Berdiam di rumah, pilihan terbaik dan paling nyaman buat saya dan keluarga. Selain mengikuti anjuran pemerintah, juga rasa takut, cemas dan gelisah bercampur aduk setiap kali melihat dan mendengar informasi tentang virus Corona. Virus ini menular sangat cepat, angka kematian akibat virus ini sungguh menakutkan .
“Jangan takut, sebab kalau kamu takut saya lebih takut”
Saya sempat mengirimkan pesan singkat ke grup yang terdiri fasilitator sekolah pembaharu desa. Bersama-sama kami mendiskusikan rasa takut . Rasa takut yang didiskusikan di antara kami ini memberikan informasi tentang bagaimana mencegahnya. Ternyata, berdiam dengan rasa takut dan menyelamatkan diri sendiri tidak tepat. Rasa takut bisa dikalahkan dengan pengetahuan yang benar.
Saat Institut Mosintuwu, kantor tempat saya dan teman-teman bekerjasama mengabdi untuk masyarakat, mengumumkan untuk membangun posko informasi di desa-desa. Saya bergumul. Ini bertentangan dengan perasaan saya di awal yang dihantui rasa takut. Tapi saya pikirkan kembali, jika saya selamat, bagaimana dengan ribuan warga yang tidak punya informasi yang benar tentang Covid-19? Bagaimana kalau seluruh warga hanya punya rasa takut dan tidak punya informasi? Saya teringat pertama kalinya saya ditugaskan untuk mengorganisir kelompok perempuan di wilayah Kayamanya, Gebangrejo dan Lawanga. Saya beragama Kristen. Tinggal di kampung yang 99% warganya beragama Kristen. Wilayah-wilayah dimana saya akan mengorganisir kelompok perempuan untuk kelas pendidikan kritis sekolah perempuan, mayoritas beragama Islam. Rasa takut saya waktu itu juga belum juga pulih benar.
Tapi, sekali lagi. Sama seperti pengalaman pertama mengorganisir kelas sekolah perempuan Mosintuwu di wilayah mayoritas muslim, saya berpikir “pendidikan bisa menyelamatkan lebih banyak orang, bukan hanya saya” Begitu juga kemudian saya berusaha yakini, berbagi informasi tentang virus Corona, terutama pencegahan penularannya akan menyelamatkan lebih banyak orang. Bukan hanya saya sendiri dan keluarga saya.
Perjalanan pertama saya mendirikan posko informasi Covid-19 menegangkan. Saya mendapatkan tugas mengorganisir posko di wilayah Poso Kota dan wilayah Poso Pesisir. Perasaan saya tidak karuan. Yang sedang dilawan ini tidak nampak. Seperti hantu. Kalau bayangan masih bisa kita lihat pada jam-jam tertentu. Ini virus. Bahkan tahi kuku saja lebih besar dan kelihatan.
Mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh kantor, saya berusaha meyakinkan diri. Menggunakan sarung tangan, sepatu, celana panjang dan lengan panjang , masker dan topi. Bahkan , demi perlindungan diri, sejak di dalam mobil menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam, saya sudah menggunakan mantel plastik cukup tebal. Kepanasan , tentu saja. Belakangan saya tahu, dianjurkan agar penggunaan mantel plastik bisa digunakan sesaat sebelum turun dari mobil dengan syarat seluruh bagian permukaan mobil sudah disemprot disinfektan. Apalagi mobil kantor yang bagi saya legendaris ini tidak ada AC. Di kantor, kami sering bercanda hanya ada angin jendela sebagai pengganti AC. Kepanasan tapi saya percaya diri. Untung tidak lama kemudian hujan. Setelah kepanasan dalam mobil, hujan deras.
