Tina terbeban setiap kali harus menceritakan tentang Poso. Bukan hanya kepada teman-teman di lingkaran sosial media, tapi juga pada keluarganya yang sudah lama tidak kembali ke Poso. Usianya masih sangat kecil, saat konflik kekerasan di Poso yang kemudian menjadi brand image Poso, terjadi. Dia hanya mendengar kilasan cerita, itupun umum. Tentang perkelahian anak muda yang menyebabkan rentetan peristiwa mengerikan terjadi. Pembunuhan, penembakan, bom, dan lapisan kekerasan lainnya yang katanya pernah dia alami tapi tidak terlalu diingatnya.
“Oh Poso? so aman disana?” reaksi yang sangat sering didapatkan oleh orang Poso ketika menyebutkan asal mereka.
Tergambar kengerian, ketakutan, dan pada saat yang bersamaan rasa ingin tahu . Berulangkali mengklarifikasi tentang keadaan aman bahagia di Poso, berulangkalipula rasa tidak percaya diri muncul. Hingga pada akhirnya anak muda seperti Kristina menjadi tidak lagi mengenal Poso.
Imajinasi tentang Poso yang penuh kekerasan, menghantui generasi muda di Poso, meruntuhkan kepercayaan diri mereka sebagai generasi muda Poso. Pada akhirnya, rasa malu dan ingin melupakan sebagai bagian dari Poso.
Padahal, di sekolah, anak muda lain seperti Tina diajarkan slogan Sintuwu Maroso, yang singkat pemahamannya adalah kuat karena bekerja bersama-sama . Orang-orang tua pernah bercerita bahwa dulu Poso bukan seperti sekarang. Poso dalam cerita para orang tua adalah wilayah yang sangat toleran, dimana muslim dan kristen kawin mawin . Poso dalam ingatan yang lainnya disampaikan sebagai wilayah yang kaya dengan tradisi. Mesale, misalnya. Sebuah tradisi bekerjasama membantu mengolah kebun/sawah atau membangun rumah. Posintuwu, juga model lain dari tradisi saling berbagi yang hidup di Poso.
Cerita-cerita ini seperti hilang dan menjadi slogan. Bukan hanya karena tenggelam karena imajinasi Poso sebagai wilayah kekerasan, tapi juga prakteknya sulit dibuktikan lagi.
Menjadi slogan, ketika kami belum menemukan 12 nilai kebudayaan yang ternyata masih hidup di Kabupaten Poso. Kesederhanaan, kemandirian, keberagaman, saling percaya, spiritualitas, solidaritas, kearifan tradisi, kesatriaan, kekeluargaan , perdamaian, keadilan, kesetaraan.
Pada beberapa sudut wilayah dan desa di Kabupaten Poso, warga dan komunitas masih hidup dan menghidupi nilai-nilai itu. Beberapa bertahan sendirian ditengah gempuran nilai individualistik dan materialisme. Tetapi masih ada. Nilai yang lain masih terus dipelihara sejak sebelum konflik kekerasan, bahkan saat konflik dan paska konflik.
Perjalanan keliling desa di tahun 2018 – 2019 membawa kami pada penemuan bersama nilai-nilai itu . Kerjasama Institut Mosintuwu dan Peace Generation memberikan peluang untuk memberikan makna atas temuan nilai-nilai tersebut. Di awali dengan melakukan refleksi atas 9 nilai Institut Mosintuwu, 12 nilai yang diajarkan oleh Peace Generation , serta 9 nilai Gusdurian , seri diskusi dilakukan berulang-ulang dengan tokoh masyarakat , budayawan, tokoh agama. Seri diskusi merefleksikan nilai-nilai ini, diteruskan dengan menggali praktek-praktek dimana nilai-nilai tersebut ada dan dihidupi di Kabupaten Poso. Temuannya menakjubkan.
Di Malitu, kami menemukan kisah dan praktek hidup bersolidaritas antar warga lintas agama dan suku. Solidaritas yang dijaga dan dirawat bahkan saat konflik kekerasan di Poso menyebar hingga ke desa mereka.
Di Mapane, kami menemukan kisah sejarah para tokoh Islam Baso Ali dan Kristen, Kruyt, yang mempengaruhi peradaban di Poso , mereka bertemu dalam pandangan yang sama yakni berbagi spiritualitas kemanusiaan. Saling memberikan dukungan untuk penyebaran agama ke wilayah-wilayah di Kabupaten Poso.
Di Tokorondo, sekelompok perempuan muslim penjual ikan dalam bakul, memberikan contoh rasa saling percaya antar umat beragama bahkan saat konflik kekerasan yang menyebabkan segregasi antara komunitas muslim dan kristen terjadi. Perjalanan menjual ikan di bakul dengan bertemu langsung kelompok perempuan kristen menjadi contoh saling percaya yang tidak luntur hanya karena konflik.
