Memaknai Kembali Identitas di Festival Mosintuwu

0
1829
Karnaval di Festival Mosintuwu . Foto : Dok. Joshua Marunduh

Hari pertama Festival Mosintuwu (31/10) cuaca tak menentu. Sejak pagi langit biru cerah dan menuju siang matahari terasa membakar. Tiada orang yang tidak mengeluh akibat hawa panas di Poso. Kerap terdengar celetukan orang, “Matahari ada tiga di Poso.” Namun, beranjak dari pukul dua belas, silih berganti awan mendung berarak, memayungi lokasi festival dan sesekali gerimis turun. Hujan sedikit lalu reda lalu terik lalu gerimis kembali. Meski begitu, festival berlangsung meriah. Para pengunjung tetap bertahan mengikuti berbagai acara dan pertunjukan.

Asmara Tensil bangun pagi-pagi buta hari ini. Ia hendak mengikuti karnaval yang menjadi kegiatan pembuka Festival Mosintuwu. Ia bersama ibu-ibu, bapak-bapak, remaja dan anak-anak berkumpul di Taman Kota Tentena. Pukul tujuh pagi suasana di taman kota sudah ramai orang. Ibu-ibu dari banyak desa membawa beragam hasil bumi. Mereka mengenakan pakaian adat dan pakaian sehari-hari untuk bertani dan berkebun. Seikat padi disunggi di atas kepala, sayur-mayur dipikul, dijinjing dan digendong dengan keranjang anyaman seperti membawa tas ransel. Umbi-umbian pun ditata sedemikian rupa di atas nampan.

Asmara melihat ibu-ibu dari Desa Tuare menyanyi dengan nyaring. Bebunyian dari kentongan bambu dan alat musik tradisional lainnya mengiringi arak-arakan. Sebuah ogoh-ogoh dari Kampung Bali berada di depan, menarik perhatian lalu-lalang orang yang berkendara di jalan. Ogoh-ogoh berbentuk Bhuta Kala melambangkan keyakinan manusia atas kekuatan alam semesta. Ketika diarak oleh serombongan lelaki, ia berfungsi untuk membersihkan kejahatan yang dilakukan manusia pada alam.

Karnaval Festival Mosintuwu 2019 diikuti 15 desa dari Kabupaten Poso. Foto : Dok . Joshua Marunduh.

Karnaval dimulai dari Taman Kota Tentena menuju tanah lapang di sebelah Institut Mosintuwu. Di sanalah festival akan diadakan tiga hari, 31 Oktober – 2 November 2019. Hasil bumi yang telah diarak lalu diletakkan di tengah lapangan dan para ibu menyanyikan lagu-lagu daerah serta yel-yel dengan penuh semangat. Tanpa bisa Asmara kendalikan, di tengah suasana suka cita tiba-tiba air matanya menetes.

“Mengapa kamu menangis?” tanya seorang bapak sambil menepuk bahu Asmara.

“Saya merasa dekat. Saya tidak tahu bagaimana munculnya perasaan ini. Tapi saya sungguh merasa dekat,” ucap Asmara dengan mata basah.

Bapak tersebut tersenyum, “Inilah budaya nenek moyangmu.”

Tangis Asmara semakin deras. Hari ini untuk pertama kalinya Asmara menyaksikan kemeriahan festival budaya di Indonesia. Di negaranya, Jerman, tak pernah ia jumpai acara semacam ini. Ia tidak mengerti dari mana datangnya energi dan kekuatan para perempuan yang datang berombongan merayakan tradisi, hasil bumi, serta kehidupan yang selama ini mereka jalani.

Baca Juga :  Kerusakan Ekosistem dan Harga Mahal yang Dibayar Generasi Masa Depan

Asmara Tensil adalah seorang perempuan berdarah campuran. Ibunya berdarah Indonesia-Tionghoa dan bapaknya seorang Jerman. Kakek neneknya yang berasal dari Gorontalo tak pernah bisa pulang kembali ke tanah air. Mereka mempunyai hubungan yang rumit dengan negara karena terbuang sebagai eksil sejak 1965. Sementara itu, buyutnya dari pihak bapak adalah seorang fasis. Ketika Nazi masih berjaya kakek buyutnya seorang masinis kereta yang membawa para Yahudi ke kamp konsentrasi.

