Hari ini kita memperingati 75 tahun sejak republik ini berdiri. Republik ini diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai seruan nyaring bahwa bangsa ini merdeka dan berdaulat penuh atas dirinya, berdaulat penuh untuk menentukan nasib bangsanya, berdaulat penuh untuk mengelola setiap jengkal tanah, setiap tetes air, setiap hembusan udaranya, dan tidak lagi menerima hadirnya kelompok-kelompok luar yang mendaku sebagai penguasa dan memperhambakan manusia-manusia Nusantara.
Republik itu tidak diproklamirkan sebagai hadiah, sebagaimana beberapa negara lainnya. Republik itu tidak diproklamirkan dalam keadaan nyaman aman, tetapi melalui pergulatan panjang dan berdarah. Republik itu tidak diproklamirkan dengan kesiapan segala tetek-bengek yang mengatur dan mewadahi kehidupan warganya. Republik itu tidak diproklamirkan dengan satu suara dan keseragaman atas gagasan bernama Indonesia ini, sebagai konsekuensi atas watak keberagaman Nusantara.
Republik ini diproklamirkan sendiri oleh para pendiri bangsa, laki-laki maupun perempuan. Founding fathers and mothers. Republik ini diproklamirkan dalam situasi tidak menentu, di tengah kancah Perang Dunia, dan perubahan setiap penggal waktu. Republik ini diproklamirkan dengan kelengkapan kenegaraan yang belum tersedia. Republik ini diproklamirkan di tengah perdebatan yang tak kunjung usai antara berbagai pandangan dan kepentingan kelompok.
Tetapi bahkan dalam situasi penuh ketidakpastian, ketidaksiapan, ketidaknyamanan, dan di tengah perbedaan pandangan, para pemimpin kita ikhlas bersepakat untuk melahirkan Republik Indonesia. Didesak oleh para pemuda yang menculik Bung Karno ke Rengasdengklok, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan segala keterbatasan Negara Republik Indonesia resmi diproklamirkan.
Ketidaksiapan ini terefleksikan dalam naskah proklamasi:
Kami bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Betapa pendek dan sederhananya pernyataan proklamasi kemerdekaan kita. Tetapi, betapa dalam maknanya, betapa agung nuansanya, dan betapa besar kekuatannya. Kesepakatan kebangsaan ini utamanya hanya bermodal keyakinan akan hak asasi bangsa ini untuk hidup dalam kemerdekaan hakiki, perlawanan atas penindasan dan ketidakadilan yang telah diterima sekian lama, komitmen terhadap kemaslahatan rakyat, dan keberanian untuk merebut peluang sesempit apa pun.
Setelah itu pun, perjalanan sejarah bangsa dan negara ini tidaklah semulus selancar jalan tol bebas hambatan dari Jakarta ke Surabaya. Mengutip guru kita semua, almaghfurlah Gus Dur, dalam perjalanan sejarahnya, sebuah bangsa dapat membuat belokan-belokan yang salah, demikian pun Indonesia. Sejak awal kemerdekaannya, bangsa ini menjalani proses yang sangat dinamis, dengan segala catatan baik buruknya. Mulai dari bongkar pasang model demokrasi, rezim militer, dan sekarang kita berada di era demokratisasi.
Hari ini, setelah 75 tahun berlalu, di mana kita sekarang berada?
Banyak kemajuan yang telah kita catatkan dalam sejarah. Kita masih menjadi kekaguman internasional untuk demokratisasi yang cukup stabil. Kita masih menuai pujian sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang cukup baik. Bangsa kita masih menjadi model dunia untuk harmoni dalam keberagaman, dan secara spesifik menjadi model bagaimana Islam dan demokrasi dapat saling memperkuat, bukan hanya hidup berdampingan.
Tetapi menatap Indonesia tidaklah sama dengan menatap sebuah fotograf, yang mengabadikan sebuah titik waktu. Menatap Indonesia saat ini, harus dilengkapi dengan menatap Indonesia di masa lalu, dan menghitung kecenderungan-kecenderungan yang saat ini ada, agar kita mampu melihat ke mana arah kita menuju. Bila kita di tengah samudra, bukan tujuan yang telah kita pilih yang akan menentukan di mana kapal kita akan berlabuh, tetapi ke mana arah kapal kita bergerak, di sanalah kita akan berakhir. Ibaratnya dari pelabuhan Makassar kita tentukan hendak ke Bandar Jakarta, tetapi kapal kita bergerak ke timur, maka kita akan berakhir di Papua.
Sebagai negara bangsa, kita telah menetapkan tujuan negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Pertanyaannya, ke arah mana saat ini kita bergerak? Apakah kita sudah di jalur yang tepat menuju tujuan itu? Atau, justru kita bergerak menjauh darinya?
Kita tidak dapat memungkiri, bahwa walaupun semua pencapaian, pujian dan kekaguman itu bukanlah hal yang salah, kita masih memiliki banyak tantangan yang fundamental. Bahkan, bisa jadi membuat kita bertanya-tanya, mampukah kita mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa dan negara kita.
Kemerdekaan hakiki belum sepenuhnya kita wujudkan, bahkan tampaknya kita semakin menjauh. Tidak semua rakyat Indonesia menikmati kemerdekaan hak-hak asasi dan hak-hak konstitusinya. Masih banyak kelompok rakyat jelata yang ditindas oleh kuasa pemilik modal dan tak mampu mempertahankan hak atas tanahnya. Masih banyak kelompok rakyat jelata yang tak mendapatkan perlindungan atas praktik-praktik berbahaya, seperti mereka-mereka yang jatuh tewas di lubang-lubang tambang yang tak direklamasi oleh pemilik bisnis yang serakah.
Masih banyak kelompok keyakinan dan agama yang tak terpenuhi haknya untuk beribadah, karena tekanan kelompok-kelompok yang tak mampu berbagi ruang kehidupan beragama. Masih banyak orang-orang yang dengan sengaja diintimidasi dan ditekan, agar tak lagi menyuarakan aspirasinya secara demokratis.
Keadilan sosial, masih menjadi sebuah gagasan yang elusif. Kita terus mengejarnya, sementara keseharian kita tak jua mendekatkan kita. Kesenjangan masih demikian tinggi. 1% penduduk Indonesia memiliki kekayaaan setara dengan kekayaan total 100 juta warga negara kita di level terendah. Buruh harus berjuang untuk mendapatkan upah yang mencukupi kebutuhan yang layak, sementara kita menyaksikan Komisaris BUMN mendapatkan take-home-pay 200an juta rupiah per bulannya.
Para wakil rakyat dan pejabat publik hidup mulia dengan dalih memperjuangkan nasib rakyat, sementara rakyat menyaksikan lebih banyak akrobat politik daripada kebijakan dan program yang benar-benar membawa kaidah tasharaful imam ala raiyah manuthun bil maslahah, kebijakan/keputusan seorang pemimpin harus disandarkan pada kemaslahatan rakyatnya. Para wakil rakyat mencetak kebijakan-kebijakan yang absurd, dibuat dengan sembunyi-sembunyi, dan kita belum juga mampu menghadapi tantangan ini. Tragedi Joko Candra menjadi reality show betapa banyak aparat penegak hukum kita yang buta keadilan bagi rakyat, dan sibuk dengan kepentingan pribadinya. Korupsi merajalela bagaikan kanker stadium akhir, demikian juga dengan politik dinasti.
Di sudut-sudut Indonesia, rakyat menyerah kalah ketika tanah sumber penghidupannya tergusur terdampak oleh proyek-proyek industri yang tak peduli kepada mereka. Banyak penguasa lokal menggunakan kekuasaanya untuk mendapatkan keuntungan maksimal di masanya, tanpa mengindahkan nasib rakyat di ujung-ujung terjauh, atau dampak jangka panjangnya. Kisah-kisah seperti Kiai Nur Aziz di Surokonto Wetan, masyarakat Urut Sewu, tragedi Salim Kancil, kasus Tumpang Pitu, juga para ibu-ibu Rembang semakin banyak kita temui.
Keadilan hakiki bagi perempuan juga belum kunjung terwujud dengan utuh. Kita bisa berdalih bahwa ruang yang tersedia bagi perempuan sudah semakin baik. Tetapi kita juga tak bisa memungkiri bahwa cara pandang atau paradigma kehidupan kebangsaan kita masih lebih sering meninggalkan posisi afirmatif untuk menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki. Pengalaman perempuan masih belum menjadi bagian yang integral dan diperhitungkan dalam menyusun kebijakan dan program pembangunan. Pendidikan, misalnya, lebih banyak dinikmati oleh laki-laki, dengan dalih perempuan tidak membutuhkannya. Musrenbang dari tingkat desa sampai nasional, masih harus secara sengaja menghadirkan suara dan aspirasi perempuan, karena tidak secara alamiah dapat diharapkan.
