Kebun Bersama : Gerakan Kembali Berkebun, Belajar dari Sejarah Wabah Poso

0
2599
Petani di Desa Buyumpondoli sedang menanam bawang dengan sistem Mesale ( gotong royong ). Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

“Orang-orang tua bercerita, setelah wabah selesai yang muncul kemudian adalah kekurangan makanan. Itu terjadi karena orang tidak menanam, sibuk menghadapi wabah” Cerita ngkai Bontinge, 58 tahun, tokoh adat Pamona.

Memiliki bahan makanan adalah kunci bertahan hidup ditengah ketidakpastian akibat bencana, sambung Ngkai. Termasuk bencana saat pandemi Corona yang pelan-pelan mengurangi daya beli masyarakat, terutama masyarakat kecil yang selama ini bergerak di usaha-usaha kecil seperti ojek, warung makan dan petani penggarap. 

Sejak masuk Indonesia pertengahan Maret 2020, Covid19 sudah menyebabkan banyak sektor usaha tutup. Akibatnya, banyak pekerja yang di-PHK atau dirumahkan. Pekerja yang kena PHK memilih pulang kampung. Di kabupaten Poso, meski belum ada data pasti, perjalanan penulis ke beberapa desa, mendapatkan informasi banyaknya anak-anak muda yang pulang karena PHK.

Belajar dari sejarah bencana dimasa lalu, Yannis Moento, salah seorang nelayan Danau Poso menceritakan, ibunya meminta dia selalu menanam ubi jalar untuk persediaan makanan mereka bila nanti terjadi kelangkaan beras. Ketika pandemi Corona masuk ke Poso, Cristian sudah bersiap. Dia mengajak kerabatnya mulai membersihkan lahannya seluas kurang lebih 1 hektar untuk ditanami kacang hijau dan sayuran.

Keduanya belajar dari sejarah wabah di Poso. Sekitar tahun 70an di sekitar wilayah danau Poso, pernah terjadi kelangkaan bahan makanan. Akibatnya, banyak warga yang hanya memakan umbi rotan dan ubi bakar. Catatan bencana penyebaran penyakit dimasa lalu dituliskan oleh ahli Linguistik Belanda, Dr Adriani terjadi berulang setiap 3 sampai 4 tahun selama 2 dekade. Pada tahun 1902 Kolera menyerang, selanjutnya cacar menyerang di tahun 1908, lalu  penyakit pernapasan tahun 1911, disusul flu Spanyol tahun 1918. Rentetan pandemi itu juga menimbulkan krisis pangan.

Rentetan bencana akibat penyebaran penyakit ini membuat warga di setiap lipu ( sebutan desa saat itu ) belajar untuk menghadapinya. Menanam. Cara ini ditiru oleh seratusan warga desa di pinggiran danau Poso saat Covid19 mulai muncul di Poso. Cerita Yannis Moento dan Cristian Bontinge menunjukkan, bagi masyarakat biasa, cara terbaik bertahan adalah menanam.

Baca Juga :  Masa Depan Masapi Danau Poso Tergantung Program Restocking

Bagaimana memulai kembali menanam? Kenyataannya, anak-anak muda sudah tidak tertarik jadi petani. Tanah kebun hampir semua di isi tanaman untuk produksi seperti kakao, cengkeh yang harganya tinggi, yang dipakai untuk biaya sekolah anak-anak lalu mereka jadi pegawai.  Data Sensus Pertanian tahun 2018 yang dipublikasi BPS menunjukkan,  di Sulawesi Tengah, terdapat 56,624 keluarga petani yang berusia antara 25-34 tahun. Sedangkan yang berumur 45-54 tahun sebanyak 122,851 keluarga.  Angka ini menunjukkan semakin sedikitnya anak muda yang memilih jadi petani. 

Dilaporkan dari laman mongabay.co.id, studi yang dilakukan sebuah lembaga bernama Ininnawa menunjukkan bagaimana anak muda meninggalkan desa untuk kuliah. Di Desa Maleali, kecamatan Sausu kabupaten Parigi Moutong, petani yang tinggal mengubah tanamannya dari kebutuhan sehari-hari menjadi kebutuhan industri untuk ekspor seperti kakao dilahan hingga yang terkecil karena memberi keuntungan. Hal yang sama terjadi pada petani di seluruh wilayah Kabupaten Poso. Sayur mayur ditinggalkan. Akibatnya, semua kebutuhan makanan bergantung pasokan dari luar daerah. Sayur mayur di Kabupaten Poso sebagian besar dari Napu dan Kabupaten Sigi. 

Para petani menceritakan tantangan mereka di masa pandemi, salah satunya menyediakan pasokan makanan yang cukup untuk wilayah desanya. Foto : Mosintuwu/Lian

Perempuan di desa menceritakan bagaimana mereka memikirkan makanan apa yang tersedia di atas meja di masa pandemi, saat pasokan sayuran berhenti. Percakapan bersama para perempuan melahirkan ide tentang kebutuhan penyediaan pasokan makanan secara mandiri. Sayuran dan rempah merupakan kebutuhan penyediaan pangan yang ada dalam daftar perempuan di desa. Ide ini dikembangkan dalam bentuk kebun bersama.