Berambut dan bermata coklat muda dengan garis wajah oriental membuat Asmara tidak pernah dianggap sebagai orang Jerman oleh masyarakat di sekitarnya di Jerman. Dan ketika tiba di Indonesia, ia juga tidak mirip orang Indonesia karena ia lebih mirip bule. Jika ia menyebut diri sebagai orang Tionghoa seperti yang selama ini dibanggakan kakeknya, ia tak pernah merasa menjadi orang Cina, toh keluarganya juga tidak berbahasa Mandarin. Beberapa orang bahkan mengira Asmara seorang Jepang. Ironi ini yang membawanya sampai ke Institut Mosintuwu. Di lembaga ini Asmara belajar keragaman budaya di Sulawesi Tengah, sebelum ia memulai perjalanan menelusuri asal-muasal identitasnya langsung dari tanah leluhurnya.

***

Acara di hari pertama Festival Mosintuwu begitu padat. Meski cuaca tak menentu, para peserta beragam workshop tak kehilangan antusias. Di panggung seni rakyat, Nardi Banggai mempresentasikan berbagai jenis alat musik tradisional yang ia bawa maupun yang belum sanggup ia bawa. “Ada 16 alat musik tradisional di Poso. Bisa dimainkan lengkap seperti gamelan di Jawa. Bisa pula satu-satu, tergantung acara dan kebutuhan,” terang Pak Nardi.

Pak Nardi begitu semangat menjawab semua pertanyaan peserta workshop musik tradisi. Seorang ibu mencatat dengan seksama setiap penjelasan pemateri tersebut. Banyak anak muda dan pelajar bertahan duduk saat matahari sedang terik-teriknya karena begitu ingin belajar alat musik yang sudah langka dijumpai di Poso. Ada tandilo, padengko ndarea, geso-geso, toduyo, di’o, dunde, ree-ree, tosil, bungo, dungde, lok e lok e. Bambu, kayu dan rotan adalah bahan utama sekian banyak alat musik tersebut.

“Tahu bungo ini isi apa?” tanya Pak Nardi sambil mengocok tabung bambu yang tertutup rapat.

Para peserta workshop bersahut-sahutan menebak isi alat musik itu.

“Bungo-bungo itu masuk kelompok perkusi. Di dekat danau sini, bungo diisi jagung sama seperti di Pamona Timur. Sedangkan di Pamona Selatan diisi kalide,” ucap Pak Nardi. Ia juga memberi tips agar jagung di dalam bungo tidak dimakan rayap. “Jagung dijemur dulu, e lalu dicuci air panas dengan garam biar awet,” terangnya.

Baca Juga :  Ada "Ratapan Danau Poso" di Pertunjukan Teater

Seorang pelajar bertanya bagaimana peran anak muda agar dapat melestarikan alat musik tradisional Poso. Pak Nardi menjawab dengan lugas, “Ini masalah urusan hati e, kalau Anda pemerhati budaya, orang yang peduli terhadap budaya, ingin mengembangkan budaya… kuncinya satu, pelajari alat-alat musik ini dan mainkan.”

Nardi Banggai memainkan alat musik tradisional semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Ia lalu mengembangkan kesenian ini secara serius sejak 2006 ketika terlibat dalam Festival Pumboto. “Saya ingin memperkenalkan kembali alat musik tradisi ke publik khususnya di Poso Pamona, namun kendala terbesar saya sekarang ini anak jaman now sangat terobsesi dengan musik modern,” ungkap Pak Nardi lalu menyeruput kopi. Selepas mengisi workshop, sembari menunggu hujan ia duduk-duduk di salah satu warung Pasar Desa yang menjual berbagai kuliner khas Poso.

Nardi Banggai tertawa saat saya bertanya mengapa namanya Banggai, seperti kepulauan di ujung timur Sulawesi Tengah.

“Apakah itu nama panggung atau nama populer?” tanya saya lagi.

“Banyak yang mengira saya orang Luwuk. Nama awal ‘Nardi’, nama belakang sama sekali tidak umum di Poso. Saya sering dianggap setengah Jawa setengah Luwuk. Tapi saya orang Poso. Itulah pemberian dari orang tua yang tidak dapat saya ganggu gugat.”