Praktik-praktik berbahaya bagi perempuan masih terus terjadi, bahkan di saat perempuan menjadi lebih berdaya. Perkawinan anak, kekerasan berbasis gender, pernikahan tak tercatat, pelecehan di ruang kerja, diskriminasi atas jenis kelamin dalam kesempatan kerja adalah beberapa wujud ketidakadilan gender yang masih harus kita eliminasi.
Demikian juga keadilan bagi kelompok-kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Struktur dan sistem sosial kita masih memberikan ruang yang sangat besar pada praktik-praktik yang opresif terhadap kelompok-kelompok yang dilemahkan ini. Mayoritarianisme menjadi simplifikasi demokrasi, di mana kelompok mayoritas menjadi penguasa mutlak tanpa mengindahkan batasan-batasan demokrasi dan nomokrasi. Pemaksaan busana agama tertentu kepada murid-murid sekolah yang berbeda agama dan keyakinan, penolakan atas pendirian rumah ibadah, agamaisasi berbagai persoalan di tingkat lokal, dan berbagai kasus lainnya, menunjukkan kita bergerak menjauh dari keadilan hakiki bagi setiap warga negara dalam konteks praktik beragama.
Belum pula kita bicara mandat mewujudkan kemakmuran rakyat. Kemiskinan yang masih menjadi awan gelap bagi sebagian warga bangsa. Peluang ekonomi yang tidak memadai dan tidak merata. Pendidikan yang masih jauh dari bermutu serta tidak memberdayakan peserta didiknya. Indikator-indikator kesehatan yang masih jauh dari harapan. Ketimpangan layanan terkait dengan kesejahteraan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Berderet-deret data dan fakta ini membuat kita tak heran bila Indeks Pembangunan Manusia kita masih jauh dari harapan.
Lalu, dengan semua yang terjadi, apakah kita akan berputus asa?
Di hari kemerdekaan ini, marilah kita berefleksi pada 17 Agustus 1945. Dalam ketidakpastian, ketidaknyamanan, ketidaksiapan, ketidakseragaman, dan keterbatasan, kita melahirkan republik ini. Tidak menunggu kondisi lebih baik atau kesiapan kita.
Di tengah ketidakpastian, ketidaknyamanan, ketidaksiapan, keterbatasan kita saat ini, mampukah kita berdiri dan memancangkan tekad untuk membuat proklamasi kemerdekaan 1945 menjadi nyata? Mampukah kita melawan ketidakadilan yang masih merajalela untuk mewujudkan cita-cita bangsa?
Gus Dur mengatakan, yang “paling Indonesia” di antara semua nilai yang diikuti warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau. Sejatinya, di sinilah modal utama kita untuk terus bergerak dan berjuang.
Bila kita mampu menyelami tujuan-tujuan luhur kemerdekaan kita dan nilai-nilai bangsa,
bila kita mampu merawat ketajaman nurani dan pembelaan kepada rakyat tanpa kecuali,
bila kita mampu mengasah kapasitas kita untuk mendorong dan menggerakkan perubahan,
bila kita mampu tegak berdiri di tengah gempuran tantangan dan hambatan,
kita sudah memiliki segalanya untuk memastikan kemerdekaan hakiki akan dapat kita raih sebagaimana para pendiri bangsa di tanggal 17 Agustus 1945.
Tidak akan mudah. Tetapi Gus Dur telah memberikan bekal kepada kita, melalui wejangan beliau ini:
Dalam hidup nyata dan dalam perjuangan yang tak mudah, kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan. Kita, yang bukan tokoh mitos, yang punya anak, istri dan keluarga, mengenal rasa takut. Meskipun takut kita jalan terus, berani melompati pagar batas ketakutan tadi, mungkin disitu harga kita ditetapkan.
Di hari yang mulia ini, di hari pertama tahun ke76 kemerdekaan kita, sebagai GUSDURian, mari kita bulatkan tekad untuk menetapkan martabat kita sebagai manusia, dengan melompati pagar batas ketakutan kita. Tidak menunggu, terus bergerak, terus berjuang. Demi rakyat. Demi Indonesia.
Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita meneruskan.
Catatan Redaksi : Tulisan ini merupakan teks orasi upacara virtual peringatan HUT RI ke-75 pada hari Senin, 17 Agustus 2020, dibacakan oleh Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian . Diterbitkan di gusdurian.net , dipublikasi kembali oleh Institut Mosintuwu sebagai bagian dari jaringan Gusdurian.
Kita sudah “tergiur”, sedih