Polusi Kenangan

0
1289
Pengerukan di wilayah Outlet Danau Poso oleh PT. Poso Energy ( 5 November 2019 ). Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

Beberapa malam di bulan ketujuh 2020  terdengar berbeda. Tiada lagi suara jangkrik dan angin danau yang biasanya menyapa telinga. Diganti bunyi asing dan menyebalkan.

Di usiaku yang ke delapan belas, saat matahari pulang dan udara malam mulai menyelimuti, semua suara yang biasa datang, nyamuk, jangkrik, serta semilir angin dari danau akan mulai bergantian masuk ke telinga, menemani ibu-ibu yang memanggil pulang anak-anak mereka, dan jendela kamar yang mulai ditutup sampai besok pagi.

Lima tahun berlalu dan pemandangan ibu-ibu yang memanggil pulang anak-anak mereka dan jendela yang tertutup sampai besok pagi masih terus terlihat saban sore tiba. Tapi ibu-ibu itu harus berteriak lebih nyaring. Sayangnya kemampuan ini tidak dimiliki jangkrik pohon dan nyamuk. Suara mereka tenggelam oleh deru kapal keruk yang sedang bekerja mereklamasi danau, tepat di belakang kompleks rumah kami, rumah ibu-ibu yang memanggil pulang anak-anak mereka itu.

Deru kapal keruk yang kadang dianggap suara guntur di siang hari. Suara yang akan selalu beriringan dengan kutuk: pengumuman dari gereja yang sulit terdengar, tidak jelas. Bunyi yang membuat suara televisi dinaikkan dua kali lebih tinggi dari biasanya. Bunyi yang membuat tanah bergetar dan jantung berdebar karena getarannya sama seperti gempabumi. Bunyi yang menemani dini hari para insomnia terjaga dan sampai terlelap. Bunyi yang menandakan bahwa sesuatu sedang tidak baik-baik saja, tempat kami, tempat tinggal dan hidup kami. Bunyi yang asing dan menyebalkan.

Baca Juga :  Ironi Petani Danau Poso Diminta Biayai Infrastruktur Sebagai Ganti Kerugiannya Sendiri

Aku bahkan tidak bisa menggambarkan kondisi kesehatan dan kesabaran para pasien yang dirawat di rumah sakit di kotaku, tepat di belakang satu-satunya rumah sakit, sebuah kapal keruk yang bunyinya tidak kalah nyaring dengan yang berada di belakang kompleks rumahku menderu-deru di sana, dekat dari rumah sakit. Orang sakit yang membutuhkan waktu untuk istirahat sampai benar-benar pulih, tentu saja diusik oleh bunyi kapal keruk yang bagaikan guntur di tengah badai dan getarannya yang tidak ramah itu. Suasana yang tidak tepat untuk menemani proses istirahat. Sepertinya semua pasien yang berusaha untuk tidur setelah proses penyembuhan yang melelahkan pasti setuju untuk mengutuk bunyi itu. Bunyi yang asing dan menyebalkan.

Bukan hanya suara berisiknya yang asing di telinga, namanya pun asing. Kapal keruk. Dua tahun lalu anak-anak di kompleks rumahku akan saling adu kehebatan ketika punya pengalaman naik katinting, perahu kayu bercadik yang dilengkapi dengan mesin untuk mengarungi danau di belakang kompleks rumah kami. Sekarang, tidak bisa lagi naik katinting, selain karena jalur danau di belakang kompleks penuh dengan kapal keruk juga petugas kapal keruk selalu terlihat tidak senang saat katinting melintas di tempat mereka bekerja.

Baca Juga :  Membincang Ulang Makna Kemakmuran Desa di Kelas Sekolah Pembaharu Desa

Paling baru, mulut mereka lebih sering mengucapkan ‘kapal keruk’, yang sedihnya dibarengi dengan raut wajah yang kebingungan tapi berusaha untuk lebih hebat dari cerita teman sebelumnya. ‘Kemarin saya lihat kapal keruknya tarik selang panjang terus ada pasir ditimbun di dekat sawah kakekku’.

‘Saya juga tadi pagi bermain dekat sawah dan ada petugas kapal keruk yang keren ajak foto terus petugas bilang nanti tempat tinggal kita akan jadi tempat wisata’.

‘Kalau saya tadi mau mandi di danau tapi dilarang sama om-om di kapal keruk, katanya danau sudah bukan tempat mandi’.

Seorang teman mereka yang sedari tadi diam menambahkan, ‘mamaku tadi marah-marah di rumah, karena adikku yang bayi tidak bisa tidur karena bunyi kapal keruk, mamaku nyanyikan lagu tapi bunyi kapal lebih kuat dari suara mama menyanyi’.

Teman-temannya saling berpandangan, entah mereka menyesali bahwa rumah teman mereka tepat di samping area kapal keruk, atau mungkin karena punya adik bayi yang tidak bisa tidur, atau bahkan kapal keruk yang ada selama berbulan-bulan di kompleks rumah mereka yang dulunya tenang dan nyaman. Satu hal yang mungkin mereka setujui jika kukatakan bahwa bunyi kapal keruk sialan itu adalah bunyi yang asing dan menyebalkan.

Baca Juga :  Di Bahodopi Morowali, Ikan Menghilang, Nelayan Jadi Ojek Laut

Penulis : Lani Mokonio

Editor : Neni Muhidin

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda