Berwisata ke Poso saat pandemi Corona? Itu bisa terjadi saat Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Atourin dalam Festival Libur Lebaran di Poso.
“Wah Seru” kalimat ini terus menerus dikatakan para wisatawan yang menyaksikan kegiatan Mosango dalam tur di Poso. “kalau saya ke Tentena bisa ikut Mosango dong yak’ komentar seorang wisatawan dari Solo.
Tentu saja, ini adalah tur virtual, sebuah simulasi lokasi yang dibuat dalam bentuk video atau susunan foto. Perjalanan maya ke berbagai lokasi di Poso ini didukung elemen-elemen multimedia lain, seperti efek suara, musik, narasi, dan teks. Kata “virtual tour” sering digunakan untuk mewakili gambar berbentuk video atau foto yang menggambarkan sebuah lokasi tanpa ada ruang kosong (3600), sehingga wisatawan bisa merasa berada di lokasi tersebut. Di virtual tour , perjalanan wisatadengan mengandalkan teknologi, wisatawan bisa jalan-jalan tanpa keluar rumah.
Meskipun tur dilakukan melalui visual, layaknya tur yang biasa dilakukan di tempat wisata, berbagai pertanyaan muncul dari kolom chat saat tur berlangsung di Poso. Diikuti 51 orang wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia tur di Poso meninggalkan pelajaran dan perjalanan budaya yang sangat kaya. Setidaknya demikian pengakuan pada wisatawan virtual.
“Jadi ingin ke Poso” atau “ wah, berharap pandemi cepat selesai supaya bisa agendakan segera ke Poso secepatnya” kolom chat yang disediakan di virtual tur dipenuhi komentar yang saling bersahutan antar wisatawan virtual. Dua jam perjalanan virtual di Poso terasa sangat cepat.
Dalam virtual tour di Tentena para wisatawan virtual mengunjungi Danau Poso dan segala kearifan budaya dan sejarah didalamnya, peradaban tua yang misterius di lembah Bada, air terjun 12 tingkat, mencicipi kuliner khas dengan cara makan yang sangat kental dengan suasana kekeluargaan, dan bergabung dalam tradisi menanam bak tarian serta cerita-cerita seru dari para nelayan Danau Poso.
Festival libur lebaran yang di inisiasi oleh Atourin dimulai sejak tanggal 26 Mei 2020 tepat 2 hari setelah perayaan Idul Fitri 1441 H. Festival ini dimulai dari pulau Belitong sampai ke Raja Ampat di tanggal 7 Juni. Ada 12 destinasi dalam festival ini yang bisa dipilih sesuai keinginan yaitu Pulau Belitong, Pulau Sumba, Banjarmasin, Yogyakarta, Poso, Pulau Natuna, Labuan Bajo, Tanjung Puting, Gunung Rinjani, Danau Toba, Desa Adat Baduy, dan yang terakhir di Raja Ampat.
Wisata Budaya dan Wisata Toleransi di Poso
Perjalanan tur virtual di Poso dilakukan tanggal 30 Mei 2020. Saya berkesempatan menjadi pemandu wisata virtual ini. Meski awalnya sempat ragu bagaimana berjalannya proses tur, namun antusiasme dari para wisatawan virtual membuat saya sangat bersemangat dan bergembira mengajak mereka berkeliling.
Tempat tujuan pertama kami adalah Masjid Al Amin, yang berada di kelurahan Mapane. Mesjid ini menjadi simbol sejarah toleransi di Poso. Masjid ini merupakan masjid tertua di Kabupaten Poso dan bersejarah karena mewariskan kisah keberagaman agama pertama di Poso. Pada tahun 1982 misionaris dari Belanda A.C Kruyt tiba di Poso dan bertemu dengan Baso Ali tokoh Muslim di Poso . Merekaberdialog mengenai daerah yang akan menjadi daerah penginjilan A.C Kruyt. Menurut cerita Baso Ali ikut menunjukkan arah lokasi dimana A.C Kruyt bisa menginjil. Singgah di Mesjid yang sekarang dipelihara oleh keluarga Baso Ali ini, saya ingin menunjukkan cara lain membicarakan Poso yang selama ini dikenal sebagai wilayah konflik. Sebuah awal perjalanan virtual yang sangat baik.
Selama perjalanan dari kota Poso ke Tentena para wisatawan virtual banyak bertanya tentang keadaan Poso, ada makanan khas apa saja, ada tempat wisata apa saja yang akan di tengok, dan tentang model kehidupan bermasyarakat di Poso. Saya merasa gugup dan senang disaat bersamaan karena ternyata semua wisatawan sangat penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang Poso dan Tentena.
Di Tentena, lokasi Danau Poso, saya mengawali cerita tentang legenda Danau Poso seperti adanya kisah naga atau imbu Danau Poso, dan kisah lampu danau yang misterius. Banyak yang kaget melihat Danau Poso dalam gambar dan video terlihat sangat bersih. “Mungkinkah Danau Poso bersih karena warganya takut kalau dikotorin naga akan mengamuk? “ begitu kira-kira salah satu komentar yang muncul.
Saya juga mengajak wisatawan berkunjung ke Wayamasapi, sebuah alat tangkap tradisional ikan masapi . Saya terharu menceritakan nilai gotong royong dan kekeluargaan yang ada di wayamasapi ini. Saat saya menceritakan tentang ikatan ganjil di wayamasapi yang menggambarkan ketidaksempurnaan manusia ( bahwa yang genap/sempurna hanya Sang Pencipta), beberapa wisatawan virtual terkejut karena di Indonesia masih ada kebudayaan yang sangat tua dan masih dapat bertahan sampai saat ini. Waya Masapi menjadi bukti nyata bahwa manusia dan alam bisa hidup berdampingan dan tercukupi tanpa harus mengeksploitasi alam dengan serakah.
Dari lokasi Wayamasapi, saya mengajak para wisatawan virtual untuk jalan-jalan ke Kompo Dongi yang menjadi lokasi untuk Mosango. Mosango adalah satu dari beberapa kebudayaan cara menangkap ikan di danau Poso selain Waya Masapi, masih dengan cara kerjasama gotong royong atau Mesale, Mosango adalah cara menangkap ikan dengan bambu bulat tipis yang diikat dengan rotan dan berbentuk kerucut dan disebut dengan alat Sango. Cara menangkap ikan dengan alat Sango adalah dengan menjebak ikan didalam bambu berbentuk kerucut itu . Sempat menceritakan bahaya pengrusakan yang terjadi akibat pengerukan dan reklamasi yang dilakukan oleh PT Poso Energi.
Beberapa wisatawan memberikan komentar dalam kolom chat yang menyayangkan pengrusakan yang terjadi “Wah sayang sekali mbak Lani, kok kekayaan alam seperti itu malah dirusak” “Ada ikan endemik nya lho, bakal musnah semua dong berarti
Komentar senada juga saya dapatkan saat dari Kompo Dongi saya membawa para wisatawan ke jembatan tua Pamona atau Yondo Mpamona. Tentu saja saya membawa mereka dengan foto dan video kenangan ketika jembatan Pamona masih berdiri kokoh. Saya bercerita tentang jembatan Pamona yang dibangun pada tahun 1920an-1930an dengan cara kerja Mesale atau gotong royong masyarakat Pamona. Jembatan ini berfungi sebagai penghubung kampung/desa yang berada di sisi timur dan barat sungai Poso, yang sangat menarik dari pembuatan jembatan ini para leluhur saat itu menyumbangkan bahan pembuatan jembatan dan bahkan membawa langsung bahan-bahan tersebut dari daerah mereka dengan bantuan gerobak yang ditarik seekor sapi. Namun sayang karena jembatan Pamona tinggal kenangan yang bisa kita jumpai dalam foto atau lagu karena akhir tahun 2019 lalu jembatan ini sudah di bongkar demi kepentingan PT. Poso Energy.
Kami juga berkunjung ke Dodoha Mosintuwu, kantor Institut Mosintuwu yang terbuat dari bambu. Di virtual tur ini kami bertemu Lian Gogali, pendiri dan direktur Institut Mosintuwu yang bercerita tentang kegiatan kelompok perempuan dan anak-anak di organisasi ini. Tidak lupa, Lian menjelaskan tentang kuliner yang ada di Poso antara lain ituwu, Onco Arogo.
Saat membahas tentang makanan, semua wisatawan berseru seakan-akan ingin segera memesan kuliner khas Poso ini. Setelah makan siang virtual bersama, yang tidak mengenyangkan tapi malah bikin ngiler, para wisatawan virtual kemudian ngobrol bersama kak Lian dan saya sambil mengenalkan beberapa produk usaha desa yang bisa dijadikan sebagai ole-ole, mulai dari minyak kampung, madu manis, bingka lora, kerajinan dari rotan dan sampah plastik, serta kerajinan kulit kayu – Fuya.
Ke Lembah Bada
Hari kedua dalam wisata virtual, saya mengajak para wisatawan untuk mengunjungi Lembah Bada dan segala kekayaan didalamnya. Tujuan pertama kali yaitu lokasi patung Megalith Palindo di desa Sepe. Palindo yang dalam bahasa daerah setempat berarti Sang Penghibur. Jika kita perhatikan dengan seksama wajah patung nya memang seperti sedang tersenyum, dengan tinggi hampir 4 meter menjadikan diri kita terlihat kecil apabila berdiri disamping patung Palindo ini. Pertama kali ditemukan tahun 1908 sampai sekarang patung ini masih menyimpan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Namun tampaknya dibanding dengan misteri yang belum terjawab, wisawatan virtual lebih penasaran saat melihat beberapa foto yang menampilkan beberapa orang dalam foto memanjat patung Palindo sampai ke atas kepalanya. Salah seorang wisatawan bahkan bertanya apakah tidak akan ada masalah kalau kita memanjat patung bahkan sampai menginjak atas kepalanya?
Dari Patung Palindo, kami mengunjungi kerajinan rotan yang dibuat ibu Raru, dan pengrajin kulit kayu. Kain kulit kayu adalah hal yang penting bagi masyarakat Lembah Bada karena baju atau pakaian adat tradisional mereka menggunakan kain kulit kayu sebagai bahan dasar utama. Teman-teman wisawatan sangat takjub saat melihat hasil kulit kayu berupa pakaian adat tradisional, mereka penasaran bagaimana rasanya menggunakan pakaian dari kulit kayu.
Apakah berasa panas? Apa bajunya berat? Apa kita masih bisa temukan baju ini kalau ke Bada? Dan beberapa pertanyaan lain yang saya jawab dengan perasaan gembira karena para wisatawan sangat antusias.
Perjalanan diteruskan dengan mengikuti tradisi makan bersama di Lembah Bada yang disebut dengan Modulu-dulu. Dalam tradisi masyarakat suku Pamona , makan bersama ini disebut dengan Molimbu. Saya bercerita tentang Baik Modulu-dulu atau Molimbu mengajarkan kita nilai yang sama mengenai toleransi dari saling berbagi makanan dan ungkapan syukur kepada alam karena selalu menyediakan kebaikan bagi kita. Modulu-dulu atau Molimbu biasanya digelar pada saat ucapan syukur desa, atau saat pesta panen, dan juga beberapa acara adat tertentu. Para wisatawan virtual sangat kagum dengan tradisi makan bersama ini, karena mereka melihat dalam satu kelompok makan bercampur Muslim dan Kristen yang tidak risih satu dengan yang lain, tapi malah asyik ngobrol sambil makan bersama. Salah seorang wisatawan virtual bahkan terharu setelah tahu bagaimana tingginya toleransi beragama yang ada di tana Poso yang mereka lihat dalam tradisi makan bersama Modulu-dulu dan Molimbu.
Perjalanan virtual hari ketiga, sebelum menuju ke bandara Kasiguncu, saya mengajak para wisatawan untuk singgah ke Desa Malitu, sebuah desa di Kota Poso yang masih menjaga tradisi menanam dengan budaya Mesale atau kerja gotong royong. Dalam bahasa Pamona disebut dengan Mompaho, dimana sekelompok laki-laki akan berjalan berkeliling searah jarum jam melubangi tanah dengan kayu yang ujungnya dibuat runcing untuk mempermudah sambil menyerukan ‘Mompaho ho ho ho’ . Diikuti kelompok perempuan dan anak muda yang mengikut dari belakang dan mengisi setiap lubang dengan bibit padi. Kegiatan Mompaho ini selalu dikerjakan dengan cara kerjasama gotong royong atau Mesale, di Malitu juga kita bisa melihat contoh dari toleransi hidup beragama antara warga Muslim dan Kristen yang terjalin dengan sangat erat. Banyak hal yang dikagumi wisatawan virtual di kota Tentena, Poso terlebih lagi apa yang mereka lihat di Malitu, betapa menyenangkan nya melihat kehidupan harmonis yang terbentuk dari kebudayaan yang dijaga secara turun temurun.
Saat perjalanan virtual di Poso selesai pada pukul 22.30 wita , saya berefleksi tentang bagaimana menggiatkan sektor pariwisata di Tentena dengan tetap menomor satukan kelestarian, dan menjaga kekayaan alam dan lingkungan yang ada, terutama menjaga kebudayaan. Karena jika ingin berwisata modern kita bisa temui hampir diseluruh kota dan negara, tapi berwisata sambil belajar dari budaya, sejarah, lingkungan, dan kekayaan alam maka wilayah Poso bisa menjadi contohnya.
Editor : Lian Gogali