Terjerat Korupsi Dana Desa

0
1918
Situasi di desa. Foto : Dok. Mosintuwu/RayRarea

5 tahun terakhir,  13 orang pejabat desa di Kabupaten Poso terjerat korupsi Dana Desa (DD). 5 orang kepala desa,  4 orang bendahara desa dan 2 orang sekretaris desa telah divonis bersalah. Adapun 2 orang kepala desa kini sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian dan Kejaksaan. 

Jumlah pejabat desa di Poso yang terlibat kasus korupsi lebih banyak ketimbang yang dilakukan oleh ASN pada periode yang sama. 

Dalam catatan Institut Mosintuwu, sejak tahun 2017 hingga 2020 ada 9 orang ASN Poso yang terlibat kasus korupsi. Sebanyak 4 orang telah  divonis bersalah. 3 orang divonis melakukan korupsi kasus proyek pengadaan alat Kesehatan tahun anggaran 2013. Selain itu dalam kasus yang sama, 2 orang lagi kini berstatus tersangka, yakni mantan kepala dinas Kesehatan dan mantan Direktur RSUD Poso. Yang lain, kepala dinas Satpol PP dan Damkar juga divonis bersalah oleh pengadilan Tipikor 4 tahun penjara, subsider 6 bulan kurungan karena merugikan negara 1 miliar rupiah. Adapun 2 orang lainnya yakni  WA (40) mantan Kepala Bidang di Dinas Kehutanan Poso dan RS (35) mantan kepala seksi Dinas Kumperindag Poso telah dipecat sebagai ASN tahun 2018.

Di Sulawesi Tengah, masih diperiode yang sama tahun 2017 hingga 2020, ada 25 kepala desa dan perangkat desa yang juga dipenjara karena menggansir uang untuk warganya.

Di Indonesia, berdasarkan kelembagaan, korupsi di pemerintahan desa, berada di posisi kedua terbanyak, yakni 53 kasus dengan kerugian negara 21,4 miliar rupiah. Peringkat pertama adalah korupsi di pemerintah kabupaten dengan 62 kasus dengan kerugian negara mencapai 605,8 miliar rupiah.

Banyaknya kasus korupsi dana desa ini menunjukkan ada yang salah dengan system pengelolaannya. Biarpun administrasi syarat pencairannya kelihatan ketat, namun dalam penggunaan uangnya di lapangan menunjukkan mudahnya praktek korupsi itu terjadi.

Dari 11 orang pejabat desa di kabupaten Poso yang sudah divonis bersalah, hampir semuanya terkait dengan proyek fisik yang mereka tangani. 2 orang lainnya yang sedang diperiksa juga sama persis.

Korupsi dana desa Panjo di kecamatan Pamona Selatan misalnya, 214 juta uang desa tahun anggaran 2018 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dana itu seharusnya berasal dari proyek pembangunan gedung PAUD, pengadaan mobiler PAUD, drainase, dan markup pengadaan bibit durian. Contoh lainnya, kepala desa Katu, Fredi Lumeno menjadi tersangka karena 4 proyek fisik mulai dari jalan, jembatan gantung dan plat duiker yang semuanya merugikan negara sebesar Rp 620,670,000. Adapun pejabat desa lain tersandung laporan fiktif karena berupaya menutupi kecurangan saat mengerjakan proyek fisik.

Baca Juga :  Poso Merayakan Kebaikan Alam dan Pangan Lokal

Ridwan Bempa, Kepala Bidang Pemerintah Desa Dinas PMD mengatakan, sistem pengelolaan dana desa sebenarnya sudah ketat. Dia menyebut ada 3 kementerian yang masing-masing mengeluarkan regulasi tentang pengelolaan dana desa yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri yang harus menjadi pedoman bagi aparat desa. Namun toh korupsi terus terjadi.

