“Rumah sudah hancur. Yang bisa kami ambil hanya seng dengan kayunya. Tidak mungkin lagi kami bangun ulang disini. Satu-satunya jalan pindah”(Dikson Aheba)
Dalam ingatan sebagian orang-orang tua di Lengkeka masih mengingat cerita banjir pernah terjadi dimasa lalu. Ketika itu, desa di pinggir Taman Nasional Lore Lindu ini masih bernama Lengkoka. Dalam bahasa to Bada, Lengkoka artinya tikungan. Namun seperti daerah-daerah lain di Indonesia yang minim catatan tertulis, informasi mengenai peristiwa itu sangat sedikit. W.R Tobingki (64) warga desa Lengkeka mengatakan, dari orang tuanya mendengar kampungnya itu pernah diterjang banjir besar tahun 1927. Hanya itu informasi yang diketahuinya.
Lengkeka, desa yang diapit taman nasional dan sungai Lariang di lembah Bada sedang semarak. Pagar-pagar rumah ditata, pekarangan rumah-rumah bersih. Mereka bersiap menyambut kedatangan tim juri lomba desa tingkat kabupaten. Tahun ini desa Lengkeka mewakili kecamatan Lore Barat dalam lomba desa. Namun semua berubah. Banjir bandang tiba-tiba menerjang Lengkeka sekitar pukul 15:00 sore setelah hujan deras mengguyur desa itu.
Awu, biasa disapa Papa Lele sedang beristirahat rumahnya waktu itu. Dia baru pulang dari sawah ketika mencium bau pekat banjir. Begitu melihat ke jendela dia melihat gumpalan air coklat kehitaman datang menghantam dari sisi kanan rumahnya.
“Saya langsung teriak sama anak saya. Pergi cepat banjir datang, selamatkan apa yang bisa dibawa”
Hanya beberapa detik, air disertai kayu dan batu mulai menghantam kampung. Papa Lele memindahkan beberapa barang lalu menyusul istri dan anaknya menyelamatkan diri ke tempat agak tinggi. Pengalaman hampir sama juga dialami WR Tobingki. Ketika banjir bandang, dia sedang bermain bersama 3 orang cucunya di rumah saat ada teriakan dari luar.
“Air datang, cepat keluar”.
Kontur tanah di Lengkeka dan beberapa desa tetangganya seperti Kageroa dan Tomehipi hampir sama kemiringannya. Tanah di sebelah Taman Nasional Lore Lindu di sisi utara lebih tinggi dari posisi kampung. Sedangkan di sisi selatan yang lebih rendah adalah sungai Lariang. Itu sebab ketika bah datang diiringi batu-batu besar dan batang-batang kayu. Fakta kebumian ini membuat banyak warga disana mulai membicarakan keamanan kampung saat mereka kembali dari pengungsian nantinya.
Dikson Aheba terdiam cukup lama memandang rumahnya yang nyaris roboh, temboknya jebol, kursi dan perabotan lain masih belum dikeluarkan kecuali pakaian dan alat masak yang tidak ikut hanyut. Waktu kami tanya apa rencana keluarganya, pemuda ini hanya bilang belum tahu kecuali bahwa keluarganya harus pindah ke lokasi aman.
““Rumah sudah hancur. Yang bisa kami ambil hanya seng dengan kayunya. Tidak mungkin lagi kami bangun ulang disini. Satu-satunya jalan pindah”kata Dikson.
Dia menunjuk lokasi diujung barat desa yang dianggap aman, dekat sawah tempat kemungkinan mereka akan tinggal pasca bencana ini. Jika Dikson akan pindah, Robert Toii dan WR Tobingki masih ragu. Ada rasa berat meninggalkan tanah kelahirannya itu.
“Semua ada disini, rumah disini, kebun disini. Kalau mau pindah mungkin saja, tapi berat rasanya. Kehidupan saya dan orang tua-tua saya sudah ada disini sejak dulu. Tapi tentu juga kami harus pertimbangkan keamanan”
Demikian kegamangan Robert dan warga lain setelah menyadari banjir pasti berulang.
Banjir bandang di Lengkeka tahun ini juga mengingatkan peristiwa yang sama di Desa Bolapapu, Kulawi pada 12 Desember 2019. Dua orang meninggal dan 57 rumah rusak parah. 8 tahun sebelumnya, tanggal 2 Desember 2011, banjir juga menghancurkan lebih dari 200 rumah dan membunuh 6 orang warga. Yang mirip dari peristiwa di Lengkeka dan Bolapapu adalah waktu peristiwa bencananya hampir sama. Di Lengkeka, 12 tahun lalu juga dilanda bah pada Februari jelang lomba desa. Kali ini banjir juga terjadi jelang lomba desa.
Hermon Kewewu menceritakan, banjir itu menggenangi lokasi di sekitar dusun 1 saja. Yang rusak waktu itu hanya kantor desa dan rumah disekitarnya. Tidak ada korban jiwa dan tidak sedahsyat sekarang.
Ngkai Tobingki menunjuk sungai kecil di dasar curamnya lereng-lereng gunung di hutan taman nasional kemungkinan longsor hingga menutupi aliran air. “Jadi waktu hujan deras, air terkumpul jadi banyak. Waktu longsoran itu terbelah air bersama batu-batu besar datang. Laju sekali datangnya”. Lumpur disertai batuan besar bukan hanya merubuhkan rumah. Sebuah ruas jalan di dekat jembatan desa berubah menjadi sungai sedalam hampir 2 meter.
Yang jadi pekerjaan berat orang Lengkeka bukan hanya membangun kembali rumah atau membersihkan kampung dari lumpur, tetapi memutuskan apakah kampung mereka sekarang masih aman atau tidak untuk ditinggali. Diperlukan kajian lengkap mengenai itu. Sebab seperti di tempat lain, bencana yang sama biasanya akan kembali.