“Semua ini hanya Polangolo”
Kata Polangolo mulai sering terdengar diucapkan orang-orang di Poso sejak pemilu serentak 2019 lalu. Kata ini semakin sering keluar dari mulut khususnya warga di kota Poso jelang pilkada serentak tahun ini.
Polangolo salah satu kosakata Gorontalo yang artinya Lapar. Namun dalam percakapan sehari-hari khususnya menjelang pemilu, kata ini sering dirubah maknanya untuk menyampaikan bahwa semua tergantung uang. Biasanya kalau sudah ngobrol politik kita akan dengar kalimat “Sudah jo, pada dasarnya semua ini hanya Polangolo”yang mengucapkan akan menggesekkan jempolnya dengan jari telunjuk, simbol yang merujuk pada uang.
Politik uang sudah sejak lama hadir ditengah kita. Perbincangan yang paling banyak muncul adalah berapa banyak modal uang yang dimiliki para calon. Atau, yang kita dengar, si calon didukung oleh pengusaha ini dan calon lain didukung pengusaha itu. Jarang sekali muncul diskusi mengenai program yang ditawarkan kandidat. Sebab sepertinya itu dianggap hanya membuang waktu. Saya mencoba bertanya kepada salah seorang pendukung calon Bupati dan Gubernur mengenai alasan dia mendukung si kandidat. Jawabannya; dia orang baik. Si pendukung ini bahkan tidak tahu apa saja program calon yang didukungnya.
“Semua calon baik. Semua mau bawa daerah ini lebih baik. Jadi siapapun yang terpilih sama saja. Kita yang petani tetap jadi petani. Yang ba ojek tetap antar penumpang”demikian perbincangan kami dengan Yus suatu sore di pangkalan ojek pasar Sentral Poso. Dia bilang sudah punya pilihan, sambil menunjukkan gambar 2 wajah di baju kaos di balik jaketnya. Rekan disebelahnya menyahut; yang penting Polangolo. Mereka lalu tertawa.
Klop dengan kata istilah Polangolo, jika kita mencari tahu apa itu politik uang di google, maka salah satu definisinya ada di wikipedia yakni politik perut (https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang). Jadi Polangolo bisa diartikan juga untuk menyelesaikan masalah perut, yaitu untuk mengatasi kelaparan dengan memberi uang atau bahan makanan menjelang pemilihan. Polangolo, hendak mengolok-olok para politisi sekaligus menggambarkan rendahnya percayaan sebagian warga terhadap janji politik mereka.
Dalam sebuah perbincangan. Saya iseng bertanya kepada salah seorang petinggi parpol di daerah tentang peluang menang calon yang mereka usung. Dia menjelaskan hasil survey yang sangat ketat antara jagoan yang mereka usung dengan calon lain. “Penentunya tetap Polangolo” begitu kesimpulannya.
Apa yang dikatakan banyak orang tentang politik pemilihan itu adalah kenyataan sejak dahulu. Caranya saja yang berbeda. Mark Hanna, pengusaha sekaligus politisi partai Republik Amerika Serikat yang menjadi pengumpul dana kampanye Presiden William Mc Kinley berujar, ‘ada dua hal penting dalam politik, pertama adalah uang, yang kedua saya lupa’. William McKinley, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat ke-25, menjabat pada 1897 hingga 1901.
Pemilik Polangolo tentu memiliki kalkulasi layaknya pebisnis. Uang yang dikeluarkan akan dikembalikan dengan jumlah yang lebih besar bila yang dibiayainya menang. Uang mereka memang bekerja untuk mempengaruhi pemilih sampai ketingkat paling bawah. Mulai dari membeli pakaian dan perlengkapan olahraga, sampai menggerakkan mesin pemenangan.
Sejumlah survey menemukan, mayoritas calon pada pemilihan kepala daerah serentak mendapatkan dana dari penyandang dana. Survei yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2018 misalnya menemukan 82,3 persen calon kepala daerah mengakui adanya donatur dalam pendanaan mereka.