Minim Pendampingan

Apa upaya pemerintah kabupaten agar kepala desa dan perangkatnya tidak lagi terjerat hukum karena salah menggunakan anggaran desa? 

Ridwan Bempa menyebut regulasi yang diturunkan pemerintah pusat membatasi peran daerah. Misalnya, Camat memiliki kewajiban melakukan evaluasi terhadap program dan laporan realisasi pelaksanaan APBDes di wilayahnya. Namun kenyataannya, banyak kepala desa yang melewati Camat. Artinya, evaluasi camat memang tidak mempengaruhi apakah anggaran mereka dicairkan atau tidak.

Meskipun dimasukkan dalam APBD, namun dalam prakteknya, dana itu langsung masuk ke rekening desa. Proses pencairannya adalah, bupati memberikan kuasa kepada KPPN untuk melakukan pencairan. Karena sistemnya pencairan langsung inilah menurut Ridwan, pihaknya tidak bisa terlalu memantau. Sebab, kewenangan tertinggi dalam pengelolaan keuangan desa adalah Musyawarah Desa.

“Apapun yang diputuskan dalam musyawarah itu tidak boleh diutak atik lagi. Karena itu peran pendamping desa itu penting, dia harus berkecimpung didalam”kata Ridwan.

Proses pencairan bisa langsung dilakukan oleh desa , yang penting persyaratannya lengkap, yaitu perdes APBDes, adanya pernyataan pelimpahan bupati kepada KPPN, dan dokumen peraturan Bupati mengenai pembagian dana desa/alokasi dana desa. Dalam pelaksanaan di lapangan, salah satu sebab banyaknya kasus korupsi yang terjadi menurut Ridwan adalah kurangnya kemampuan memahami regulasi dikalangan pelaksana di desa. 

Dalam kasus korupsi dana desa Tangkura tahun 2015 dan tahun 2016 yang merugikan negara 402,7 juta rupiah ,misalnya. Bukti fisik yang dikerjakan oleh terpidana bisa disajikan. Namun setelah laporan keuangannya diperiksa, ditemukan bahwa jumlah uang yang dikeluarkan lebih banyak ketimbang nilai pekerjaan fisik yang ditemukan.

Baca Juga :  Kaleidoskop Kesehatan Poso 2021 : PPKM Level 4 , RS dan Puskesmas Sempat Tutup

Peran Pendamping Desa

Terdapat 142 desa yang ada di kabupaten Poso, namun jumlah tenaga pendamping desa tidak sebanyak itu. Satu orang pendamping desa ada yang harus mendampingi 3 desa. Dengan kondisi seperti itu, hampir dapat dipastikan, kerja utama untuk mengawal implementasi UU desa mulai dari proses penyusunan dan penetapan APBDes dan perdes, sampai melakukan kaderisasi di desa sulit berjalan.

Yang kemudian kita dengar adalah keluhan dari dua pihak. Dari pemerintah daerah dan pendamping desa.  Yan Edward Guluda, Sekretaris Daerah mengklaim tidak semua tenaga pendamping desa bekerja. Dia bahkan menyebut hanya sekitar 20 persen yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Dari pihak tenaga pendamping desa, Sekda juga mengeluhkan banyaknya desa yang harus mereka tangani. Hal itu mempengaruhi waktu dan kesempatan mereka dalam melihat dan mengasistensi dokumen.

Sementara itu, menteri desa dan pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar menegaskan akan memoratorium perekrutan pendamping desa. Itu artinya tidak akan ada penambahan tenaga pendamping desa sebab akan fokus pada peningkatan kapasitas dari tenaga yang sudah ada. Apalagi nantinya, tenaga pendamping desa akan turut bersama-sama dengan kepala desa, mensosialisasikan SDGs Desa termasuk kebijakan yang dikeluarkan Kemendes PDTT.

