah mendatangi saya dan meminta saya melukis di jembatan. Depe beri kertas dan pena. Saya bilang saya tak bisa melukis. Tapi, saya tetap melukis. Indah betul. Lalu dari arah jalan raya, empat orang perempuan datang masuk ke mari. Perempuan dewasa, tidak tua, tidak muda. Mereka mengenakan blus putih seperti pakaian orang-orang zaman dulu. Mereka hanya tersenyum pada saya dan memandangi sungai dari atas jembatan. Saya pikir mereka adalah penghuni tempat ini,” cerita Ibu Miranti. Ia tidak menyangka, tak lama berselang, sore ini ia menyaksikan sendiri para seniman melukis di atas jembatan. Melalui seni rupa, ekspresi atas ancaman korporasi terhadap Danau Poso semakin terasa nyata.

Baca Juga :  Sawit Datang, Danau Toju Hilang

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda