“Pulau Sulawesi ini sungguh kaya, karena memiliki tingkat endemisitas spesies yang tinggi baik hewan maupun tumbuhannya” Saya masih mengingat komentar Prof. Dr. Ramadhanil Pitopang, guru besar Taksonomi Tumbuhan di Universtas Tadulako.
Saat itu saya menemani Prof. Pitopang untuk Penelitian ekologi salah satu jenis Kantung Semar endemik (Nepenthes pitopangii) di Taman Nasional Lore Lindu, wilayah Lore Utara, Kabupaten Poso. Dalam penelitian itu, kami juga menemukan salah satu jenis Pandan endemik (Freycinetia minahassae). Penemuan itu, menurut Profesor Pitopang, menunjukkan pulau Sulawesi memiliki tingkat endemisitas spesies yang tinggi baik hewan maupun tumbuhannya.
Studi Etnobotani tahun 2016 yang saya lakukan, menemukan suku Pamona menggunakan sekitar 94 jenis tumbuhan untuk keberlangsungan kehidupannya. Tokoh adat desa Buyumpondoli, Jumbo Rameode mengatakan, masyarakat Pamona tidak hanya memanfaatkan tumbuhan, tetapi juga hewan dan jamur tertentu untuk keberlangsungan kehidupan mereka.
“Orang Pamona hidup dari apa yang ada di sekitarnya. Bisa dibilang tumbuhan, hewan juga jamur yang tumbuhlah yang menjaga keberlangsungan hidup kita” ujar Jumbo.
Pulau Sulawesi yang masuk dalam zona Wallacea punya tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi yang sangat berpengaruh pada kelestarian dan keseimbangan alam. Data kementerian lingkungan hidup dan kehutanan menyebutkan TNLL meliputi kawasan seluas 217,991.18 hektar dengan ketinggian hingga 2.610 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayahnya berupa hutan pegunungan dan sub-pegunungan dan sebagian kecil hutan dataran rendah. Ada 27 spesies Mamalia endemik (67,5%) dari 40 spesies Mamalia Sulawesi ada didalam kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia ini.
Hampir semua hewan dan tumbuhan langka Sulawesi ada di TNLL, misalnya burung. Salah satu wilayah yang ada didalam taman nasional ini adalah Rano Kalimpa’a atau telaga Tambing yang ada di Desa Sedoa, kecamatan Lore Utara. Berada diketinggian 1,700 mdpl, telaga seluas kurang lebih 6 hektar ini menjadi surga bagi pecinta burung. Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) mencatat, setiap akhir pekan, jumlah wisatawan yang datang mencapai 1,000 orang. Puncak tertinggi terjadi pada akhir tahun 2019 lalu, dimana ada sekitar 3,000 orang yang datang dalam sepekan.
Terdapat sekitar 263 jenis burung dimana 30 persen diantaranya merupakan spesies endemik hidup dan berkembangbiak di sekitar Danau Tambing. Diantaranya Bondol Rawa (lanchura malocca), Alo (rhyticeros cessidix) atau Pecuk Ular (anhinga rufa), Elang Ular Sulawesi (spilornis rufipectus), Elang Sulawesi (spizaetus lanceolatus temminck). Disaat tempat ini menjadi primadona baru wisata di TNLL, sebagian pengunjung yang pulang meninggalkan berton-ton sampah. Burung-burung juga mulai terganggu dengan kebisingan yang dibuat para pengunjung. Padahal tempat ini merupakan tempat untuk mencari ketenangan.
Setahun kemudian, tahun 2017, saya menemani profesor Andrew Henderson, ahli botani dari New York Botanical Garden, sebuah lembaga penelitian dan konservasi tanaman terkenal dari New York Amerika. Kami melakukan penelitian Rotan Sulawesi. Wilayah yang kami teliti membentang dari kebun kopi hingga Lore Selatan. Selama perjalanan itu, kami mengoleksi sekitar 8 Jenis Rotan, kami menemukan satu jenis yang teridentifikasi sebagai spesies baru yang diberi nama Calamus Tadulakoensis sebagai hasil kerjasama antara New York Botanical Garden dengan FMIPA Universitas Tadulako. Dalam perjalanan menyusuri hutan belantara itu, Prof. Andrew takjub melihat hutan di jalur trans Tentena – Bada yang kami lintasi karena masih sangat terjaga keanekaragaman didalamnya.
Penemuan-penemuan jenis tanaman baru dan spesies satwa di hutan-hutan, membuka mata bahwa tanpa banyak disadari, hutan disekitar kita juga ditumbuhi oleh flora endemik penyusun ekosistem hutan. Antara lain buah Jongi (Dillenia celebica), Molore (Pterospermum celebicum), Kasa Yopo (Macadamia hildebrandii), Taripa (Mangifera minor), Toe (Diospyros celebica), Loka (Musa celebica), dan lain-lain. Selain Flora, fauna juga merupakan penghuni ekosistem hutan yang akan saling terkait satu sama lain dengan komponen di dalam ekosistem tersebut.
Fauna endemik yang hidup di hutan sekitar kita antara lain Kuskus (Ailurops ursinus), Burung Alo (Rhyticeros cassidix), Boti (Macaca tonkeana), Mbawu Yopo (Sus celebensis), Kongka (Spilornis rufipectus), Anoa (Bubalus quarlesi), Musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii), Maleo (Macrocephalon maleo) dan lain sebagainya. Baik tumbuhan maupun hewan-hewan ini sedang mengalami ancaman kepunahan, disebabkan manusia yang mengambil sumber daya alam tempat hidup mereka dengan membabi buta.
Namun kerusakan alam oleh manusia membuat semua jenis tumbuhan itu hanya akan jadi kenangan. Kementerian Lingkungn Hidup dan Kehutanan tahun 2018 mencatat ada 264.874 hektar lahan di dalam maupun di luar kawasan hutan Sulawesi Tengah dalam keadaan kritis. Banyaknya lahan kritis ini disebabkan alih fungsi lahan menjadi perkebunan hingga pembalakan liar. Salah satu dampaknya adalah menurunnya daya dukung terhadap daerah aliran sungai (DAS). Dan kita mulai merasakannya pada awal tahun ini. Banjir dan longsor terjadi, menghantam sawah dan kebun, memutus sejumlah ruas jalan yang sangat penting yakni jalur Tonusu-Gintu dan Sangginora-Napu serta Palolo-Napu.
Ancaman Punahnya Ikan Endemik Danau Poso
Seperti juga orang Minahasa di Sulawesi Utara, orang Pamona sangat tergantung pada hutan. Studi Etnobotani tahun 2016 yang saya lakukan, menemukan suku Pamona menggunakan sedikitnya 94 jenis tumbuhan untuk keberlangsungan kehidupannya. Jenis-jenis tumbuhan itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai sumber makanan, upacara adat, rempah- rempah, obat tradisional hingga bahan bangunan.
Dahulu orang Pamona memiliki ikatan yang sangat kuat dengan alamnya. Kita bisa menemukan buktinya dalam nama-nama marga yang ada saat ini. Kita juga menemukannya dalam Kayori dan syair-syair lagu yang menceritakan bagaimana orang Pamona, Bada dan Napu begitu mencintai alamnya. Cara bertani dan mencari ikan yang ramah juga kita masih temukan sampai hari ini. Meski disisi lain model bertani modern yang mengandalkan produk-produk kimia yang merusak tanah juga semakin menggusurnya.
Selain dari hutan, sebagai sumber makanan sebagian orang Pamona memanfaatkan danau Poso. Menggunakan alat tangkap tradisional seperti Wuwu (Bubu), Sango, Peka, Inanco maupun Sarompo, para nelayan menangkap ikan. Alat-alat tradisonal tersebut ramah lingkungan dan digunakan tidak untuk menangkap ikan dalam jumlah yang melimpah. Hanya untuk kebutuhan makan, dan kadang untuk kebutuhan pesta saja, sehingga masih menyisakan ikan-ikan yang masih kecil untuk berkembang biak.
Sekitar 2 dekade terakhir ikan-ikan di danau Poso dan sungai-sungainya mulai terancam. Alat-alat tradisional yang ramah lingkungan mulai ditinggalkan. Saat ini tidak sedikit orang menggunakan setrum untuk menangkap ikan maupun udang. Jika tidak ada tindakan tegas, ada resiko yang harus ditanggung akibat penggunaan setrum ini yakni kepunahan spesies tertentu.
Selain penggunaan teknologi yang merusak seperti setrum. Kepunahan spesies ikan-ikan endemik danau Poso juga muncul dari sistem pertanian berbasis pupuk dan pestisida kimia oleh sebagian besar petani disekeliling danau. Air berisi pestisida ini kemudian mengalir ke danau melewati sungai-sungai, mencemari kawasan tempat hidup ikan dan hewan lainnya. Tidak hanya itu, ikan – ikan introduksi yang dimasukkan lewat berbagai program oleh pemerintah untuk meningkatkan produktifitas perikanan justru mengancam keanekaragaman hayati danau Poso.
Jadi bagaimana kerusakan ekosistem itu terus berjalan? tentu tidak semuanya karena fenomena alam seperti Madden Julian Osciliation atau MJO yang memicu hujan deras awal tahun ini. Tapi juga karena kebijakan pemerintah.
Salah satunya kebijakan melepas ikan introduksi ke Danau Poso. Ikan introduksi yang dilepas di danau Poso antara lain Louhan (Cichlassoma trimaculatum), Nila (Oreochromis niloticus), Mujair (Oreochromis mossambicus), Mas (Cyprinus carpio), Niasa (Melanochromis auratus), Bawal (Colossoma macropomum) dan lainnya . Ikan-ikan ini kemudian menghabisi ikan-ikan endemik. Ikan Bawal dan ikan Piranha (Pygocentrus nattereri) yang ganas itu memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dalam Family Serassalmidae. Mereka berasal dari DAS Orinoco dan DAS Amazon di Amerika Selatan. Ikan ini merupakan predator pemakan segalanya, mengancam keakekaragaman hayati asli danau Poso.
Pada bulan Maret 2020, papa Ge, salah seorang Toponyilo (nelayan yang menangkap ikan dengan tombak dan panah), menombak se ekor ikan Bawal seberat 14 Kg. Dengan ikan sebesar itu, bayangkan saja nasib ikan-ikan endemik yang kecil-kecil seperti Bungu.
Beragam ancaman ini lahir dari kebijakan pemerintah . Ancaman lainnya yang memungkinkan keberlangsungan keanekaragaman hayati di Poso terancam adalah proyek pengerukan Sungai Danau Poso. Pemerintah Kabupaten Poso menyetujui Proyek pengerukan Sungai Poso sepanjang 12,8 Km oleh PT Poso Energi untuk kepentingan PLTA. Pemerintah menyetujui mereklamasi Kompo Dongi seluas sekitar 35 Ha yang merupakan tempat pengungsian burung menurut Perda RTRW Poso tahun 2012. Bahkan membiarkan spesies ikan predator dilepas di danau Poso. Hal-hal tersebut mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati di Poso.
Kerusakan hutan akibat kebijakan keliru saat ini menjadi penyebab penurunan keanekaragaman hayati dunia. Kerusakan itu menurunkan tingkat kesuburan tanah, menyebabkan banjir, tanah longsor, suhu bumi meningkat, dan sumber air semakin sulit pada daerah tertentu. Karena itu, menjaga kelestarian lingkungan disekitar kita berarti turut menjaga keanekaragaman hayati dan iklim dunia. Dengan sadar, kita merusak ekosistem yang menjadi alasan keberlangsungan kehidupan kita.
Editor : Pian Siruyu
Wah hebat kak