Sidat atau dalam bahasa lokal Pamona disebut Masapi, punya musim. Nelayan Danau Poso bercerita musim Sidat mempengaruhi penghasilan mereka. Nelayan Toponyilo dan Topowaya di Danau Poso tahu betul bulan apa penghasilan mereka lebih banyak dan kapan lebih rendah. Toponyilo adalah sebutan bagi nelayan yang mencari sidat dengan cara menombak atau memanah. Topowaya adalah sebutan nelayan yang menangkap ikan masapi dengan menggunakan pagar bambu yang dirancang untuk memerangkap ikan.
Baik Toponyilo maupun Topowaya memiliki kalender musim . Meski sepanjang tahun mereka bisa tetap menangkap ikan, namun hanya pada bulan-bulan tertentu bisa mendapatkan hasil yang banyak. Para nelayan membagi musim Masapi menjadi 2 bagian. Pantawa dan Poili Wata.
Musim Pantawa
Musim Pantawa adalah kemunculan Masapi berukuran antara 0,8 ons sampai 2 kg. Ini dianggap sebagai pembuka musim Masapi. Musim ini dimulai pada akhir tahun hingga awal tahun depannya, tepatnya bulan Desember hingga Maret. Masapi di musim Pantawa relatif mudah ditemukan oleh para nelayan karena Masapi berenang diatas permukaan. Pantawa, dalam bahasa Pamona suku di Poso berarti anakan.
Yanis Moento, seorang Toponyilo mengatakan, Sidat paling besar yang mereka temukan di musim Pantawa berukuran 2 kilogram, tidak lebih. Di masa Pantawa ini pula, peluang mendapatkan hasil yang lebih banyak lebih besar. Biasanya mereka bisa mendapatkan sampai 9 sampai 12 ekor dalam 1 malam. Meski ada pula malam dimana nelayan tidak mendapatkan 1 ekorpun.
Yanis menggambarkan musim Pantawa dengan jejeran perahu di wilayah Monyilo
“kalau ada lima perahu berjejer biarpun agak jauh, pasti semua dapat biarpun cuma satu ekor masing-masing”katanya.
Musim Poili Wata
Musim Poili Wata adalah musim kemunculan sidat yang berukuran lebih besar , beratnya berkisar 4 sampai 20 kg. Musim ini biasanya dimulai April sampai akhir November. Para nelayan menyebut puncak musim Poli Wata hanya sampai bulan Juli. Setelah Juli, kemunculan Masapi akan berangsur-angsur berkurang. Poili Wata dalam bahasa Pamona, salah satu suku di Poso berarti kayu yang hanyut. Di musim Poili Wata, jika beruntung semalam seorang nelayan bisa mendapat 15 kilogram bahkan 23 kilogram.
Poili Wata dalam bahasa Pamona , Poso berarti kayu besar yang hanyut. Nelayan menyebutnya musim Poili Wata, karena Masapi yang dilihat seperti kayu besar hitam yang hanyut.
Di antara musim Pantawa dan musim Poili Wata, para nelayan menyebutkan ada masa lainnya yang disebut Poili Wentonu. Ini adalah masa dimana nelayan mendapat Masapi berwarna kelabu bercorak kehijauan , nelayan menyebut Masapi jenis ini sebagai Wentonu dan Masapi bercorak kuning kecoklatan yang disebut nelayan sebagai Beta’u . Para peneliti ikan menyebutkan sidat berwarna kelabu bercorak kehijauan ini sebagai anguilla bicolor, dan Beta’u disebut anguilla marmorata.
Kemunculan Beta’u menjadi tanda menggembirakan bagi para nelayan.
Yanis sudah lebih dari 30 tahun menjadi Toponyilo. Dia mengatakan, munculnya Beta’u adalah salah satu penanda baik bagi nelayan. “itu tanda akan banyak Masapi”. Mengapa Beta’u menjadi satu penanda? Menurut pengalamannya, ini adalah jenis Sidat yang bisa ditangkap dengan pancing. Sedangkan Wentonu menurut pengalaman para nelayan sulit dipancing.
Kemunculan Beta’u, juga mudah diketahui oleh nelayan yang sedang memancing. Apabila sedang banyak-banyaknya ikan menyambar umpan, terus tiba-tiba ikan berhenti memakan umpan, itu adalah tanda.
” Tanda ada Beta’u” kata Yanis.
Musim Masapi juga sering memberi kejutan. Papa Devi, nelayan pemanah ikan mengatakan, di bulan April yang sering disebut puncak Poili Wata ternyata masih ada Pantawa yang mereka temukan. Jika ini terjadi itu tanda musim Poili Wata akan lebih lama. “ Bisa jadi sampai bulan Oktober” jelasnya. Pada masa inilah para nelayan menikmati hasil yang lebih banyak dan lebih lama dibanding musim yang sama ditahun-tahun lainnya.
Musim Yang Mulai Berubah
Musim Masapi terus berjalan. Namun, hasil yang didapatkan Toponyilo kini tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Yanis menceritakan, di tahun 1992 silam, dalam semalam dia pernah menaikkan 90 kilogram Masapi ke perahunya. Padahal, waktu itu jumlah Toponyilo di mulut danau Poso mencapai 60 perahu. Lebih banyak dari saat ini. Pengalaman ini juga dialami nelayan lainnya, meskipun waktu itu jumlah nelayan sangat banyak di wilayah Monyilo , namun semua bisa memanen Masapi dalam jumlah yang sangat banyak.
“Sekarang, tidak seperti dulu lagi. Tadi malam saja, saya hanya dapat 1 ekor ukuran 2 kilogram” kata Yanis.
Pengalaman Yanis setelah hampir 20 tahun kemudian adalah berkurangnya hasil Monyilo. Kini hanya sedikit hasil yang bisa didapatkan. padahal, jumlah orang yang Monyilo juga sudah berkurang hingga lebih dari setengah. Kita bisa menghitung jumlahnya dari lampu perahu mereka yang berseliweran mengejar sidat di malam hari.
Menurunnya hasil tangkapan jika dibandingkan 10 atau 20 tahun lalu juga dikonfirmasi oleh data yang dipublikasikan oleh Profesor Krismono dari Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Balitbang KP. Prof. Krismono melakukan penelitian terhadap Masapi di Danau Poso dan menuliskan artikel berjudul Sidat, ikan ekonomis penting yang perlu dikonservasi: suatu review.
Menurut Krismono, tahun 1970, perkiraan produksi Sidat di Danau Poso mencapai 22 ton per tahun. Data diperoleh berdasarkan alat tangkap yang terpasang di Sungai Poso (Sarnita,1973). Sedangkan tahun 1980, produksi Sidat mencapai 41,5 ton. Dan tahun 1998 sebesar 30,5 ton (Anonim dalam Husnah, dkk, 2008).
Sementara itu, hasil penelitian tahun 2004-2005 menunjukkan bahwa hasil tangkapan Ikan Sidat di Danau Poso diperkirakan sekitar 22-54 ton per tahun atau sekitar 40 persen dari rata-rata hasil tangkapan total ikan di danau tersebut (Husnah, dkk. 2008).
Data ini tidak berbeda dengan apa yang ditemukan oleh para Toponyilo dan Topo Waya. Yanis Moento menceritakan, pada tahun 1990an, dari atas perahunya dia bisa memilih mana Masapi yang ingin ditombaknya.
“Saking banyaknya pilihan Masapi, saya bisa pilih pake ujung bambu. Yang kecil saya lempar jauh. Hanya yang paling besar saya tombak”.
Nelayan yang menangkap dengan menggunakan tradisi wayamasapi atau sering disebut Topowaya juga punya cerita . Fredi Kalengke, salah satu pemilik Pagar Sogili mengatakan, biasanya dia mendapatkan 22 kilogram Sogili dalam semalam. 22 Kilogram itu terdiri atas 3 ekor. Dalam setahun dia menghitung, hasil penjualan yang didapatkannya sebesar 20 juta rupiah. Besarnya hasil dari Pagar Sogili ini membuatnya menolak tawaran puluhan juta rupiah sebagai ganti rugi dari perusahaan PLTA yang sedang mengeruk sungai Poso untuk membongkarnya.
Meski belum ada studi lanjutan. Namun populasi sidat di danau Poso diperkirakan akan terus menurun. Selain karena adanya 2 bendungan PLTA di Sulewana yang berpotensi memutus ruaya sidat, Prof. Krismono dan Endi Setiadi Kartamihardja juga mencatat, selama periode tahun 2010-2012 anakan ikan sidat (glass eel) yang berruaya ke sungai Poso turun sekitar 10 juta ekor per tahun yaitu dari 36 juta ekor per tahun menjadi 35 juta ekor per tahun. Potensi induk sidat turun sekitar 3.000 ekor per tahun, yaitu dari 9.000 ekor menjadi 6.000 ekor per tahun.
Bukan hanya keberadaan bendungan, menurunnya kualitas lingkungan di sekitar danau Poso akibat limpahan bahan-bahan kimia sisa-sisa pestisida yang digunakan para petani turut berkontribusi menurunkan populasi sidat dimasa mendatang. Kedua hal ini pula yang nantinya akan mengaburkan kalender Toponyilo, sebelum hilang bersama kekayaan biota danau Poso.