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango mengatakan, pendana akan mengharapkan balasan ketika calon yang dibiayainya menang. KPK menemukan, 83,80 persen dari 198 responden mereka atau calon kepala daerah menyatakan akan memenuhi harapan tersebut ketika dia menjabat.(https://sulsel.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/survei-kpk-823-persen-calon-kepala-daerah-dapat-dana-dari-donatur-regional-sulsel/1)
Di tingkat bawah, uang itu mengalir untuk mempengaruhi pemilih, terutama yang tidak terlalu peduli isi program atau track record calon. Namun ada pula yang masih kritis dan menolak tawaran Polangolo itu.
Seorang pemangku adat di desa bercerita didatangi oleh tim sukses salah satu kandidat calon kepala daerah. Dia ditanya apakah lembaganya butuh perangkat baju adat yang baru. Dia menjawab, yang dibutuhkan bukan pemberian baju. Tapi kebijakan yang mendukung lembaga adat dalam menjalankan fungsinya. Si timses lalu pergi dan tidak muncul lagi.
Ada pula yang menawarkan seperangkat pakaian olahraga berikut bolanya kepada seorang tokoh masyarakat. Sebelum menerima tawaran itu si tokoh bilang kepada si pemberi bahwa dia tidak akan meminta apalagi menjamin kelompoknya akan mendukung jagoan di pemberi bantuan. Yang menawarkan tidak muncul lagi.
Politik Polangolo memang sudah merusak demokrasi. Membuat rakyat makin menderita. Lihatlah kondisi para petani di pinggir danau Poso yang seperti berjuang sendiri mempertahankan sawahnya yang terancam hilang. Para politisi itu absen saat dibutuhkan warganya. Mungkin baru muncul lagi jelang pemilu. Surat yang dikirimkan kepada DPRD meminta agar suara mereka didengar dalam forum resmi lembaga itu belum kunjung dibalas. Entah mengapa.
Hidayat Bungasawa, ketua komisi I DPRD yang dikonfirmasi mengenai tidak adanya respon lembaganya mengatakan hal itu kemungkinan terkait administrasi. Dia hanya mengatakan, sudah mendengar sawah-sawah yang terendam.
Kepala desa Meko, kecamatan Pamona Barat, I Gede Sukaartana yang mengirimkan surat itu sekitar satu bulan lalu mengatakan, minimal wakil rakyat mendengarkan apa yang dirasakan para petani yang sudah tidak bisa menanami sawahnya.
Kembali ke politik pilkada 2020 yang tinggal menghitung hari. Ada 3 kandidat berebut kursi Bupati dan wakil Bupati Poso. Seperti kata Yus, mereka semua berencana membuat kabupaten Poso menjadi lebih baik. Namun pengalaman 4 kali pemilu legislatif dan 3 kali pilkada sebelumnya menunjukkan, para politisi yang terpilih tidak hadir di urusan-urusan paling dasar warga. Contohnya air bersih. Warga di kecamatan Poso Kota bersaudara kerap berteriak bagaimana layanan air bersih yang tergantung musim. Jika sungai banjir, keruh pula air yang keluar di keran, bahkan kadang air tidak mengalir berhari-hari.
Yang lebih susah tentu warga di kelurahan Bukit Bambu kecamatan Poso Kota Selatan. Warga disana setiap hari bisa melihat sumber air terbesar yakni sungai Poso mengalir. Jaraknya tidak lebih dari 4 kilometer, tapi jangan harap dapat jatah air bersih kalau tidak antri sejak dinihari di sumur umum yang ada di ujung kampung. Upaya mengatasi persoalan air bersih di kampung ini bukan tidak pernah dilakukan. Namun alokasi anggarannya terlalu kecil. Itupun sumbernya dari CSR sebuah bank. Tidak sebanding dengan anggaran pelebaran jalan dalam kota.
Pemilu akan digelar 9 Desember 2020. Sebagian besar dari 158,646 orang warga Poso yang terdaftar dalam DPT akan memberikan suaranya kepada 3 calon Bupati dan wakil Bupati serta 2 calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Siapapun yang akan terpilih adalah pemimpin kita semua. Namun sebaiknya, jangan terlalu berharap bahwa janji-janji yang disemburkan waktu kampanye akan diwujudkan. Apa yang dialami petani di pinggir danau Poso dan warga di kelurahan Bukit Bambu cukup jadi pelajaran, bahwa rakyat harus berjuang sendiri untuk mendapatkan haknya, yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh negara. Tidak berharap kepada para politisi yang hidup sejahtera berkat suara yang mereka sudah berikan.