Seorang pemuda bermotor melaju kencang tanpa helm dikepalanya. Lewat di depan sekumpulan anak-anak muda yang tampak dikenalnya baik, dia menoleh dan melambatkan laju motornya. Seorang remaja, masih pelajar setengah berteriak kepadanya. “Boskuuuh….adakah??
Si pemuda memutar motornya, menghampiri kelompok anak muda yang meneriakinya. Berbisik-bisik, lalu tertawa. “Oke boskuuh, tengkyu”ucap salah seorang sambil mengacungkan jempol. Bahasa mereka sederhana. Kata “Bosku” dan “ Adakah”menjadi semacam isyarat untuk sebuah pertanyaan tentang penjualan narkoba. Sebuah kode, apakah pihak yang ditanyai memiliki narkotika untuk dibeli.
“Tidak lantas saat ada kode itu pasti ada transaksi, biasanya jadi bahan becandaan untuk menunjukkan mereka memang terbiasa” Cerita seorang anak muda kepada tim media Mosintuwu
Penelusuran tim media Mosintuwu atas kode-kode tersebut menemukan kenyataan banyaknya anak muda yang mencari zat psikotropika itu untuk mabuk. Mereka mendapatkan dengan mudah dan murah. Pun, ketika mereka tinggal di desa. Banyak yang jual banyak juga yang mencari untuk beli. Ada uang ada barang, yang penting saling memahami kode maka jual beli berjalan.
“Pernah, saya sedang terima telepon di pinggir jalan . Waktu itu malam sekitar pukul 08, di kampung. Tidak lama ada orang naik motor ba dekat. Dia langsung saja bertanya sama saya. Ada barang? Saya tidak jawab karena lagi terima telepon. Dia tanya lagi, saya jengkel saya bilang pigi cari ditempat lain”
Demikian cerita Stefan, seorang pemuda desa mengenai makin mudah, dan beraninya orang mencari narkotika. Bahkan, secara terbuka dimana saja.
Seorang pemuda lain dengan terus terang mengakui dirinya pemakai Sabu-sabu yang merupakan zat metamfetamina. Bagi dia memakai narkotika ini merupakan urusan pribadinya sendiri dan tidak merusak orang lain. Mungkin dia lagi mabuk waktu bicara, matanya kosong. Dia lupa, untuk membuat narkoba itu sampai pada dirinya membuat banyak anak muda bahkan anak-anak rusak karena menjadi bagian dari rantai distribusinya.
Pada titik tertentu, narkoba menjadi gaya hidup yang ditawarkan oleh pengedar dan diteruskan oleh anak muda kepada teman-temannya. Rantai pengedaran narkoba di desa pun menjadi lebih mudah .
Data yang dirilis BNN menyebutkan, tahun 2018 hanya di 13 ibukota provinsi saja terdapat 2,29 juta orang pelajar menjadi pengguna narkotika. Yang rentan menjadi pengguna narkotika ini adalah mereka yang berusia 15 sampai 35 tahun. Ada peningkatan pengguna di kalangan pelajar . Pada tahun 2017 , pengguna di tingkat pelajar mencapai 20 persen, tahun 2018 naik menjadi 24 persen. Tahun 2019, BNN kembali merilis jumlah pemakai berusia 15-60 tahun sebanyak 3,6 juta orang.
Desa, Pasar Potensial Narkoba
Cerita tentang pemuda diatas terjadi di salah satu desa di Poso. Desa kini menjadi incaran para pengedar untuk menjual dagangannya itu. Tahun 2017, orang tua dari seorang anak berusia 10 tahun di kecamatan Poso Pesisir Utara melapor ke kepolisian karena curiga si anak susah tidur dan seperti orang teler. Setelah diperiksa positif. Narkotika yang dipakai si anak dibeli secara patungan dengan beberapa teman kelasnya. Mereka ini masih sekolah dasar, tinggal di desa.
BNNK Poso mencatat selama tahun 2019 terdapat 12 kasus penyalahgunaan narkotika yang ditangani. Sementara itu, kepolisian resort Poso pada tahun 2018 menyebut jumlah kasus narkotika yang ditangani sebanyak 31 kasus. Jumlah ini tentu bukan sekedar angka-angka yang terus bertambah yang membuat semua orang, kecuali bandar menjadi khawatir. Soalnya adalah, orang muda bahkan remaja dan anak semakin gampang mendapatkan barang-barang berbahaya ini.
Era gawai memang membuat banyak orang tua mempercayakan hidup anaknya pada benda berteknologi itu. Termasuk yang tinggal di desa. Banyak yang dengan alasan supaya tidak rewel membiarkan si anak bermain dengan ponsel yang kemudian lupa memperhatikan perkembangannya. Padahal sejumlah laporan menyebutkan peredaran narkotika juga telah memanfaatkan internet khususnya media sosial. Kode-kode yang digunakan untuk transaksi juga terbilang samar sehingga sulit dideteksi.
Dikutip dari sejumlah media di Poso, dalam jumpa pers tahun 2019. Kepala BNNK Poso AKBP Sahidi menyebutkan Kabupaten Poso sudah menjadi pasar gelap narkotika, bukan lagi sekedar tempat transit seperti tahun-tahun sebelumnya. Pasarnya bukan hanya diwilayah kota. Sejumlah kasus menunjukkan kini pengedarnya sudah menyasar penduduk di desa.
Tahun 2019, tercatat beberapa orang ditangkap di desa. Misalnya BNNK, menangkap seorang pengedar narkotika di Desa Lape, kecamatan Poso Pesisir. Lalu pada bulan Agustus ditahun yang sama, BNNK juga menangkap seorang pengedar di desa Tiwaa kecamatan Poso Pesisir.
Pada tahun 2018, BNNK juga menangkap seorang pengedar narkotika di Tentena. Pemetaan yang dilakukan lembaga itu menempatkan Kota Tentena di Pamona Puselemba termasuk wilayah rawan peredaran narkotika bersama dengan Poso Pesisir dan Poso Kota. Tahun 2018 juga, seorang pengedar narkotika yang beroperasi diwilayah Napu dikejar Polisi. Ini menunjukkan tidak ada wilayah di Poso yang bebas dari peredaran narkotika.
Di beberapa desa di kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat, sejumlah orang tua meminta agar kelas sekolah pembaharu desa yang dibuka oleh institut Mosintuwu agar memasukkan pula kegiatan sosialisasi bahaya narkotika. Tujuannya, supaya orang-orang tua yang punya anak remaja mengetahui tanda-tanda pemakai narkoba. Mereka menyadari sulitnya mengatasi kemajuan teknologi dan kemudahan akses narkoba di desa mereka, meskipun letaknya terpencil seperti di lembah Bada.