Dongeng biasanya sangat lekat dengan kanak-kanak. Sementara, tradisi sangat dekat dengan hal yang turun temurun. Lalu bagaimana dengan dongeng tradisi?
Dongeng, orang Poso menyebutnya Laolita, tentu saja sering kita dengar sejak kecil sampai sekarang. Ada banyak dongeng yang bisa kita jumpai dalam buku pelajaran bahasa Indonesia ketika kita sekolah, atau cerita yang bersumber dari alkitab di kebaktian sekolah minggu, cerita tentang si Malin Kundang yang dikutuk jadi batu karena durhaka terhadap ibunya atau tentang seorang anak yang lahir dari buah Ketimun kemudian dikenal dengan nama Timun Mas.
Sadar atau tidak sejak kecil kita di Poso sudah bersinggungan dengan banyak sekali cerita dongeng, termasuk cerita-cerita tradisi yang bercerita tentang kisah dari daerah yang jauh dari kita di Poso, sedangkan cerita tradisi tentang daerah atau kebudayaan di tana Poso mungkin hanya sekali dua kali kita dengarkan dalam lomba 17 Agustusan ketika masih sekolah.
Seperti namanya ‘Dongeng Tradisi‘, cerita-cerita yang disajikan didalamnya adalah cerita tentang tradisi kebudayaan, sejarah, cerita rakyat yang disajikan dalam bentuk cerita fabel, cerita legenda, cerita rakyat atau cerita mitos-mitos yang ada dan bertumbuh pada satu wilayah tertentu. Di tana Poso misalnya, kita semua pasti pernah mendengar cerita tentang Naga atau Imbu yang tinggal di danau Poso. Sayangnya cerita atau dongeng tradisi yang ada di tanah kita sendiri sangat sedikit diceritakan kembali.
Padahal, Poso sangat kuat dengan cerita tradisi. Kita mengenal Laulita atau dongeng dalam bahasa Poso. Mo Laulita (mendongeng) adalah hal yang selalu dilakukan oleh orang-orang tua kala menidurkan anaknya di buaian sampai ketika memberikan nasihat ketika mereka beranjak dewasa.
Pada tahun 1932, Nicholaus Adriani, ahli linguistik Belanda yang sampai akhir hayatnya tinggal di Poso menerbitkan buku berjudul Bare’e Verhalen atau Laolita nTo Pamona yang mendokumentasikan 150 Laulita yang berisi beragam cerita-cerita yang hidup ditengah masyarakat Poso, mulai dari kisah tentang terbentuknya danau Poso, hubungan manusia dengan alam hingga bencana alam.
Lalu ada kumpulan Laulita yang ditulis oleh Abdurrahman Balie yang sayangnya di perpustakaan daerah kabupaten Poso hanya berupa fotokopian. Lalu mengapa dongeng dari tana Poso kini menjadi kisah yang langka diceritakan? Kita membutuhkan penelitian khusus untuk mencari tahu jawabannya.
Bukan hanya di tana Poso, di daerah lain di Indonesia, dongeng yang diceritakan juga belum banyak yang berangkat dari kisah di daerah itu sendiri. Anak-anak disekitar kita mungkin lebih kenal sosok si anak durhaka bernama Malin Kundang, Sangkuriang yang dikutuk karena ingin menikahi ibu kandungnya sendiri dalam cerita Tangkuban Perahu atau malahan putri Sinderella atau Putri Salju yang semakin melekat di kepala anak-anak kita oleh film dan lagu soundtracknya yang diproduksi raksasa film Disney.
Hal ini ini tentu saja tidak salah, tapi bukankah Indonesia memiliki ribuan dongeng dari 1.340 suku yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang apabila ditelusuri lebih jauh akan menambah kekayaan cerita tradisi di Indonesia. Bayangkan, di tana Poso saja ada 150 dongeng yang sudah dibukukan sejak sekitar 90 tahun lalu. Itu belum ditambah dongeng dari Mori, Bungku, Palu, Sigi, Donggala, Tojo, Balantak, daerah lain di Sulawesi Tengah.
