Sejak WHO mendesak pemerintah Indonesia menetapkan situasi tanggap darurat, orang di Poso seperti baru sadar, ada masalah besar yang datang, tidak tahu bagaimana menghadapinya. Apalagi informasi terpercaya minim. Akibatnya hoaks merajalela. Masyarakat yang panik ikut informasi apa saja yang membuat mereka yakin bisa menangkal virus yang menginfeksi saluran pernapasan itu. Maka, merebus telur tengah malam juga dilakukan, katanya untuk menangkal COVID-19.
“Untuk mencegah corona, yang kita tahu disini cuci tangan, baru kemudian rumah di semprot. Selebihnya kita belum tahu lagi”kata ibu Helpin Sumoli, warga desa Itu kecamatan Pamona Timur.
Bukan hanya Helpin, pemerintah desanya juga belum mendapat informasi dasar memadai mengenai wabah ini. Bahwa cairan pembersih lantai atau pemutih bisa jadi disinfektan juga baru diketahuinya ketika berdiskusi dengan Eko Kurniawan Bandjolu, periset di institut mosintuwu.
Banyaknya warga termakan hoaks menjadi bukti kurangnya informasi yang benar mengenai Covid 19 di desa-desa di Poso. Ibu Martha di Desa Salukaia, kecamatan Pamona Barat hanya tersenyum ketika ditanya apakah dia ikut merebus telur tengah malam. Bukan hanya hoaks, Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu menyebut, kurangnya akses informasi ke seluruh wilayah di Indonesia termasuk desa-desa di Poso, tentang cara pencegahan COVID19 bisa saja ikut menyebabkan virus ini menyebar sangat cepat .
“Informasi terbatas pada televisi, internet, pesan singkat yang bukan hanya tidak bisa diakses oleh semua orang di desa. Bahkan informasi itu juga belum tentu benar” Lian melanjutkan,
Ketiadaan informasi dan beredarnya informasi keliru menyebabkan ketakutan, kepanikan dan tindakan yang justru membahayakan warga dalam menghadapi Covid 19.
Agar hoaks, informasi tidak benar dan sebagainya tidak jadi persoalan yang mengganggu saat menghadapi wabah ini, digagaslah pusat informasi di desa yang disebut posko informasi Covid 19. Lian menyebut, awalnya posko hanya didirikan di 7 desa di Poso ditambah 1 posko di desa Lemusa, Parigi Moutong dan 1 posko di desa Toaya, Donggala. Namun ternyata banyak desa yang sangat membutuhkan informasi. Belakangan posko informasi yang digagas ini kemudian terhubung dengan Jaringan Gusdurian Nasional yang membuat gerakan bersama saling jaga.
Posko yang dibangun ini punya fungsi sederhana. Pertama memberikan informasi seputar bencana Covid 19 . Informasi dibagikan melalui buklet informasi COVID-19 yang diproduksi oleh Institut Mosintuwu dan Nemu Buku. Selain buklet, terdapat lembar informasi yang diproduksi oleh pemerintah dan pihak kementrian terkait. Baliho berukuran besar yang memberikan informasi dasar tentang COVID-19 dan cara pencegahan penularannya juga disiapkan di setiap posko.
Selain informasi dasar, posko juga memberikan sosialisasi cara mencuci tangan yang benar, dan memberikan petunjuk pencegahan dasar penularan dan memberikan informasi cara membuat disinfektan beserta bahan-bahannya yang mudah didapatkan.
Kepala Desa Tiu, mengakui bahwa bukan hanya dia tapi juga aparatur pemerintah daerah selama ini hanya melihat di televisi penyemprotan dilakukan di rumah-rumah .
“Sehingga yang kami bayangkan, penyemprotan disinfektan ini tentu sangat mahal dan jumlah yang besar” kata Helpin menyambung cerita kepala desa.
Eko, tim saling jaga yang juga peneliti di Institut Mosintuwu, membantu menjelaskan pembuatan disinfektan mandiri kepada para relawan posko. Para relawan posko diharapkan meneruskan informasi terkait cara ini kepada masyarakat yang lebih luas.
Hingga Senin 30 Maret 2020, sudah ada 32 posko di desa-desa di Poso. Mereka yang mengelola posko ini adalah kelompok perempuan dan anak muda bekerjasama dengan pemerintah desa. Karena berbagai keterbatasan tentu tidak semua warga bisa mendapatkan buku dan membaca lembar informasi yang dipampang di posko. Karena itu mereka yang punya fasilitas pesan instant Whatsaap bisa memberikan nomornya untuk dikirimi versi digitalnya.
Berdirinya posko melahirkan solidaritas dan banyak inisiatif di kampung-kampung untuk menyediakan bahan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Ade Nuriadin dan anak-anak muda di desa Toaya, Kabupaten Donggala membuat cuka dari air kelapa untuk dibuat disinfektan. Karena masker tiba-tiba menghilang dari pasaran, mereka juga menjahit kain untuk masker.
Begitu juga di Desa Lemusa, Kabupaten Parigi. Stevin Ntibu dan teman-temannya meminta ibu-ibu mereka menjahit masker. Ini diikuti kelompok perempuan di Desa Tokorondo dan Bukit Bambu Bukan hanya menyiapkan alat pelindung diri secara mandiri, gerakan ini menjadi kritik buat para pedagang yang memanfaatkan musibah dengan menaikkan harga masker dari Rp 2.500 menjadi Rp 10.000/pcs.
Kelompok-kelompok ini saling terhubung untuk bekerjasama memberi informasi yang benar dan saling mengkonfirmasi bila ada informasi yang beredar mengenai wabah yang mungkin tidak benar namun dipercaya warga. Bukan hanya informasi, saling mengirimkan masker, disinfektan juga dilakukan manakala ada posko yang kehabisan sementara di posko lain masih ada persediaan. Saat wilayah Tentena dan Poso kehabisan masker kain, warga dari Tokorondo dan Bukit Bambu mengirimkan 200 masker kain. Sementara itu, cairan disinfektan dikirimkan langsung dari Tentena ke beberapa desa.
Di Desa Toaya dan Lemusa, tim saling jaga menceritakan warga yang singgah mencuci tangan di posko yang mereka bangun kemudian berinisiatif membuat tempat cuci tangan sendiri di rumah masing-masing. Sementara itu di wilayah Lore Barat dan Lore Selatan, posko didirikan di semua desa diorganisir langsung oleh Camat Lore Barat , Ruli. Anjuran untuk jaga jarak, tidak menyurutkan niat warga untuk memperkuat solidaritas.
“Yang kita butuhkan bukan perenggangan sosial, tapi jaga jarak fisik dengan tetap menguatkan solidaritas sosial” ujar Lian.