Laporan hasil pemantauan ICW semester I tahun 2020 menunjukkan, dari 169 kasus korupsi di Indonesia, ada 44 kasus atau sekitar 26 persen merupakan korupsi anggaran desa. Jumlah aktor yang ditetapkan sebagai tersangka sebanyak 53 orang dengan total kerugian negara sebesar Rp16,6 miliar. Rata-rata kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp378 juta per kasus. 

Praktek korupsi di Sulteng menurut laporan ini berada di peringkat 24 dari 32 provinsi dengan kerugian negara mencapai 236 juta rupiah.

Tentu ini kabar yang tidak terlalu menyenangkan bagi kabupaten Poso maupun Sulteng. Sebelumnya Gubernur Longki Djanggola mengatakan, dari total 1,842 desa yang ada di Sulawesi Tengah. Jumlah tenaga pendamping cuma sebanyak 848 orang. Sudah begitu, ada 50 orang yang mengundurkan diri karena sudah punya pekerjaan lain.

Baca Juga :  Jejak Persebaran Austronesia Hingga Bukti Pandemi Di Masa Lalu

Berikut Data Pejabat Desa Terjerat Korupsi Dana Desa di kabupaten Poso Tahun 2018-2021

No Desa Tahun Terdakwa/Tersangka Vonis
1 Meko, Pamona Barat 2018 kades 1 Tahun 10 Bulan penjara, denda 50 juta rupiah. Subsider 3 bulan penjara
2 Meko, Pamona Barat 2018 bendahara desa 4 tahun penjara. Denda 200 juta rupiah. Uang pengganti 109 juta rupiah
3 Towu, kecamatan Poso Pesisir 2019 kepala Desa 6 tahun penjara, denda 200 juta rupiah, subsider 2 tahun penjara
4 Tangkura, kecamatan Poso Pesisir Selatan 2019 Kepala Desa 4 tahun 6 bulan penjara

denda Rp 200 juta, subsider 6 bulan, membayar uang pengganti (UP) Rp 402,7 juta, subsider 1 tahun penjara

5 Tangkura, kecamatan Poso Pesisir Selatan 2019 Sekretaris Desa 4 tahun penjara
6 Peura, kecamatan Pamona Puselemba 2019 Kepala desa 2 tahun 6 bulan, denda 50 juta rupiah subsider 1 bulan penjara
7 Peura, kecamatan Pamona Puselemba 2019 Bendahara desa 1 tahun 6 bulan penjara.
8 Peura, kecamatan Pamona Puselemba 2019 Sekretaris desa 2 tahun 6 bulan penjara, denda 50 juta rupiah, subsider 1 bulan penjara. Membayar uang pengganti Rp 130,412,000. Jika tidak membayar uang pengganti dalam jangka waktu 1 bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap,  maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Apabila hartanya tidak mencukupi maka diganti pidana 3 bulan penjara
9 Bewa, kecamatan Lore Selatan 2020 Bendahara desa 3 tahun penjara. Denda 150 juta rupiah. Subsider 4 bulan penjara.

Membayar uang pengganti 121,2 juta rupiah. Subsider 4 bulan penjara

10 Panjo, kecamatan Pamona Selatan 2020 pjs Kepala Desa 1 tahun penjara. Denda 50 juta rupiah. Subsider 2 bulan penjara
11 Panjo, kecamatan Pamona Selatan 2020 Bendahara desa 1 tahun 6 bulan penjara. Denda 50 juta rupiah. Subsider 2 bulan penjara. Membayar uang pengganti 129,8 juta rupiah, subsider 3 bulan penjara
12 Katu, kecamatan Lore Tengah 2021 Mantan Kepala desa Masih proses penyidikan di Kejaksaan Negeri Poso.

Dijerat dengan Pasal 1 dan 3, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Dalam Pasal 2 diancam dengan hukuman penjara minimal 4 tahun.

13 Tolambo, kecamatan Pamona Tenggara 2021 Kepala desa Masih Proses penyidikan di Kepolisian resort Poso

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda