“Ini soal hak kelola masyarakat Sulewana. Masak semua mau diambil. Kita akan gugat balik. Kita hitung segala kerugian yang dialami warga yang digugat perusahaan dengan alasan mendirikan Karamba diatas tanah” (Manan Abas SH/kuasa hukum 24 warga desa Sulewana)
Sudah sebulan terakhir, 24 orang warga desa Sulewana, kecamatan Pamona Utara harus datang ke Pengadilan Negeri Poso setiap hari Kamis. Mereka digugat oleh PT Poso Energi karena dianggap membangun karamba di atas tanah milik perusahaan. Dalam gugatannya, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu menyebutkan, mereka memiliki tanah seluas 4,437 meter persegi , berdasarkan sertifikat hak guna bangunan nomor 00152 di desa Sulewana. Tanah itu direncanakang akan digunakan untuk membangun Cofferdam, salah satu infrastruktur penunjang PLTA mereka.
Di dalam lokasi tanah yang diklaim perusahaan, berdiri karamba milik 24 keluarga yang mereka gugat.
Selain tanah, warga juga digugat karena dianggap menimbulkan kerugian materil kepada perusahaan karena tidak dapat melanjutkan kegiatan pembangunan cofferdam . Pembangunan cofferdam ini untuk menunjang Proyek PLTA Poso Peaker 515 MW di tanah yang mereka klaim sebagai milik perusahaan.
PT Poso Energi sendiri didalam gugatannya menyatakan baru mengetahui ada karamba di atas tanahnya pada bulan Januari 2018 dan jumlahnya terus bertambah sampai bulan Desember 2020. Menurut pihak perusahaan, karamba yang mereka gugat ini adalah karamba baru yang bertentangan dengan surat edaran Bupati Poso Nomor: 180/0650/Hukum/2019, tanggal 28 Februari 2019, yang isinya melarang warga membuat Karamba selama program kegiatan penataan Sungai Poso hingga 3 tahun kedepan sejak keluarnya edaran itu.
Perusahaan juga menyebut mereka telah menjelaskan kepada warga pemilik karamba bahwa lokasi pendirian karamba itu adalah tanah milik mereka. Selain itu perusahaan menyatakan memberikan kebijakan kepada 24 pemilik karamba uang sebesar 1 juta rupiah.
Warga menolak. Perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla ini kemudian menggugat warga.
Kuasa hukum 24 warga Sulewana, Abdul Manan Abas SH, mengatakan, kenyataannya karamba warga berada diatas sungai.
Ester Tetari, satu diantara warga yang turut digugat menggambarkan posisi karamba miliknya berada diatas sungai, di depannya ada proyek pembangunan cofferdam perusahaan yang berjarak sekitar 20 meter. Selain itu di belakang karamba miliknya ada proyek penimbunan yang juga tengah dikerjakan perusahaan.
Ester mengatakan, mereka sempat melakukan aksi memblokir jalan yang dilalui kendaraan pengangkut material timbunan itu. Tujuannya, menghentikan penimbunan di belakang karamba mereka. Dia merasa aneh jika dikatakan lokasi karamba mereka berdiri di atas tanah. Sebab, menurut dia, karamba mereka dibangun di atas air sungai Poso. Apalagi, karamba miliknya sudah dibangun sejak tahun 2017 dan sudah berkali-kali panen. Ester membantah pernyataan perusahaan bahwa karambanya baru dibangun.
Berdasarkan foto udara, terlihat bahwa karamba warga memang berada di atas sungai Poso, tepatnya di pinggir sebelah kini dan kanan sungai. Sebagai tempat memelihara ikan yang bukan kolam, umumnya karamba milik warga dibangun di pinggir danau hingga sungai Poso.
Mengenai lokasi karambanya yang diperkarakan itu, Ester, bercerita, orang tuanya dulu menjual tanah di dekat sungai kepada PT Poso Energi, namun lokasi karamba tidak termasuk yang dijual. Apalagi lokasinya memang sudah berada di atas sungai. Untuk membantah gugatan bahwa karamba mereka berdiri diatas tanah, salah satu bukti yang diajukan warga adalah bekas tempat mandi yang dibangun perusahaan tepat dipinggir sungai Poso. Di depan tempat mandi itulah, diatas sungai, karamba berdiri.
“Jika perusahaan menyatakan, lokasi karamba itu miliknya, dari mana dia dapatkan alas haknya? Sebab wilayah itu adalah sungai. Dari dulu memang sungai”kata Manan.
Sungai Poso adalah salah satu wilayah kelola masyarakat desa Sulewana yang menjadi tempat mandi dan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari serta menjadi mata pencarian lewat karamba, jauh sebelum perusahaan ini masuk.
Penguasaan tanah dipinggir sungai Poso oleh perusahaan memang semakin massif dalam beberapa tahun terakhir. Penguasaan tanah juga berdampak pada rusaknya beberapa situs budaya. Situs Toyali di kelurahan Tendeadongi kecamatan Pamona Utara, misalnya. Situs ini menjadi rusak dikarenakan pembangunan jalan sepanjang pinggir sungai Poso, dari desa Sulewana kearah selatan. Tanah yang digusur umumnya yang telah dibebaskan lewat ganti rugi jika melewati lahan kebun warga.
Penggunaan air untuk kemakmuran rakyat sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, akan semakin jauh. Pasal itu berbunyi “sumberdaya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini menjadi tanda tanya apakah pemanfaatannya benar-benar untuk rakyat atau korporasi. Apalagi, seperti perkara yang tengah dihadapi oleh puluhan warga desa Sulewana , mungkin akan semakin banyak dimasa mendatang.
“Ini soal hak kelola masyarakat Sulewana. Masak semua mau diambil. Kita akan gugat balik. Kita hitung segala kerugian yang dialami warga yang digugat perusahaan dengan alasan mendirikan Karamba diatas tanah. Jadi perusahaan mengasumsikan karamba 3 warga yang digugat dan 21 orang turut tergugat lainnya berdiri diatas tanah” kata Manan Abas.
Proses mediasi antara 24 warga dengan perusahaan sudah beberapa kali dilakukan. Bernard, salah satu pemilik karamba mengatakan, mereka pernah bertemu dengan perwakilan perusahaan. Pertemuan itu tidak menemui titik sepakat. Perkara akhirnya lanjut ke pengadilan setelah pada bulan Januari 2021 perusahaan memasukkan gugatan ke pengadilan negeri Poso. Warga tetap bersikukuh menolak membongkar karamba mereka. Apalagi setelah hanya ditawarkan biaya pembongkaran 1 juta rupiah per nama.
Warga menuntut paling tidak ganti ruginya sebesar 150 juta per kotak karamba. Ester menjelaskan, mereka mematok nilai sebesar itu berdasarkan pengalaman hasil panen dalam setahun yang mencapai 24 juta rupiah per 1 petak yang di isi 1,000 ekor Mujair.
“Mengapa kami hitung begitu? karena setelah karamba kami nanti dibongkar. generasi dibelakang nanti sudah tidak bisa lagi memanfaatkan sungai itu untuk membangun karamba”katanya.
Menggugat Balik Perusahaan
Setelah mediasi dengan perusahaan gagal, warga berunding dan memutuskan untuk mengajukan gugatan balik atau Rekonvensi. Ini adalah bentuk gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka. Dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi berbalik.
Ini adalah bentuk perlawanan warga lewat jalur hukum. Manan mengatakan, gugatan mereka ke perusahaan adalah dampak yang dirasakan warga atas beroperasinya perusahaan itu. Contohnya, akibat pembangunan fasilitas perusahaan itu sudah mengancam penghidupan warga yang memanfaatkan sungai untuk memelihara ikan di karamba.
Selain terancam tidak lagi bisa memanfaatkan sungai untuk kepentingan ekonomi, warga kini mulai mempertanyakan dampak lingkungan disekitarnya. Beberapa orang warga menyebut, kualitas air sungai yang sehari-hari mereka pakai untuk mandi, memasak dan mencuci kini mulai berubah. Pernah ikan-ikan yang dipelihara di karamba mati dalam jumlah banyak. Mereka menduga itu adalah limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
“Kami sedang menyusun gugatan balik ini. Soal dugaan pencemaran seperti yang disampaikan warga akan kami masukkan juga”kata Manan.
Persoalan hukum yang dihadapi oleh 24 warga desa Sulewana yang berhadapan dengan PT Poso Energi, pemilik 2 proyek PLTA berkapasitas 195 megawatt dan 120 megawatt itu bukanlah kali pertama. Berdasarkan catatan di pengadilan negeri Poso, setidaknya ada 5 perkara hukum yang terkait dengan persoalan tanah dan wilayah kelola sungai antara warga dengan Poso Energi.
Perkara pertama pada tahun 2017, dalam kasus perdata nomor perkara 38/Pdt.G/2017/PN Pso, gugatan ganti rugi sebesar 8,1 miliar diajukan oleh Lelly Amelia Mangerokonda, ahli waris dari Abram Palandung yang tanahnya dikuasai oleh perusahaan.
Selanjutnya, pada 14 Januari 2021 giliran 2 orang warga pemilik usaha galian C di kelurahan Petirodongi kecamatan Pamona Utara yang digugat perusahaan dengan nilai 250 juta karena dianggap wan prestasi. Perkara ini terkait pengelolaan kekayaan sungai Poso yakni pengerukan pasir di wilayah kelurahan Tendeadongi dan Tentena. Perkara ini kemudian berujung damai di pengadilan negeri Poso.
Selanjutnya ada gugatan bernomor 14/Pdt.G/2021/PN Pso yang dilayangkan perusahaan terhadap 2 orang warga desa Sulewana karena dianggap menguasai tanah seluas 625 meter persegi milik PT Poso Energi. Tidak tanggung-tanggung, kedua warga digugat membayar ganti rugi kepada perusahaan itu secara tunai dan seketika sebesar Rp 2.676.514.187.00 (Dua Milyar Enam Ratus Tujuh Puluh Enam Juta Lima Ratus Empat Belas Ribu Seratus Delapan Puluh Tujuh Rupiah).
Berikutnya, 7 orang warga. 2 orang warga menjadi tergugat, sementara 5 orang lainnya turut tergugat. Mereka dianggap wan prestasi terkait pembayaran kompensasi Pagar Sogili Nomor: 002/BA/PE-IS/PS-KRB/II/2020 dan Lampiran Surat Pernyataan tertanggal 7 Februari 2020. Selain itu warga yang menjadi tergugat I dan tergugat II dituntut membayar ganti kerugian kepada perusahaan secara tunai sebesar Rp. 100,000,000.00. Bukan hanya dituntut ganti rugi oleh perusahaan, warga yang jadi tergugat ini diminta untuk membongkar Pagar Sogili baru mereka yang ada di kelurahan Tendeadongi.
Menggugat balik perusahaan seperti yang dilakukan oleh warga Desa Sulewana, menjadi langkah hukum untuk mendapatkan hak kelola air yang telah berlangsung lama di wilayah mereka.