Telur Ayam Tengah Malam dan Mitos Penangkal COVID-19

0
2637
Telur ayam kampung dan telur ayam broiler. Foto : Mosintuwu/Lian

Ayam belum berkokok, tetapi keriuhan sudah terjadi di hampir semua keluarga. Telepon berdering , pesan singkat dikirimkan, dibacakan. Hampir seluruh keluarga di rumah-rumah di Poso saling membangunkan. 

“Cepat bangun, cari telur ayam, rebus. Cepat . Makan sebelum matahari terbit” 

Demikian rata-rata pesan yang disampaikan. Eta yang tinggal di Desa Tonusu, misalnya dibangunkan jam 02.00 subuh oleh mertuanya, membangunkan tetangga dan bersama-sama mencari telur di toko terdekat. Eko, baru saja bangun, di depannya sudah ada telur rebus. Tengah malam hingga subuh hari 26 Maret 2020, telur rebus menjadi pokok utama pembicaraan antar keluarga untuk dikonsumsi. Katanya, Ini untuk menangkal COVID-19 / atau virus Corona. Sumbernya sebuah video bayi yang baru lahir yang dengan sengaja diedit sehingga terlihat mampu berbicara . 

Telur rebus sebagai obat penangkal COVID-19 bukan berita bohong pertama yang beredar di masyarakat. Sebelumnya , pesan singkat secara berantai dikirimkan tentang rebusan bawang putih untuk menyembuhkan pandemi ini. Demikian juga berita tentang rebusan bawang merah.

Tanpa pikir panjang, apalagi menyaring informasinya, masyarakat menerima informasi tersebut dan langsung melaksanakannya. Bahkan dengan sangat cepat . Sementara anjuran untuk mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, menutup mulut saat batuk tidak dilakukan dengan disiplin. Bahkan ketika anjuran tersebut disampaikan melalui televisi, sejumlah media cetak dan online oleh para pejabat atau orang berpengaruh. 

Baca Juga :  Gusdurian Peduli Berbagi Bahan Pokok di Masa Sulit

Fenomena berita bohong yang langsung diserap dan dilaksanakan oleh masyarakat ini  membuktikan ketiadaan informasi yang cukup ( jelas dan terang )  bagi masyarakat dengan COVID-19. Terutama di desa yang tidak punya akses internet yang cukup, atau wilayah kota dengan karakter susupo ( gosip ) lebih cepat daripada suzuki, demikian metafore yang sering menggambarkan kecepatan informasi. 

Selain itu, ketiadaan informasi yang terang/jelas telah menimbulkan ketakutan. Reaksi atas ketakutan tersebut adalah panik dan keinginan untuk berusaha keras memadamkan ketakutan tersebut. Mengontrol ketakutan dilakukan dengan menjalankan anjuran apapun yang mereka terima tanpa berpikir panjang. Fungsinya adalah mengontrol ketakutan. Panic buying atau membeli berlebihan dalam situasi panik ( termasuk dalam konteks ini membeli telur ayam kampung pada subuh  hari sebelum ayam berkokok )  menolong orang untuk merasa seakan-akan dapat mengontrol situasi. 

Ironisnya, anjuran untuk mencuci tangan dan menutup mulut saat batuk atau bersin dianggap terlalu biasa. Terlalu biasa karena yang terjadi sekarang dalam konteks COVID-19 adalah sebuah peristiwa dramatik. Data orang meninggal setiap hari meningkat secara dramatis. Terutama di Indonesia, jumlah pasien yang meninggal lebih banyak daripada yang sembhu, sementara angka kasus pasien COVID-19 bertambah sangat banyak dan cepat. Per 26 Maret 2019 di Indonesia, terkonfirmasi 893 kasus , 780 dalam perawatan, 35 sembuh, dan 78 meninggal dunia. Kisah tentang bagaimana pasien COVID-19 meninggal dunia di Indonesia termasuk dramatis. Seorang pasien dikabarkan meninggal di ambulans karena banyak rumah sakit penuh sehingga terpaksa menolak bertambahnya pasien. Beberapa dokter dan perawat meninggal terpapar COVID-19, sementara para dokter dan perawat yang masih berjuang kekurangan alat keselamatan. Semua berlangsung nyata dan dramatis. Di satu pihak, pernyataan dan sikap para pejabat tinggi negara tidak mendukung rasa percaya masyarakat bahwa semua  terkontrol. 

Baca Juga :  Iksam Djorimi : Mencari Asal Leluhur Poso dan Sulawesi di Dunia

Karena banyak kisah dalam peristiwa COVID-19 berlangsung dramatis, maka reaksi dramatik yang terjadi atau dibutuhkan masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, orang-orang merasa perlu melakukan sesuatu yang sebanding dengan apa yang mereka anggap sebagai tingkat krisis. Ben Oppenheim, direktur senior di perusahaan riset penyakit menular Metabiota menyebutkan , reaksi dramatik ini menjadi sebuah mekanisme psikologis untuk menghadapi ketakutan dan ketidakpastian, suatu cara untuk memastikan kontrol atas situasi dengan melakukan sebuah tindakan. 

Saya membagikan kembali mitos-mitos tentang penangkal COVID-19 oleh Badan Kesehatan Dunia yang sudah kami terjemahkan

Mitos Penangkal COVID-19 . Sumber : Badan Kesehatan Dunia
Mitos Penangkal COVID-19 . Sumber : Badan Kesehatan Dunia
Mitos Penangkal COVID-19 . Sumber : Badan Kesehatan Dunia
Mitos Penangkal COVID-19 . Sumber : Badan Kesehatan Dunia

Setelah membacanya, kita akan menyadari bahwa hal yang sederhana adalah yang paling bisa menyelamatkan dan mengurangi penyebaran COVID-19.Cara sederhana yang jika dilakukan oleh seluruh orang di seluruh duni akan menghentikan psikosomatis COVID-19. 

Yaitu: mencuci tangan sesering mungkin menggunakan sabun dan membasuh dengan air mengalir, menghindari kerumunan orang banyak, menjaga jarak , menutup mulut saat batuk atau bersin, membersihkan peralatan yang paling sering disentuh dengan cairan disinfektan. Tindakan ini memang sederhana, tidak dramatis namun secara dramatis mampu mencegah dan menghentikan penyebaran COVID-19, menyelamat jutaan nyawa manusia di dunia. 

Baca Juga :  Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Danau Poso

Benar kata banyak orang, kasihan betul nasib ayam, selalu menjadi tertuduh. Mereka yang tidak pakai sendal disebut kaki ayam, tulisan yang jelek disebut cakar ayam, barang-barang yang murah disebut cap ayam, tidur tidak nyenyak disebut tidur ayam, semangat yang menurun disebut hangat-hangat tahi ayam. Begitu dibikin makanan enak seperti telur ceplok, disebut telur mata sapi.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda