Pengetahuan yang melahirkan kesadaran kritis, akan mendorong perjuangan warga atas hak-haknya. Pernyataan ini disampaikan oleh Muhamad Taufik D. Umar, seorang aktivis sosial yang juga pengacara di Poso.
Pengetahuan kritis inilah mendorong 20 orang perwakilan petani, nelayan, tokoh adat dari Pamona, Sawidago, Meko, Tonusu , Buyumpondoli memulai langkah hukum sebagai wujud perjuangan atas hak pengelolaan sumber daya alam dan hak kebudayaan. Mereka menyusun sendiri dokumen gugatan kepada perusahaan yang telah menimbulkan kerugian pada masyarakat.
Kesadaran ini dimulai dari kisah eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlangsung di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah . Eksplorasi dan eksploitasi yang telah mendorong terjadinya pengambilalihan lahan, perampasan tanah, diskriminasi hingga kriminalisasi terhadap warga. Hal ini menempatkan para petani, nelayan, buruh hingga pegiat budaya serta agamawan rentan berhadapan dengan persoalan hukum, terutama bagi mereka yang memperjuangkan hak dan keadilan. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman mengenai hukum dan proses hukum, sangat sering melemahkan warga dan memudahkan proses eksploitasi berlangsung secara massif dan terstruktur.
Kehadiran PT. Poso Energy , perusahaan listrik tenaga air adalah salah satunya. Perusahaan milik keluarga JK yang mengeksploitasi air sungai dan Danau Poso sejak kehadirannya telah menimbulkan berbagai persoalan pengabaian hak-hak masyarakat, penghilangan dan perusakan kebudayaan.
Sejak April 2020, petani di sekeliling Danau Poso mengalami dampak gagal panen dari uji coba pintu air PT Poso Energy . Gagal panen yang dialami oleh warga berdampak pada kemiskinan. Beberapa petani bahkan tidak lagi bisa mengolah sawahnya. Hingga saat ini, PT Poso Energy tidak bertanggungjawab pada dampak yang ditimbulkannya. Pada akhir tahun 2020, nelayan Toponyilo dan nelayan Toperono tidak bisa melakukan aktivitas mencari ikan karena wilayahnya dikuasai oleh aktivitas perusahaan. Sejak 2019, perusahaan melakukan pengeboman wilayah alur sungai, termasuk mencoba melakukan aktivitas pengeboran di wilayah zona pendukung Gua Pamona yang dilindungi sebagai cagar budaya. Ini hanya sebagian dari contoh yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah eksplorasi dan eksploitasi Danau Poso.
Saat berhadapan langsung dengan eksploitasi alam dan perusakan kebudayaan, warga ditinggalkan oleh negara. Pemerintah Daerah mensahkan aktivitas perusakan lingkungan dan penghilangan kebudayaan ini dengan dalih penataan sungai, anggota DPRD mendukung dengan alasah APBD, sementara tokoh agama berebutan mendoakan dengan alasan demi kesejahteraan masyarakat. Sendirian, ditinggalkan oleh negara, warga melakukan perjuangannya sendiri.
Training paralegal membekali warga untuk meneruskan perjuangan atas hak-haknya dalam serangkaian langkah hukum. Semangat restoratif justice yang ada dalam Peraturan Mentri HUkum dan HAM No.3 tahun 2021 tentang paralegal menjadi proses integral dalam hukum Indonesia, menjadi landasannya.
Sejak Kamis hingga Sabtu, 15 – 17 April 2021, bertempat di sekretariat Aliansi Penjaga Danau Poso, perwakilan petani dan nelayan memulai seri training paralegal. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu bekerjasama dengan LBH Poso ini difasilitasi oleh Muhamad Taufik D. Umar, ketua LBH Poso yang juga seorang pengacara, dan Evani Hamzah seorang aktivis sosial yang juga seorang pengacara. Training membicarakan mengenai hukum pidana, hukum perdata, hukum lingkungan, perspektif perempuan dalam hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam, dan bagaimana peran paralegal. Menjalankan kerja-kerja paralegal sebenarnya bukan hal baru bagi sebagian peserta yang sebagian besar adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, agamawan dan kepala desa. Namun, menjalankan peran paralegal dalam konteks perjuangan atas pengelolaan sumber daya alam , lingkungan dan kebudayaan menjadi langkah yang disepakati bersama dalam forum ini.
Pengetahuan dasar tentang hukum-hukum ini berakhir pada disusunnya bersama draft dokumen gugatan class action warga atas kerugian yang disebabkan oleh PT. Poso Energy. Salah satu pokok dokumen gugatan class action adalah terendamnya ratusan hektar sawah warga akibat uji coba pintu air PLTA , serta perusakan Kompodongi.
Berlin Modjanggo, salah seorang petani yang juga tokoh adat asal Desa Meko menyatakan :
“Hak-hak warga yang kami perjuangkan. Kami sudah menempuh jalur di luar pengadilan yaitu dengan mengirimkan 3 kali somasi kepada PT Poso Energi. Somasi kami tidak dihiraukan. Class action ini pilihan hukum kami untuk memperjuangkan hak kami”
Sementara itu, Christian Bontinge, anggota Aliansi Penjaga Danau Poso yang juga tokoh adat asal Pamona menyampaikan alasan mengapa perjuangan warga melalui jalur hukum ini penting dengan mengutip ayat 3 dari Pasal 33 UUD 1945.
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya jika tidak untuk kemakmuran rakyat dan malah memiskinkan rakyat dengan terstruktur, maka rakyat harus berjuang agar mandat Pasal 33 UUD 1945 itu terjadi”