Sebuah perahu meluncur di bawah jembatan Pamona sekitar pukul 9 malam, dilengkapi lampu penerang yang diarahkan ke air sungai yang bening itu, sehingga jika ada ikan yang berenang sedalam satu meter akan kelihatan. Itu adalah perahu Toponyilo, yang sedang mencari ikan di hulu sungai Poso.
Toponyilo adalah sebutan bagi para nelayan yang menangkap ikan di malam hari dengan cara menombak. Ketika ada ikan yang terkena sorot lampu, dengan sangat piawai mereka akan mengikutinya dan menombak ikan tersebut dalam posisi berdiri dari atas perahu. Kegiatan ini disebut Monyilo. Jenis ikan yang mereka sasar adalah ikan Mas dan juga ikan Sidat, yang dalam bahasa setempat disebut Masapi.
Papa nTobongi, demikian orang menyapa sang nelayan –atau bapaknya Tobongi adalah ayah dari tiga orang anak. Pekerjaan Papa nTobongi adalah petani sawah meski di malam hari dia juga menjadi Toponyilo. Hasil menangkap ikan di malam hari ini sangat membantu ekonomi keluarganya. Papa nTobongi tinggal bersama keluarganya di bentaran hulu sungai Poso, di sebuah rumah sederhana yang dibangunnya di pinggir sawah milik keluarganya.
Hingga pada suatu waktu, ketentraman hidup masyarakat di wilayah ini terusik oleh hadirnya sebuah perusahaan yang membangun beberapa turbin PLTA dengan memanfaatkan aliran sungai Poso. Salah satu turbin dibangun sedemikian dekatnya dengan wilayah pemukiman dan aktifitas warga. Untuk memenuhi kebutuhan pasokan air ke turbin yang satu ini, hulu sungai Poso harus mereka keruk. Banyak areal sawah yang berada di wilayah pengembangan proyek tersebut harus dibebaskan oleh pihak perusahaan, dan salah satunya adalah sawah milik Papa nTobongi yang luasnya 50 are. Bahkan Jembatan Pamona, yang sesungguhnya merupakan bukti sejarah semangat gotong ronyong (Kasintuwu) masyarakat Pamona, harus dibongkar. Beberapa warisan budaya lainnya juga bernasib sama dengan jembatan tersebut.
Ketika tiba saatnya negosiasi harga, Papa nTobongi tidak menyetujui nilai yang ditawarkan oleh pihak perusahaan yang menurutnya terlalu murah. Dia lalu bersikukuh untuk tidak melepas sawahnya. Namun pihak perusahaan tidak kehilangan akal. Mereka mengunjungi Papa nTobongi di rumahnya dan menawarkan sesuatu yang sepertinya tidak dapat dipercaya, karena terlalu muluk.
Utusan perusahaan berkata kepada Papa nTobongi, “kawasan ini dalam waktu dekat akan berkembang, akan menjadi kota modern. Kami ingin membangun rumah yang cocok dengan perkembangan tersebut untuk ditinggali keluarga bapak. Karena rumah seperti ini pasti akan kena gusur,” katanya sambil melihat iba rumah Papa nTobongi.
Ine nTobongi bertanya dalam keheranannya, “maksudnya rumah itu gratis?” Sang tamu segera menjawab, “ya, gratis, semacam bedah rumah.”Pasangan suami istri itu saling memandang dan tampak ada senyum yang tersungging di bibir Ine nTobongi.
Utusan perusahaan melanjutkan. “Untuk mempermudah pembuatan IMB, sertifikat tanah ini akan kami pinjam dan beberapa dokumen kesepakatan perlu ditandatangani. Semua gratis. kami hanya ingin memastikan bahwa tempat tinggal bapak sekeluarga cocok dengan kota modern. Dan selama pembangunannya, bapak sekeluarga akan tinggal di rumah yang disediakan oleh perusahaan. Bapak setuju?”
Papa nTobongi melirik ke arah istrinya yang juga sedang tenggelam dalam lamunannya tinggal di rumah bagus yang disediakan secara gratis. Karena melihat sang istri hanya memandangnya dengan mata nanar, Papa nTobongi langsung mengiyakan.
Setelah pembangunan selesai, keluarga Papa nTobongi dikembalikan ke tempat mereka semula yang kini telah berubah. Di atas lahan mereka telah berdiri rumah mewah yang besar, lengkap dengan kolam renang. Di garasi ada mobil bagus. Papa dan Ine nTobongi tidak percaya apa yang mereka lihat.
Ine nTobongi kelihatan lemas berdiri di sampng suaminya. Untung Papa nTobongi cepat meraihnya ketika Ine nTobongi hampir jatuh. Sendi lututnya terasa mau copot. Dia kembali bertanya kepada orang yang baik hati itu apakah benar rumah megah itu milik mereka. “Benar,” kata si dermawan. “Sila masuk dan nikmatilah segala kemewahan dunia modern,” tambahnya. Ketika mereka masuk, di dalam rumah sudah tersedia bahan makanan untuk jangka waktu beberapa bulan. Ine nTobongi tinggal memasak saja. Sebelum si dermawan pulang, Papa nTobongi diajari mengemudikan mobil sampai bisa. Setelah itu sang dermawan pun menghilang.
Hari-hari berlalu. Papa nTobongi dan keluarganya hidup bagaikan di alam mimpi. Namun dengan berjalannya waktu, persediaan makanan mulai menipis. Listrik mulai bunyi minta pulsa, minta diisi pulsa. Tak lama setelahnya, listrikakhirnya mati sendiri. Bensin di mobil sudah habis.
Papa nTobongi terbangun dari kesejahteraan palsu itu lalu berjalan kebelakang rumah yang mungkin masih bisa digarap, namun tidak ketemu. Semua sudah jadi taman buatan. Mau monyilo, tidak bisa lagi karena sungai telah dikeruk dan menjadi sangat dalam. Tidak ada lagi ikan yang akan tersorot lampu.
Kini, giliran papa nTobongi dan keluarganya yang menghilang entah ke mana karena tidak bisa mengurus rumah mewahnya dan juga tidak punya sumber kehidupan. Yang kemudian kelihatan di rumah mewah tersebut adalah si dermawan yang mengambil alih semuanya dengan mudah.
Kotanya menjadi modern, namun keluarga Papa nTobongi kini tersingkir.