Desa Pinedapa adalah desa tujuan pertama. Kami menuju rumah kepala desa. Saya semakin bersemangat. Semangat untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa. Kepala desa mengatakan “ aduh ibu, terimakasih. Pas kami ini baru mau bangun posko informasi, belum ada bahan. Untung. Terimakasih Mosintuwu bergerak cepat”
Rasa takut saya hilang. Saya memikirkan desa-desa lain yang seharusnya bisa mendapatkan informasi yang sama untuk menyelamatkan lebih banyak orang. Perjalanan hari pertama diteruskan ke desa Kilo, desa Trimulya. Baik pemerintah desa maupun warga yang ditemui menyambut sangat luar biasa dan berulangkali mengatakan bahwa mereka baru berencana dan tidak punya cukup bahan informasi, beruntung didatangi oleh Mosintuwu melalui kehadiran saya.
Di setiap posko, saya menjelaskan pentingnya informasi yang benar dan tepat untuk mencegah virus Corona. Tidak lupa menjelaskan bahwa posko informasi tidak bertujuan membagi-bagikan uang tapi informasi. Saya mengumpulkan informasi dari warga tentang banyaknya hoax . Mulai dari berjemur di matahari, minum cap tikus , sampai rebus telur ayam tengah malam. Hoax ini membuat banyak warga menjadi pandang enteng dengan virus Corona, meskipun sudah berulang disampaikan belum ada vaksin. Saya merasakan langsung masyarakat haus dengan informasi tentang virus Corona. Bayangkan jika mereka diberikan informasi yang tidak benar , bukannya mencegah malam mencelakakan diri mereka.
Hari pertama bergerak membangun posko, saya pulang dalam kondisi kurang sehat. Orang bilang di usia saya memang tidak bisa masuk dingin. Akibatnya hidung tersumbat, batuk dan flu. Saya sempat mulai berpikir negatif, jangan-jangan sudah masuk virus. Tapi saya kemudian membayangkan bagaimana orang-orang di desa menyambut baik informasi tentang virus corona. Sembari beristirahat beberapa hari hingga pulih dan dibolehkan untuk berjalan berkeliling desa, saya mengelola pikiran saya. Saya memikirkan betapa banyak orang-orang di desa-desa yang tidak terjangkau informasi. Saya memikirkan dampaknya. Pikiran saya kembali sehat, tubuh saya ikut sehat. Ternyata memang masuk angin.
Di minggu ke dua berjalan keliling ke desa-desa bersama tim saling jaga Mosintuwu, demikian kami menyebut diri kami sebagai simbol saling menjaga hidup, saya menyaksikan dampak informasi yang diberikan kepada warga. Di posko desa Silanca, kecamatan Lage, misalnya, warga mengikuti seluruh petunjuk yang ada di buklet informasi yang dibagikan oleh Mosintuwu. Bahkan, setiap warga yang melewati posko ditahan untuk membaca informasi. Setiap warga yang berurusan di kantor desa diminta membaca dulu. Di Desa Bategencu, kecamatan Lage, pemerintah desa langsung menganggarkan dana desa untuk pembelian tempat cuci tangan dan sabun bagi masyarakat. Di beberapa desa lainnya, meskipun tanpa dana desa, warga berinisiatif membuat tempat cuci tangan di depan rumah mereka.
Perasaan saya dipenuhi kegembiraan. Bekerja untuk kemanusiaan memang sangat menyenangkan. Saya memikirkan memang benarlah “Hati yg gembira adalah obat tapi semangat yg patah keringkan tulang” . Kegembiraan hati karena menyebarkan informasi yang benar tentang apa dan bagaimana mencegah penularan virus corona, bisa membuat lebih banyak orang berkesempatan menyelamatkan hidupnya.
Catatan di Institut Mosintuwu menyebutkan saat ini sudah ada 84 posko informasi Covid-19 di 70 desa di Kabupaten Poso , 1 desa di Kabupaten Parigi Moutong, dan 1 desa di Kabupaten Donggala. Saya bergembira menjadi bagian dari 192 relawan di Poso dalam gerakan saling jaga, bersama dengan banyak relawan lainnya di seluruh Indonesia.
Gembira. Tapi tentu saja tetap waspada, pertama-tama dengan memperhatikan prosedur kesehatan diri dan standar pencegahan virus corona.