“Kebun bersama ini pada awalnya berfungsi untuk mempersiapkan ketahanan pangan warga di masa pandemi “ ujar Lian Gogali, penggagas kebun bersama. “ Tapi yang juga tidak kalah penting adalah mengembalikan fungsi lahan , memaknai kembali kepemilikan lahan para petani”

Baca Juga :  Penataan Sungai Poso tanpa Sosialisasi AMDAL

Karena itu, menurut Lian, kebun bersama mengembangkan nilai berbagi dan bersolidaritas. Para petani yang bergabung di kebun bersama memegang nilai saling berbagi dan bersolidaritas. Bukan hanya bersolidaritas pada sesama manusia, tetapi juga pada alam. Lebih lanjut Lian menjelaskan wujud solidaritas pada alam antara lain para petani tidak menggunakan pupuk kimia tetapi mengolah lahan menggunakan pupuk organik. 

Kebun bersama bukan hanya menjadi gerakan memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari sebanyak mungkin dan mengembalikan fungsi lahan para petani, tetapi juga menguatkan nilai solidaritas. Meski sebagian besar orang kampung saling mengenal, namun gerakan menanam ini membuat hubungan menjadi lebih erat. Mama Ning di desa Soe, kecamatan Pamona Puselemba misalnya, kini tahu dimana bisa mendapatkan tomat atau kacang panjang utuk ditukarkan dengan cabe dan daung bawang miliknya. 

Tidak semua yang bergabung dalam gerakan Kebun Bersama memiliki lahan luas untuk ditanami. Sebagian hanya memiliki halaman yang bisa ditanami. Sebagian lagi menanam di teras menggunakan wadah khusus untuk ditanami daun bawang, seledri, jahe, kunyit dan tanaman lain. Yang menarik, gerakan menanam ini tidak memberikan tambahan pendapatan yang besar untuk mereka secara langsung, tetapi menabung uang mereka yang sebelumnya dipakai untuk membeli rempat-rempah itu.

Mama Lani, salah satu petani yang berkebun sayuran, rempah dan buah di halaman rumahnya. Saat panen, mama Lani beberapa kali membagikan pada tetangga sambil mengajak ikut berkebun di halaman rumah. Foto : Dok.Pribadi/Lani

“Kami tidak perlu membeli rempah atau sayuran , tapi bisa mengambil dari halaman sendiri” cerita Mama Lani. Mama Lani sudah aktif berkebun sejak lama di halaman rumahnya.

Adapun yang memiliki lahan cukup luas seperti Ronald, petani di desa Soe mengatakan akan menanam pepaya di lahannya. Dia mengatakan, hasil panen pepaya itu nantinya akan dijual. Berti, petani lain memilih menanam sayuran. Beberapa petani yang memiliki lahan cukup luas memang memikirkan kemana hasil panennya akan dijual. 

Baca Juga :  Rekomendasi Perempuan Membangun Perdamaian

Kebun bersama untuk memenuhi kebutuhan pangan memang menghadapi tantangan ditengah makin kuatnya kebijakan negara yang mengutamakan tanaman untuk kebutuhan ekspor seperti kelapa sawit. Petani dijanjikan menjadi sejahtera jika menanam komoditi rakus air itu. Di sisi lain, kita melihat setiap pagi warga di desa-desa menanti kedatangan para penjual sayur. Ironi yang dibiarkan berjalan bertahun-tahun ini juga menunjukkan betapa generasi muda di desa semakin meninggalkan kebiasaan bercocok tanam.

Penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI tahun 2015  menunjukkan, modernisasi yang dijalankan melalui keluarga, sekolah, sawah, dan aktivitas non-pertanian telah membentuk pemuda pedesaan sebagai Sumber Daya Manusia. Migrasi para pemuda ke perkotaan untuk sekolah mengubah pandangan hidup mereka akan kehidupan desa. Banyak yang tidak kembali ke desa setelah lulus. Hal ini juga membuat pemuda di desa tidak serta merta mewarisi keterampilan pertanian dari orang tua atau komunitas di desanya. 

Lian menyakini bahwa pangan masyarakat harus dirancang berkelanjutan bukan dalam rangka kebutuhan industri. 

“Pangan yang dikelola untuk kebutuhan industri akan berakhir pada eksploitasi alam, pengabaikan kearifan lokal dalam pengelolaan lahan, serta mendiskriminasi serta menyingkirkan para petani “

Kebutuhan pangan masyarakat tidak juga hanya dalam rangka mengatasi ancaman kelaparan, kata Lian. Menurutnya,  merancang dan bekerja dalam pengelolaan kebutuhan pangan masyarakat adalah proses membangun kembali kebudayaan dalam pola produksi masyarakat, yang berkedaulatan. Dimana petani berdaulat atas tanah, dan mengelola sumber daya alamnya sendiri.

Saat ini terdapat 125 petani yang bergabung dalam gerakan kebun bersama Mosintuwu dengan menanam sayuran, rempah dan buah. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda