“Kami turun ke jalan untuk mengingatkan. Jangan lakukan itu. Kami melihat pengeboran watu moali didasar sungai itu berhubungan langsung dengan Goa Pamona. Kami melihat kegiatan itu semakin memprihatinkan”(Pdt Yombu Wuri)
Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP) memprotes pengeboran Watu Moali atau batu lebar yang ada didasar sungai Poso yang terhubung dengan goa Pamona oleh PT Poso Energi sebagai bagian dari proyek Poso River improvement atau proyek yang disebut sebagai Penataan Sungai Poso. Proyek ini bertujuan meningkatkan debit air untuk kepentingan memutar turbin-turbin listrik perusahaan yang dimiliki keluarga Jusuf Kalla.
Aksi protes itu dilakukan dengan Megilu. Ini merupakan ritual orang Poso dimasa lalu untuk mengadukan permasalahan yang tidak bisa mereka selesaikan kepada penguasa alam semesta. Ini merupakan aksi yang kesekian kalinya dilakukan dalam 2 tahun terakhir.
Megilu menjadi simbol besarnya persoalan sosial, budaya dan lingkungan yang tengah dihadapi masyarakat di kabupaten Poso saat ini. Sementara pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melindunginya cenderung diam. Aksi protes yang disampaikan APDP pada hari Jumat 19 Februari 2021 itu menurut pdt Yombu Wuri bertujuan mengingatkan kembali semua pihak untuk bersama-sama menjaga warisan-warisan leluhur.
Goa Pamona adalah salah satu peninggalan leluhur orang Poso yang terletak dipinggir sungai Poso yang sedang dikeruk. Karena sejarahnya, Goa ini sudah ditetapkan pula sebagai cagar budaya dan teregistrasi di sistem registrasi nasional cagar budaya kementerian pendidikan dan kebudayaan. Namun keberadaannya kini terancam oleh aktifitas pengeboran batu di dasar sungai yang masih berhubungan dengan gua ini.
Selain menjadi lokasi penguburan leluhur orang Pamona. Goa Pamona yang memiliki panjang sekitar 100 meter, memiliki rongga-rongga yang turun kedalam hingga kearah sungai. Hal ini yang dikhawatirkan banyak pihak akan berdampak besar pada lingkungan apabila dilakukan peledakan atau blasting.
Disampaikan dalam bahasa Bare’e, megilu yang disyairkan berbunyi :
Ri wingke ndano moada, kaenta petubunuka / Mancumbo’o Pue Ala, tumpu ue pai tana Silau watu moali, ndatale I mPue yangi / Yowe anu ndatunggai, mantoruni gua powani Watu moali silau, ne’e ndipesaru – saru / Ri aranya lau wayau, napowani wa’a ntau
Ane ndiroso morapu, Roka mbatu damagonu / Boi datapopuloru, datebureka potobu Sumanga anu ri Gua / Ndipedongeka dulua
Raya mami ja maduda /Makuramo Roso ntiBura
Sejumlah nelayan yang sehari-hari mencari ikan disekitar lokasi pengeboran itu juga sudah merasakan dampak perubahan lingkungan akibat pengerukan dasar sungai tempat mereka mencari nafkah.
“Sudah susah kalau mau tombak ikan. Dasarnya sudah gelap karena dalam. Jadi ikan sudah tidak kelihatan,”kata papa Ge, seorang nelayan yang setiap malam mencari ikan disekitar lokasi itu. Kini para nelayan bergeser kearah danau dengan resiko yang lebih tinggi, yakni menghadapi ombak yang lebih tinggi.
Aksi Megilu sebenarnya bukan hanya untuk Goa Pamona. Sebelumnya salah satu cagar budaya yakni Situs Toyali di kelurahan Tendea sudah terdampak oleh proyek pembukaan jalan oleh perusahaan yang sama. Kepala Unit Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya pada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulutenggo, Romi Hidayat sebelumnya mengatakan, kondisi situs itu saat ini dalam pengkajian.
“Kami turun ke jalan untuk mengingatkan. Jangan lakukan itu. Kami melihat pengeboran watu moali didasar sungai itu berhubungan langsung dengan Goa Pamona. Kami melihat kegiatan itu sudah semakin memprihatinkan, menakutkan”kata Pdt Yombu Wuri dari APDP saat Megilu.
Dalam sosialisasi tentang rencana proyek pengerukan yang dilakukan perusahaan itu awal tahun 2019 lalu, hanya menjelaskan, proyek pengerukan itu untuk mengeluarkan sedimen pasir dan lumpur di dasar sungai Poso sepanjang 12,8 kilometer. Sekitar 2,5 juta kubik sedimen berupa pasir dan lumpur itu kemudian dibuang ke kawasan Kompodongi, sebuah wilayah yang memiliki dua fungsi penting. Yang pertama, Kompodongi merupakan tempat transisi bagi ikan-ikan untuk berkembang biak sebelum menyebar ke sungai hingga ke danau Poso.
Kedua, bagi warga Pamona, Kompodingi adalah tempat Mosango. Ini adalah tradisi menangkap ikan menggunakan Sango, alat yang dibuat dari lidi enau dan dilakukan secara komunal. Mosango bukan sekedar mencari ikan. Hajai Ancura, tokoh adat desa Sawidago, kecamatan Pamona Utara mengatakan. Dalam tradisi Mosango ada yang disebut Motila ri Ue yang artinya berbagi di air. Ikan dari hasil Mosango tidak untuk dijual. Mereka yang tidak mendapatkan ikan juga tidak bersedih karena biasanya diberikan oleh mereka yang mendapatkan.
Budaya hilang, alam rusak, warga menderita
Bukan hanya ancaman kerusakan lingkungan dan hilangnya tradisi budaya. Kini kehidupan para nelayan juga sudah mulai terusik juga. Naiknya air danau Poso sejak tahun lalu menyebabkan sekitar 426 hektar sawah di sekeliling danau Poso (kemudian data ini direvisi menjadi hanya sekitar 300 hektar) serta penggembalaan kerbau tradisional(Polapa Baula) yang dimiliki warga di kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Tenggara nyaris hilang.
Meski data 426 hektar itu kemudian direvisi oleh dinas pertanian. Namun tidak mengubah nasib para petani sawah di kecamatan Pamona Barat yang kini menghadapi problem serius. Banyak yang terjerat hutang karena sawah sudah tidak bisa diolah.
Made Sadya (53) misalnya. Petani di desa Meko kecamatan Pamona Barat itu sudah tidak bisa menanami seluruh petak sawahnya sejak tahun 2019 lalu. Awalnya dia tidak mengetahui apa penyebab air danau tidak surut meskipun bukan musim hujan. Dia baru mengetahuinya dari mulut ke mulut bahwa itu karena ada uji coba pintu air milik PLTA Poso.
Pada musim tanam tahun 2019, dia meminjam modal 15 juta rupiah untuk mengolah sawahnya. Namun tiba-tiba air danau naik. Padi yang sudah tinggal sebulan lagi akan dipanen mati. Tidak putus asa, dia meminjam lagi modal 15 juta untuk menanam. Dengan harapan, setelah panen hutang yang sudah sebesar 30 juta itu akan dibayar. Namun, kejadian itu berulang. Saat padi sudah selesai dipupuk, air danau kembali naik. Kali ini pihak yang memberinya hutang sudah memperingatkan dia untuk membayar.
“Sekarang kami sudah tidak bisa perkirakan kapan air ini naik. Banyak anggota kelompok petani disini yang sudah tidak mau menanam karena takut rugi. Tapi dampaknya sawah menjadi rusak. Pematang rusak dan duri tumbuh ditengah sawah”kata Made Sadya.
Andarias Sammen biasa dipanggil Pak Miko (53) petani lainnya di desa Meko mengatakan, produktifitas tanah mereka menurun drastis. Selain menanam padi, biasanya dia menanam palawija dikebunnya, tapi karena air juga menggenangi tanahnya kini dia tidak bisa berharap banyak lagi.
Dia memiliki pengalaman mirip Made Sadya. Sekitar bulan Juni tahun 2020 lalu ketika musim kemarau, di lahan seluas 1,5 hektar, pak Miko menanam jagung. Saat buah jagung sudah mulai besar, air danau tiba-tiba naik. Jagung miliknya mati
Suatu sore kami berbincang dengannya di dangau. Dengan nada pelan dia mengatakan.”Kita tinggal serahkan sama pemerintah saja. Seperti apa jadinya kami ini. Kalau begini terus, kami petani ini akan mati kelaparan”.
Tapi petani memang tetap akan menanam biarpun merugi. Sebab itu adalah panggilan jiwa. Seperti Made Sadya dan pak Miko. Ibu Katrin Penone, petani di desa Toinasa mengalami kerugian ketika sawahnya yang seluas 70 are, hanya bisa menghasilkan 60 kilogram beras akibat saat akan panen tiba-tiba terendam air danau. Padahal biasanya dia mendapat 200 kilogram beras.
“Tapi biarpun begitu kami tetap usahakan ba sawah. Jangan kondor”