Tutup Tidak Makan, Buka Ada Corona : Cerita dari Pasar

0
2593
Ibu Femi, salah satu pedagang di pasar yang menunggu pembeli di pasar Tentena yang sangat sepi paska wabah Covid-19. Foto : Mosintuwu/Pian

“Kalau tinggal dirumah mau makan apa. Kalau tidak buka, hanya hasil hari ini yang dimakan hari ini juga”(Ibu Femi/pedagang pasar Tentena) 

Sejak dua pekan terakhir Pasar Sentral Tentena terlihat sepi dibanding sebelumnya. Biasanya setiap hari, terutama hari Jumat dan Sabtu ramai pembeli. Banyak pedagang menggelar jualan sampai di pagar pasar. Namun sejak wabah Corona (dulu orang Pamona mengenalnya Ju’a Lele), muncul bisa dihitung pembeli yang datang. Pedagang mulai menerima dampaknya. Bukan hanya takut dan rugi. Tapi juga bisa hilang sumber makan.

Ibu Femi, menjual tomat, rica, sayuran dan rempah-rempah di jejeran lapak berukuran sekitar 2 meter. Biasanya dia memesan 1 kas tomat berisi sekitar 100 kg dengan harga 650 ribu dari pemasok langganannya. 1 kas itu terjual habis selama 3-4 hari saja. Begitu juga sayuran dan dagangan yang lain, terjual sebelum layu. Kini semua benar-benar berubah. Pembeli berkurang drastis. Tomat dagangannya membusuk, rica mengering, sayuran layu kekuningan.

Bersama pedagang lain, ibu Femi mengubah strategi biar rugi tidak makin besar. Stok jualan dikurangi. Tomat hanya dipesan 5 kilo, sayur setengah dari biasanya, kacang merah 10 kg saja. Tapi jumlah pembeli sudah benar-benar berkurang .  Tiga hari setelah dibeli, tomat jualannya belum setengah yang laku. 

Baca Juga :  Paralegal : Tentang Rakyat Yang Berjuang dan Ketidakhadiran Negara

“Tinggal sedikit yang datang belanja, bisa dihitung jari dalam sehari”kata mama Ika pedagang lain. Karena omzet penjualan berkurang otomatis keuntungan untuk belanja sehari-hari juga berkurang. Tapi mama Ika tetap membuka lapaknya. Sebab tidak buka sama dengan tidak makan bagi pedagang kecil seperti dia.

Para pedagang kecil di pasar memang menghadapi banyak tantangan. Sebelum wabah muncul, sepanjang jalan kota Tentena sudah makin ramai dengan pedagang bahan pokok dan sayur, bahkan para penjual ikan dan daging kini lebih mudah ditemukan disini ketimbang di pasar. Pembeli lebih memilih belanja ditengah kota Tentena. Alasannya karena dekat dan banyak pilihan. Kini, ditengah wabah, orang malas ke pasar untuk menghindari kerumunan.

Menyusutnya omzet penjualan para pedagang dipengaruhi oleh keputusan pemerintah dan lembaga agama meniadakan kegiatan berkumpul seperti pesta dan ibadah. Ibu Femi menyebut, selama ini sebagian besar pelanggannya membeli untuk kebutuhan perayaan ibadah hingga sukuran. Ini merupakan dua kegiatan yang mendorong tingginya kebutuhan bahan pokok di Tentena dan sekitarnya.

Baca Juga :  Rekomendasi Perempuan Poso untuk Desa Membangun di Poso

Mama Ika menuturkan, sepekan dia bisa menyiapkan stok kacang merah sebanyak 25 kilogram. Persediaan sebanyak itu biasanya habis kurang dari 5 hari. Sekarang, dia hanya memesan 5 kilogram dan sudah sepekan masih bersisa sekitar 3 kilogram.

“Tidak ada ibadah kumpul-kumpul untuk sementara, jadi acara makan juga sudah kurang”kata dia mengenai berkurangnya pelanggan.

Pasar Tentena, sepi dari pembeli paska wabah Covid-19. Foto : Mosintuwu/Pian

Sudah sejak pertengahan Maret 2020, PGI mengeluarkan imbauan dan surat kepada warga Kristen untuk tidak menyelenggarakan ibadah di Gereja dan memindahkannya ke rumah masing-masing selama 2 pekan kedepan. Sementara Sinode GKST juga mengeluarkan himbauan kepada warganya untuk berdoa dari rumah masing-masing selama masa pandemik ini.

Bukan hanya pedagang di pasar Tentena. Menurunnya penjualan juga terjadi di pasar Sentral Poso. Sebabnya juga sama, semakin sedikit orang yang datang berbelanja karena khawatir tertular virus covid 19 di kerumunan. Selain kekhawatiran, naiknya harga-harga bahan pokok membuat pasar semakin sepi. Harga gula pasir 1 kilogram misalnya, naik menjadi Rp 18 ribu rupiah, sebelumnya harganya Rp 12 ribu rupiah. Beras juga ikut naik dari Rp 10 ribu per kilogram menjadi Rp 11 ribu.

Baca Juga :  Mempertanyakan Status Covid-19 Poso, Tanpa Tes Masal

Alasan kenaikan karena pasokan kurang. Padahal, Pemerintah Daerah telah mengeluarkan surat edaran bernomor 491/ 0821/III/DISKOMINFOSANDI/2020 yang melarang pedagang di pasar, mall, minimarket dan toko menaikkan harga barang.

Mengapa banyak pedagang kecil tetap membuka lapaknya. Supaya bisa tetap bertahan hidup. Tidak sedikit yang modalnya dari pinjaman yang berbunga tinggi dari lembaga keuangan tidak resmi. Jadi,  mereka harus tetap bekerja.  Selain pencegahan penularan dengan mengikuti berbagai anjuran, nampaknya kebijakan mengenai dukungan pada para pedagang kecil ini, termasuk bagaimana agar sirkulasi perdagangan masyarakat kecil tetap hidup di tengah wabah penting menjadi bagian dari pertimbangan dalam penanganan kehidupan masyarakat di masa wabah corona. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda