“Sekarang tinggal lihat dimana ada peluang disitu kami monyilo atau ba panah, karena yah kita ini bisa apa? kami yang diminta harus mengalah”
Pernyataan pasrah itu dikatakan oleh papa Ge, seorang nelayan to ponyilo atau nelayan yang menombak ikan menggunakan perahu dan lampu pada malam hari di sungai danau Poso. Apa yang dikatakan Papa Ge seperti mewakili sebagian suara nelayan yang setiap hari menggantungkan hidup dari tradisi tua masyarakat pesisir danau Poso itu.
Proyek pengerukan sungai Poso sepanjang 12,8 kilometer dan sedalam 4 meter berada di lokasi tempat para nelayan menggantungkan hidup mereka. Pengerukan akan mengubah tradisi masyarakat yang sebelumnya monyilo untuk menangkap ikan dan sidat. Tradisi ini akan sangat sulit dilakukan lagi oleh para nelayan. Menurut Yanis Moento, seorang nelayan, dengan kedalaman seperti itu tombak mereka untuk Monyilo sulit mengenai sasaran. Sementara, waya masapi tentu juga sulit dibangun lagi sebab kayu untuk tiang pancang dengan panjang lebih dari 7 meter sulit ditemukan saat ini.
Sebuah surat edaran yang ditandatangani wakil bupati Poso dicetak dalam ukuran baliho dipasang dibeberapa sudut kota Tentena. Isinya larangan masyarakat membangun Karamba dan Waya Masapi selama 3 tahun kedepan atau selama proyek pengerukan itu berjalan.
Proyek pengerukan sungai Danau Poso dengan dalih program penataan sungai Poso oleh PT Poso Energy yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Poso dibawah pimpinan Darmin Sigilipu ini, bukan hanya menyulitkan para nelayan tradisional dengan larangan membangun. Sebaliknya, para nelayan diminta untuk membongkar wayamasapi, karamba. Permintaan untuk membongkar ruang mata pencaharian tradisional ini dilakukan langsung oleh orang-orang PT Poso Energy. Beberapa nelayan sudah diberikan ganti rugi untuk membongkar karamba dan wayamasapi.
Bukan tidak mungkin, perlahan tapi pasti mata pencaharian nelayan Danau Poso akan hilang. Bahkan, dalam perspektif ahli, meskipun nelayan masih ada , namun ikan-ikan akan migrasi atau punah karena aktivitas pengerukan oleh PT Poso Energy, perusahaan milik Bukaka Group ini.
Budidaya Sidat Ditawarkan
Tahun 2017 pemerintah Kabupaten Poso, meresmikan kampung sentra produksi sidat di Desa Peura Kecamatan Pamona Pusalemba dan Desa Pantango Lemba Kecamatan Poso Pesisir. Kedua desa mendapatkan masing-masing 120 kilogram bibit sidat jenis Marmorata untuk 8 kelompok petani. Marmorata adalah jenis Sidat khas danau Poso yang beruaya dari teluk Tomini ke danau Poso.
Dikutip dari laman kantor berita antara, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Poso, Yusak Mentara mengatakan, dua kampung sidat itu untuk mendorong pendapatan ekonomi masyarakat setempat sekaligus menjadi sumber pendapatan asli daerah. Kampung sidat juga untuk mempermudah wisatawan yang ingin mengkonsumsi sidat atau sekedar ingin melihatnya. Bukan hanya dua desa, Yusak mengatakan akan melihat desa lain yang punya potensi untuk menjadi kampung sidat baru.
Setelah dua tahun sejak diresmikan, hingga kini belum ada kabar panen Sidat di desa Pantangolemba maupun di desa Peura. Jika mengacu pengalaman desa Dulumai yang gagal membudidayakan Sidat, maka kemungkinan kedua kampung Sidat itu gagal.
Kepala desa Dulumai, Efren Ponangge mengatakan, program budidaya sidat di kampungnya menggunakan kolam. Setelah satu tahun sejak bibit sidat dimasukkan, ukurannya tidak sebesar yang diharapkan. Karena biaya pakannya semakin berat, Efren kemudian mengganti sidat dengan bibit ikan Mujair.
Tawaran melakukan budidaya Sidat dilakukan pemerintah dengan alasan mempertahankannya dari kepunahan. Dalam beberapa pernyataan, pemda Poso menyebut menurunnya populasi Sidat karena praktek penangkapan oleh nelayan terutama Waya Masapi sebagai penyebabnya.
Dalam sebuah penelitian berjudul Kebijakan Tentang Integrasi Aktivitas Penangkapan Dengan Pembudidayaan untuk Keberlanjutan Sumberdaya Ikan Sidat di Das Poso oleh Navy Novi Jefri Watupongoh dan Krismono menyebutkan, penurunan populasi sidat itu bukan hanya karena penangkapan oleh nelayan di danau, tetapi juga oleh nelayan di muara Poso dan adanya bendungan PLTA milik PT Poso Energi di Sulewana yang menghambat naiknya anak-anak Sidat(Elver) dari laut ke danau.
Fish Way atau jalur ikan yang dibangun di bendungan milik PT Poso Energi itu berada di tengah sungai, sementara jalur ruaya anak sidat justru di pinggir sungai. Akibatnya sidat ini terkumpul dipintu-pintu air dan ditangkap untuk konsumsi sebelum berkembangbiak di danau.
Situs resmi kementerian kelautan dan perikanan, kkp.go.id menyebutkan dalam salah satu artikelnya bahwa pembendungan sungai Poso di desa Sulewana oleh PT Poso Energi menjadi salah satu penghambat proses beruaya sidat dari laut maupun dari danau.
Kepala Dinas perikanan dan kelautan kabupaten Poso Yusak Mentara dalam sebuah wawancara baru-baru ini menyebutkan pihaknya melakukan restocking anakan Sidat jenis Marmorata ke danau Poso setiap 3 bulan, setiap kali dilepas sebanyak 5 ribu anakan, ini merupakan langkah antisipasi berkurangnya jumlah anakan sidat yang bisa mencapai danau Poso.
Menurut Head of Enviromental, Forestry, CSR Departemen PT Poso Energi, Irma Suriani, tingkat keberhasilan fish way mereka sebesar 60 persen. Angka ini menurut dia berdasarkan pengamatan yang mereka rekam. Selain dinas perikanan dan kelautan, Pos Energi juga sempat melakukan restoking anakan sidat, namun praktek itu mereka hentikan sejak 2017 dengan alasan bibit-bibit itu ditangkap kembali oleh nelayan.
Dengan kondisi seperti ini maka sungguh tidak adil menyalahkan para nelayan dan to powaya sebagai penyebab utama hilangnya Sidat dari danau Poso sebagaimana beberapa kali dikatakan oleh para pejabat kita.
Sialnya, setelah sumber penghidupan nelayan hilang, pemerintah tidak menyiapkan sumber penghidupan lain bagi mereka. Ganti rugi dianggap solusi, setelah itu terserah.
Penyelesaian nasib nelayan dengan sistem ganti rugi ini mendapat banyak kritik karena tidak memberi solusi jangka panjang kepada nelayan. Misalnya nelayan Karamba, dengan modal jutaan rupiah dari ganti rugi apakah bisa dialihkan pada usaha lain yang menggantikan sumber pendapatan sebelumnya.
Beberapa orang nelayan di Pamona sambil berkelakar menghitung uang ganti rugi 15 juta rupiah itu hanya habis untuk beli handphone atau motor. “Setelah banyak uang hidupnya enak, hanya makan tidur, tapi setelah 2 bulan, tidur tidak makan”.