Meski namanya tak terkesan sebagai orang Poso, ia adalah seorang budayawan tulen. Nardi Banggai menggerakkan tiga sanggar seni. Padahal, ia seorang guru agama. Ia juga seorang pelatih karate. Oleh sebab keseriusannya dalam melestarikan musik tradisi, sejak 2012 di SMAN 02 Pamona Selatan, tempatnya mengajar, terdapat ekstrakurikuler musik tradisi. “Saya juga menyusun sebuah kamus terjemahan bahasa Pamona ke bahasa Indonesia. Saya kebagian mendaftar kata awalan huruf ‘R’, ada sembilan orang yang menyusun kamus ini,” cerita Pak Nardi. Ia juga menulis buku tentang legenda rakyat Poso.

“Darimana Bapak mendapat semua pengetahuan sekaligus keterampilan tentang kesenian dan kebudayaan Poso ini?” tanya saya keheranan, mendapati seseorang begitu serius mendalami banyak hal.

“Saya dapat dari Tuhan,” jawab Pak Nardi pendek.

***

Moapu, memasak kuliner asli dengan bahan organik dari desa di Festival mosintuwu , 31 Oktober 2019. Foto : Dok. Mosintuwu

Malam hari, setelah acara Molimbu atau makan bersama, Pak Nardi tampil kembali di atas panggung. Seorang diri ia menghibur pengunjung festival dengan bercerita. Suaranya lantang. Orang Poso menyebut monolog tersebut laulita, yakni mendongeng dalam bahasa Pamona dan dilantunkan seperti berpantun dan menembangkan sajak.

Baca Juga :  Kartini : Habislah Gelap, Terbitkan Terang Kartini : After Darkness to A Light

Saya dan Asmara menonton Laulita dan Karambang ditemani rintik-rintik hujan. Asmara tampak terhanyut dengan suasana festival dan sesekali bercerita betapa dirinya memahami sekarang bagaimana perasaan kakek neneknya yang terbuang dari tanah airnya sendiri. Ada kerinduan yang besar yang susah dijelaskan secara rasional. Meski sejak lahir ibunya telah tinggal di Jerman dan tak sekali pun menjejakkan kaki ke Indonesia, sering Asmara mendapati perempuan itumenangis karena merasa berbeda dan terasing di Jerman.

“Di sana, semenjak era industrialisasi masuk, masyarakat kehilangan tradisi mereka. Yang tadinya mempunyai budaya kerjasama yang kuat, akhirnya lenyap dan digantikan dengan individualisme dan keterasingan dalam peradaban modern. Semenjak perempuan-perempuan dibunuh (merujuk pada sejarah akumulasi primitif dan masuknya kapitalisme), lalu ditambah adanya genosida dan fasisme, orang Jerman tak pernah bisa bangga terhadap identitasnya. Kebanggaan itu jika ada sekarang dianggap nasionalisme yang berlebihan. Tidak seperti di sini, semua orang bisa bangga pada budaya yang diwariskan dari nenek moyangnya.”

“Aku kira memang ini bukan tentang nasionalisme. Budaya lebih besar dari nasionalisme. Kamu menangis tadi di karnaval karena keterhubungan yang sukar dijelaskan, tapi kalau boleh kusebut, dalam dirimu juga tersimpan memori kolektif, arketipe yang diwariskan leluhurmu.”

“Ya, benar. Mereka ada di dalam jiwaku. Aku dapat merasakan identitasku sekarang. Aku berharap ibuku sekarang di sini pula, kami bisa menangis bersama,” ucap Asmara. Sepasang matanya kembali basah.

Malam ini, sebelum kembali ke ruang masing-masing, saya dan Asmara sempat menyusup dalam salah satu tenda ibu-ibu alumni sekolah perempuan. Meski acara festival telah usai, sayup-sayup terdengar suara para perempuan menyanyi. Sebanyak 15 ibu-ibu Tuare menyanyikan lagu berbahasa Bada. Mereka latihan menyanyi untuk tampil keesokan hari. Tiada raut wajah lelah. Semua berdendang sambil menari. Kekompakan mereka membuat saya dan Asmara bertepuk tangan senang.

“Lagu tadi bercerita tentang apa, Ibu?”

“Tentang Bada, kampung halaman yang akan selalu kami rindukan ke mana pun kami pergi.”

Asmara tersenyum mendengar jawaban itu. Baginya, hari ini salah satu hari paling berkesan dalam hidupnya.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda