Selama 7 hari , sejak tanggal 19 November 2019 masing-masing sekitar satu jam, beberapa orang tua mengunjungi lokasi Yondo mPamona. Tepatnya 100 meter dari lokasi Yondo mPamona, jembatan tua yang oleh warga dianggap bersejarah karena merupakan simbol kerjasama antar suku Pamona. Pada hari pertama kunjungan mereka, mereka menyaksikan secara langsung pembongkaran jembatan Pamona. Pada kunjungan di hari-hari berikutnya satu persatu tiang jembatan dicabut, atap diturunkan, hingga akhirnya jembatan penuh kenangan itu hilang dari pandangan mata. Beberapa menangis, sambil melantunkan doa-doa.
Bukan sekedar berkunjung. Megilu , demikian para orang tua yang bergabung dalam Aliansi Penjaga Danau Poso ( APDP ) ini menyebutkan aktivitas kunjungan mereka setiap hari selama 7 hari berturut-turut. Megilu, dalam bahasa Pamona yang berarti mengadu atau mengeluh.
“Tapi ini bukan sekedar mengeluh atau mengadu saja “ cerita Pdt. Wuri, salah seorang anggota APDP. “ Tapi meminta pembelaan pada apa yang diperjuangkan oleh kita, kepada pencipta alam semesta ini”
Sebenarnya, megilu biasa dilakukan orang-orang di Poso. Terutama dilakukan untuk menceritakan persoalan , menyampaikan keluh kesah kepada seseorang. Bisa jadi pemerintah, bisa jadi orang yang lebih tua. Demikian dijelaskan Pdt. Wuri kepada saya.
“Ketika seseorang dikatakan megilu, maka itu adalah sebuah situasi dimana orang yang melakukan megilu itu berada pada tahapan yang sudah sangat lemah dan tidak lagi bisa mengatasinya sehingga mengharapkan pertolongan” tambahnya.
Megilu yang dilakukan oleh anggota Aliansi Penjaga Danau Poso bukan sekedar berkeluh kesah dan meminta pembelaan kepada sang Pencipta alam semesta. Mereka menyebutkan sebagai ritual megilu. Sebagai sebuah ritual, ada prosesi yang dilakukan. APDP melakukannya selama 7 hari berturut-turut. Diceritakan bahwa melakukan megilu selama 7 hari adalah sebuah tanda yang menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi ini sangat serius. Ada sebuah keinginan yang diharapkan terjadi, yaitu mencegah pengerukan dan reklamasi sungai Danau Poso. Karena keinginan mencegah terjadinya pengerukan dan reklamasi maka megilu ini tidak hanya ala kadarnya , atau sekali saja tapi 7 hari.
“7 hari ini didapatkan dari cerita di kitab suci Kristen, khususnya kisah runtuhnya tembok Yerikho. Tapi di dalam tradisi orang Pamona Poso, jumlah 7 melambangkan kesempurnaan sebuah hitungan. Sering disebut kasawi imba “ Pdt. Wuri menjelaskan mewakili APDP “ hitungan yang 7 menunjukkan kesungguhan kita untuk melakukan sesuatu.
Yanis Moento, seorang nelayan mencontohkan dalam tradisi adat pernikahan di Pamona misalnya, ketika adat perkawinan mas kawinnya jumlahnya 7. Maka, menurut kedua orang tua di APDP ini, angka 7 adalah angka yang sakral. Pdt. Wuri menyebutkan bahwa kisah di kitab suci bertemu dengan tradisi yang ada di Pamona.
Kesungguhan dari keinginan APDP untuk melakukan megilu ini dilatarbelakangi ketidaksetujuan APDP terhadap rencana program penataan sungai Danau Poso yang sedang dilakukan oleh PT Poso Energy yang didukung oleh pemerintah daerah. PT Poso Energy merencanakan pengerukan sungai Danau Poso sepanjang 12,8 km sedalam 4 – 6 meter di wilayah dimana selama ratusan tahun berlangsung kebudayaan Danau , antara lain wayamasapi dan mosango, termasuk keberadaan jembatan bersejarah Yondo mPamona.
Ketidaksetujuan ini sudah disampaikan berkali-kali melalui berbagai langkah. Misalnya melakukan dengar pendapat dengan anggota DPRD, mengajak dialog dengan pemerintah.
“Kita melakukan semua langkah tersebut dengan harapan ada respon yang positif. Sayangnya ternyata tidak. Semua itu pada akhirnya tidak mendapatkan jawaban. Kalaupun ada hanya jawaban tapi tidak ada tanggapan yang serius “ jelas Hajai.
“Sementara kita terus didesak oleh kenyataan bahwa wilayah Kompodongi sudah mulai dikeruk, jembatan Pamona dibongkar. Kita didesak oleh waktu dimana kita tidak bisa menunggu orang-orang ( pemerintah dan DPRD Poso ) itu. Namun disaat yang bersamaan kita juga sadar bahwa hal ini tidak lagi bisa kita tangani” tambah Pdt. Wuri.
Pdt. Wuri menekankan ketermendesakan situasi dimana APDP harus megilu selama 7 hari dikarenakan apa yang sedang diperjuangkan menyangkut kehidupan manusia, ini menjadi serius. Para petani sudah mulai gagal menanam, nelayan sudah tidak bisa bekerja, air sudah keruh sehingga beberapa keluarga sudah tidak bisa mengkonsumsi air danau yang bukan tidak mungkin semakin banyak orang yang terkena dampaknya.
“Karena ini serius kita harus mencari kemana lagi kita harus memohon jika bukan pada sang Pencipta semesta”
Pdt. Wuri menjelaskan bahwa megilu pada sang Pencipta ini, diwarnai oleh iman. Hal ini karena apa yang diperjuangkan juga sudah bicara tentang iman. Tidak harus iman kristen, kata Yombu, tapi pada siapa yang percaya bahwa TUhan yang dia percaya itu peduli pada kehidupan manusia.
Megilu bersama alam yang dijaga
Budaya dan alam yang dibicarakan dalam doa-doa yang dipanjatkan. Yombu Wuri menjelaskan bahwa apa yang sedang dilakukan adalah menjaga alam dari pengrusakan, bukan hanya karena alam ini adalah ciptaan Tuhan tetapi juga bahwa kehidupan manusia sangat erat hubungannya dengan alam.
“Di Poso ada istilah tumpu ntana. ini penunggu, dengan demikian orang Poso ini percaya ada unsur dalam alam ini yang kita tidak mengerti . Itu berarti alam ini berkepentingan untuk dilestarikan”
Karena itu, Pdt. Wuri menegaskan bahwa megilu tidak berarti kita menghadap pada alam tetapi megilu bersama dengan alam, bersama dengan isi alam . Sehingga megilu juga berarti dilandaskan pada sebuah kesadaran bahwa alam ini punya kekuatan-kekuatan yang kita pahami sebagai cara alam menjaga keseimbangan.
Bagi beberapa orang, cara alam menyikapi pengrusakan lingkungan adalah dengan mencari keseimbangannya. Beberapa ahli lingkungan menyebutkan cara alam mencari keseimbangan seringkali kemudian oleh manusia disebut sebagai bencana. Misalnya bencana banjir, karena banyaknya pohon yang ditebang, atau longsor karena kurang kuatnya pondasi tanah. Dengan memikirkan bahwa rencana pengerukan sungai Danau Poso dilakukan di wilayah patahan Sesar Poso yang menimbulkan gempa, maka APDP dalam beberapa pernyataannya menyebutkan rencana pembangunan harusnya memikirkan gerak alam tersebut.
Bagi beberapa tokoh adat, alam seringkali mengirimkan pesan dengan cara yang misterius. Setidaknya hal itu yang dipahami oleh beberapa anggota APDP di hari pertama megilu. Hari pertama megilu dilakukan bersamaan dengan pembongkaran jembatan Pamona yang disaksikan langsung oleh Bupati Poso, Darmin Sigilipu. Salah seorang pekerja jatuh dari jembatan yang sedang dibongkar hingga harus dirawat di rumah sakit. Dalam tradisi yang dipercaya oleh orang Pamona, ketika sedang melakukan sebuah pekerjaan terjadi sebuah kecelakaan maka pekerjaan tersebut harus dihentikan hari itu juga. Namun, tidak demikian yang terjadi dalam pembongkaran jembatan Pamona.
Saat pembongkaran jembatan bersejarah yang dibangun pertama kali oleh orang tua di desa-desa sekitar Danau Poso, terjadi kebakaran cukup besar di hutan dan wilayah perkebunan Kelurahan Sangele. Hujan deras turun disertai angin kencang yang berputar hanya diwilayah tertentu. Anggota APDP menganggap hal tersebut sebagai sebuah pertanda alam.
Secara bergantian, anggota APDP melakukan ritual megilu. Pada hari pertama hingga hari ketiga, ritual megilu diawali dengan orasi dilanjutkan dengan doa . Di hari ke empat , saat anak-anak muda di sekitar Danau Poso mulai bergabung, megilu diawali juga dengan orasi dan lagu-lagu yang mengingatkan agar alam tidak dirusak, dan warisan budaya agar dijaga. Pada hari ke enam , ritual megilu dilakukan secara khusus di wilayah Kompodongi, setelah tradisi budaya mosango dilakukan.
“Kita berharap pengaduan kita selama 7 hari kepada sang Pencipta disaksikan oleh masyarakat. Kita berharap bahwa mereka yang masih punya nurani ikut prihatin dan menurut saya, ketika mereka ikut prihatin dan sedih , itu nurani mereka bicara pada sang khalik . Ketika mereka trenyuh dengan keadaan itu, mereka bicara dengan sang khalik” pungkas Pdt Wuri.