Di Desa Salukaia, sekelompok ibu petani menjadi simbol kerja mandiri dengan menggunakan sumber daya alam di desa dengan membuka pasar desa. Mereka berkebun, menjaga hutan dan sawah sebagai sumber pangan yang dijual di pasar desa.
Di Desa Dulumai, warga desa menjaga tradisi dan kearifan lokal mereka melalui bahasa daerah yang digunakan sehari-hari dan makan bersama yang disebut molimbu. Warga desa Dulumai memberikan pengalaman baik tentang desa di Kabupaten Poso yang berakar pada kebudayaannya, meskipun kemajuan dan modernisasi tetap terjadi.
Di Kelurahan Pamona terdapat simbol kekeluargaan dalam situs Watuponga’a yang menunjukkan sejarah kuat rasa persaudaraan warga Poso meskipun terpisah-pisah secara geografis. Kehidupan sehari-hari warga Pamona juga menunjukkan tradisi kuat rasa bersaudara ini.
Di Desa Pinedapa, kami menemukan warga desa yang sangat beragam, yaitu terdiri dari 25 suku , dan beragama Islam dan Kristen. Keberagaman suku ini tidak menghalangi kerjasama dan hidup bersama warga dalam desa.
Komunitas-komunitas di Kabupaten Poso juga memberikan cara pandang yang berbeda dalam membicarakan Poso. Komunitas Penjaga Danau Poso, misalnya, menggambarkan kesatriaan dalam memperjuangkan kearifan lokal dan ekosistem di wilayah sungai dan Danau Poso. Sementara Festival Mosintuwu dan Institut Mosintuwu, dalam perbincangan bersama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat dianggap tepat mewakili semangat dari nilai kesetaraan dan keadilan.
Nilai-nilai kebudayaan ini tidak mati, meskipun kehidupan modern berkembang pesat hingga ke pelosok desa, atau perkembangan teknologi mulai mempengaruhi kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Nilai ini ada. Namun rentan untuk ditinggalkan, terutama oleh generasi muda. Ditinggalkannya nilai-nilai kebudayaan ini akan mempengaruhi karakter dan masa depan Poso ke depan. Mempengaruhi peradaban orang Poso.
Tapi benar kata Edgar, seorang anak muda asal Tentena
“Bagaimana kami tahu dan paham jika tidak pernah diceritakan, tidak pernah ditunjukkan?”
Agar anak muda tidak kehilangan jejak dan identitasnya, demikian kami berpikir, maka memperkenalkan kembali nilai-nilai kebudayaan ini menjadi langkah awal . Jelajah budaya menjadi langkah awal mengumpulkan kembali harapan tentang Poso yang mengakar pada nilai-nilai ini. Jelajah Budaya Rumah Kita, menjadi ruang penjelajahan nilai budaya oleh anak muda lintas agama dan suku. Disebut Jelajah Budaya karena jenis aktivitas yang akan dilakukan adalah penelusuran nilai-nilai budaya. Rumah ditambahkan dalam Jelajah Budaya sebagai sebuah pemaknaan bahwa jelajah budaya ini ada di Rumah atau Tana Poso dan untuk Rumah / Tana Poso. Sementara kata KITA , merupakan akronim dari Kreativitas dan CINTA, dengan harapan hasil Jelajah Budaya akan mendorong kreativitas anak muda untuk membangun desa dan Tana Poso, dan memotivasi semakin mencintai Tana Poso yang kaya dengan keberagaman suku dan agama, serta keanekaragaman hayati.
Jelajah budaya Rumah KITA mengumpulkan anak-anak muda dari berbagai desa dan sekolah untuk melakukan perjalanan ke titik-titik nilai. Pada setiap titik nilai, mereka mengamati, mendengarkan, berdialog, bertanya, berproses bersama-sama untuk memahami nilai tersebut. Pada akhir aktivitas, anak-anak muda ini melakukan kerja sosial bersama-sama di wilayah titik nilai.
Jelajah budaya rumah bisa jadi adalah ruang-ruang dimana anak muda di Poso menemukan dirinya , karakternya, identitasnya lalu memperjuangkannya. Semoga.
Salam damai selalu, dari sahabat Alkhairaat dan NU Di Kota Poso. Semoga semua sahabat tetap kuat dan focus dalam menggali, menjaga dan merawat nilai-nilai kearifan lokal dibumi sintuwu maroso. Sebagai perekat kebersamaan yg telah teruji hingga saat ini dalam mempersatukan Umat alias masyarakat dikabupaten poso. #GusImPoso##