Cerita tradisi yang tumbuh di suatu daerah tentu saja bukan hanya sekedar cerita pengantar tidur atau cerita yang bertujuan untuk mengibur tapi sebagai alat untuk menjaga ingatan tentang sejarah atau kebudayaan di suatu daerah. Di Poso misalnya ada cerita tentang Watu Dilana, dalam bahasa Indonesia berarti Batu Dilana, bercerita tentang proses terbentuknya Danau Poso. Pesan ceritanya adalah bagaimana sesama makhluk hidup harusnya hidup berdampingan dengan harmonis dan damai.
Selain kaya akan pesan-pesan kebijaksanaan, adapula dongeng yang berisi pengetahuan geologi mengenai terbentuknya pulau Sulawesi. Seperti diceritakan Y Marapua, sesepuh dari Peura, sebuah desa kecil di pinggir danau Poso, yang mendongengkan Manu Warale atau “ayam ajaib”. Sebuah cerita rakyat Pamona yang menggambarkan peristiwa erangkatnya daratan di wilayah yang sekarang didiami oleh warga Poso.
Dalam diskusi acara Bincang Akhir Pekan Bersama Danau Poso, Minggu 2 Agustus 2020 lalu, Mahandis Yoanata Tamrin, Managing Editor National Geogpraphic Indonesia mengatakan, Poso adalah negeri dongeng. Bukan hanya karena kumpulan Laolitanya, tetapi karena masyarakatnya yang masih dekat dengan kebijaksanaan leluhur yang masih berwujud dalam tradisi seperti Padungku, Mangore dan lainnya. Selain itu, karena masih banyak misteri-misteri dalam kisahnya yang belum terpecahkan. Seperti kisah Imbu sang penguasa danau Poso atau bagaimana leluhur orang Sulawesi menghasilkan patung-patung granit menakjubkan dilembah Lore.
Lalu mengapa, dari sekian banyaknya dongeng, yang kita temui hanya cerita yang sama bahkan sejak kita kecil? atau mengapa kita tidak diceritakan tentang cerita yang berasal dari tanah kelahiran kita sendiri? Tidak bisa dipungkiri bahwa cerita tradisi yang ada di suatu daerah jarang disentuh untuk di gali dan ditelusuri dengan serius, apalagi banyak cerita tradisi yang tinggal diketahui oleh para penjaga tradisi yang sudah berusia lanjut dan tidak pernah diceritakan kembali pada orang muda sehingga pengetahuan tentang cerita–cerita tradisi yang ada tidak menjadi milik bersama.
Menggali dan menceritakan ulang cerita rakyat dengan cara baru menjadi hal penting yang harus dilakukan ditengah membanjirnya dongeng-dongeng yang sudah diadaptasi dalam bentuk film hingga nyanyian yang mendunia. Mulan misalnya, merupakan salah satu legenda dari China. Bukan hanya filmnya, anak-anak di penjuru dunia hingga di Poso bahkan mengenal kisahnya dari I’ll Make the Man Out of You, sebuah lagu yang dinyanyikan Dony Osmond.
Di Poso kisah-kisah legenda juga ditemukan ada dalam banyak lirik-lirik Karambanga, lagu yang dinyanyikan dengan petikan gitar khas Poso, namun tersamar dalam nasehat-nasehat dan kisah cinta yang menjadi ciri Karambanga. Masih butuh waktu dan kerja keras untuk mengangkat dongeng yang berasal dari tana Poso dan membuat anak-anak tertarik, mengenal dan belajar dari ceritanya.
Proses untuk mengenalkan cerita dan menjaga tradisi kebudayaan lewat cerita bahkan mungkin akan berlangsung seumur hidup, karena orang-orang sering lupa atau pura-pura lupa sehingga harus selalu diingatkan melalui cerita tradisi.
Penulis : Lani Mokonio
Editor : Pian Siruyu