Sound Keliling Desa, Mengubah Wajah Lemusa

0
2112
Musik keliling di Desa Lemusa, diselenggarakan oleh anak-anak muda Sangga Lemusa, menjadi ruang bertemu dan obrolan ringan antar anak muda. Foto : Dok. Sangga Lemusa/Stevin.

Biasanya saat malam menjelang atau di pagi hari , para orang tua di Desa Lemusa harap-harap cemas . Akan ada berita perkelahian di desa mereka. Anak si ini dengan si itu, anak desa tetangga dengan anak yang ini. Demikian berita hampir selalu berseliweran di desa. Seringkali setiap minggunya. Bagi beberapa orang, berita itu menjadi biasa. Lalu dilupakan.

Sudah setahun ini, bukan hanya para orang tua , masyarakat Desa Lemusa pada umumnya tidak lagi merasa perlu cemas. Berita yang akan mereka dengarkan bukan lagi soal perkelahian anak muda. Kali ini mereka ingin tahu dimana sound keliling ada? 

Saban sabtu malam di desa Lemusa anak-anak muda berkumpul untuk bermusik. Bermodalkan satu perangkat pengeras suara dan satu gitar, mereka memainkan lagu-lagu yang lagi hits seperti ‘Hanya Rindu’ nya Andmesh Kamaleng atau ‘Celengan Rindu’ Fiersa Besari sampai jam 11 malam. Tidak hanya di satu tempat, kumpul-kumpul sambil bernyanyi ini berpindah-pindah dusun. Pengeras dan alat musik pun berlindah-pindah dari satu dusun ke dusun lain. Stevan, salah seorang penggagas acara kumpul-kumpul ini mengatakan, batas waktu itu supaya mereka tidak mengganggu warga yang hendak istirahat.

Baca Juga :  Merekam Totalitas Relawan di Festival Mosintuwu

Ide membuat musik keliling muncul untuk membuka sekat diantara anak-anak muda Lemusa yang seakan terpisah oleh batas dusun. Lewat sound dan alat musik yang dikelola anak muda di Rumah Sangga Lemusa, perlahan-lahan sekat itu menipis.

Desa Lemusa dihuni oleh penduduk dengan suku dan agama beragam, selain suku Bada, Kaili adapula Bugis. Agama mayoritas Islam dan Kristen. Soal agama tidak ada persoalan, tapi hubungan antar anak muda tidak demikian. Solidaritas seakan terbangun berdasarkan dusun.

Desa Lemusa, kecamatan Parigi Selatan dulunya menjadi salah satu lumbung padi kabupaten Parigi Moutong. Namun sawah sebagian besar warganya hancur saat banjir bandang tahun 2012 meninggalkan material pasir di setiap petak sawah sehingga tidak bisa diolah kembali.

Pasca bencana itu banyak yang kehilangan penghasilan juga pekerjaan. Berkurangnya aktifitas produktif di desa membuat banyak anak-anak muda jadi penganggur. Tawuran dikalangan anak muda menjadi peristiwa rutin, baik sesama anak muda Lemusa maupun dengan anak muda dari desa lain.

Anto, salah satu anggota Rumah Sangga Lemusa, komunitas anak muda desa Lemusa yang dibentuk awal tahun 2019 mengatakan, banyaknya perkelahian diantara anak muda di desanya karena tidak ada tempat beraktifitas untuk penyaluran hobi atau bakat mereka.

Baca Juga :  Ironi Petani Danau Poso Diminta Biayai Infrastruktur Sebagai Ganti Kerugiannya Sendiri
Musik keliling di Desa Lemusa, diselenggarakan oleh anak-anak muda Sangga Lemusa, menjadi ruang bertemu dan obrolan ringan antar anak muda. Foto : Dok. Sangga Lemusa/Stevin.

“Dulu itu hampir tiap malam minggu pasti ada perkelahian antara anak dusun kami disini dengan dusun sebelah. Tapi sekarang sudah jarang” katanya. Bersama anak-anak muda yang bergabung di Rumah Sangga Lemusa mereka membuat aktifitas bersama, mulai dari diskusi sampai bermusik.

Agar tidak canggung, Anto, Stevin Ntibu dan Andi Rolis serta Stevan membawa alat-alat musik mereka mendekati anak-anak muda ini. Meski belum rutin, Stevin yang akrab disapa Ita mengatakan cara itu membuat hubungan diantara pemuda di Lemusa mulai cair.

“Itu yang ingin kami rubah. Tidak ada perbedaan, kami ingin semuanya satu sebagai orang Lemusa”. 

Harapan Ita itu coba diwujudkan bersama teman-temannya di Rumah Sangga Lemusa, mereka menyingkatnya RSL dengan mengajak sebaya mereka membincangkan kondisi desa, mulai dari posisinya yang rawan bencana, membangun pertanian ramah lingkungan, membangun kembali kesenian, semua tema yang dibicarakan selalu menempatkan peran para pemuda untuk mengerjakannya paling depan.

Sound musik keliling, perlahan mengubah wajah desa mereka. 

Baca Juga :  Martince : Perempuan Provokator Damai Poso

“Jalan kami masih panjang, kami masih gelisah ini itu. Mungkin sound keliling ini bisa ruang kami untuk cerita-cerita , kita bisa bikin apa untuk desa” kata Ita.

Bagikan
Artikel SebelumnyaMenyambung Hidup bersama Mahluk Hidup Lainnya
Artikel SelanjutnyaBer-Azan Subuh di Kota Mayoritas Kristen
Pian Siruyu, jurnalis dan pegiat sosial. Aktif dalam kegiatan kemanusiaan sejak konflik Poso. Sejak 2005 aktif menulis di surat kabar lokal dan media online. Sekarang aktif menulis tentang isu ekonomi, sosial, politik di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah untuk media Mosintuwu termasuk berita di Radio Mosintuwu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda