21 April 2021. Dua jam 30 menit, saya menikmati sebuah pagelaran indah. Sebuah dialog antar perempuan desa.
“Perempuan punya ketangkasan, ketelitian, dan kecepatan dalam merespon hal-hal penting yang seringkali dianggap sepele “ Ujar Yettidian Merontjo “ Kemampuan ini sangat penting dalam pembangunan desa yang berkelanjutan”
Dian, demikian dirinya dipanggil, merasakannya saat menjadi kepala desa di Sepe, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso. Menjadi kepala desa bukan impian Dian, apalagi dia lulusan sekolah Teologi. Desakan dari masyarakat khususnya kelompok menengah ke bawah mendorong Dian untuk memikirkan kembali kepentingannya. Dian berefleksi, masyarakat di desanya sudah tidak lagi percaya pada pemerintah desa, tidak adanya transparansi dalam pelaksanaan pembangunan, serta potensi sumber daya alam desa yang terbengkalai. Dian akhirnya mendaftarkan diri menjadi calon kepala desa, dan terpilih.
Meskipun memiliki kemampuan yang disebutkannya, Dian menceritakan tantangan dalam memimpin di desa, pertama-tama karena dirinya perempuan.
“Perempuan dianggap lemah, tidak mampu. Bahkan sering dibandingkan dengan kemampuan laki-laki mengerjakan hal fisik. Saya membuktikan dan memberikan contoh bahwa perempuan lebih baik dalam memimpin desa bukan hanya dengan melibatkan perempuan dalam pekerjaan fisik, juga pelajari semua aturan pemerintah pusat hingga ke daerah dan menerapkannya di desa”
Cerita Dian, menjadi salah satu cerita tentang bagaimana perempuan memimpin di desa dalam seri diskusi online Pembaharu Desa. Diskusi yang dilaksanakan dalam rangka hari Kartini ini diikuti 39 lulusan sekolah perempuan Mosintuwu melalui jaringan internet.
Dian dalam ceritanya tentang bagaimana perempuan bisa memimpin di desa mengatakan pendidikan pada perempuan sangat penting. Pernyataan ini dibenarkan namun juga dikoreksi oleh Lina Laando, seorang pemimpin kelompok perempuan di Pamona dan Velma Riri seorang paralegal kasus kekerasan terhadap perempuan di Lore Selatan . Menurut Lina dan Velma, bukan tingkat pendidikan yang menentukan tapi wawasan dan pengetahuan perempuan yang luas. Wawasan dan pengetahuan ini bisa didapatkan dalam serangkaian training , workshop, seminar termasuk melalui sekolah perempuan .
“Saya ini lulusan SMP tapi saya dipercaya untuk memimpin kelompok perempuan dan menjadi paralegal untuk kasus-kasus sumber daya alam di sekitar saya “ ujar Lina.
Sementara Velma menyebutkan :
“Pengetahuan yang saya dapatkan di kelas sekolah perempuan membuat saya bisa mandiri dan menentukan sikap serta mengambil tindakan untuk aktif melindungi perempuan korban” katanya “ saya yakin kita bisa menjadi pemimpin yang membaharui lingkungan di sekitar kita tanpa harus duduk di struktur pemerintahan desa”
Pendidikan informal yang memberikan pengetahuan dan ketrampilan luas yang didapatkan di kelas -kelas sekolah perempuan Mosintuwu disebut-sebut oleh seluruh peserta diskusi sebagai modal dasar dalam menjadi membuat pembaharuan di desa.
“Kita belajar tentang hak layanan masyarakat di sekolah perempuan. Saya mulai dari mengadvokasi layanan masyarakat di kelurahan. Saya mengkritik pemerintah kelurahan yang sudah lebih dari sebulan tidak masuk kantor dan hanya datang sebentar lalu cepat pulang sehingga menyulitkan masyarakat yang butuh layanan administrasi” cerita Martince Baleona, seorang ketua RW.
Kritik terhadap kinerja pemerintah kelurahan yang dilakukan Martince dengan mengajak wartawan ini mendapatkan perhatian dan berujung pada perubahan kinerja pemerintah kelurahan.
“Lurah dan staff lain bukan hanya rajin masuk kantor , tapi juga mereka mulai mendiskusikan hal-hal kecil dengan masyarakat terutama saya , jika ada proyek-proyek yang masuk di desa “ lanjut Martince.
Diceritakan oleh Martince, suatu saat ada proyek perbaikan jalan di kampungnya. Belum sebulan, jalan yang diperbaiki sudah mengeluarkan pasir kembali. Martince mendatangi pimpinan proyek dan menegur dengan mengatakan :
“Lebih bagus kualitas septitank di rumah saya daripada proyek jalan yang dibayar ratusan juta”
Pimpinan proyek tersinggung dan marah. Martince tidak bergeming dan meminta agar jalan diperbaiki kembali tanpa dibiayai sebagai tanggung jawab proyek. Permintaannya diikuti. Belakangan, setiap proyek di desa diawasi ketat bukan hanya oleh Martince tapi warga desa lainnya yang menyadari itu adalah hak mereka.
Senada dengan Martince, Nia Terampe penggerak kelompok perempuan di Desa Watuawu , kecamatan Lage juga menceritakan advokasi yang dilakukannya untuk membaharui desa
“ Sejak lulus sekolah perempuan, saya sudah mulai dilibatkan dalam pembangunan desa, saya mewakili tokoh perempuan dalam musrenbang. Salah satu perjuangan saya sampai sekarang adalah air bersih. Sungai Poso sekarang sudah tercemar, setelah saya menyampaikan kritik ke pemdes, baru kemudian air segera dibenahi, saya turun langsung bekerja bukan cuma mengusulkan “
Emi Tanggola, juga menceritakan tentang pekerjaannya sebagai kasi perencanaan masyarakat ( sebelumnya adalah bendahara desa ) di Desa Didiri, kecamatan Pamona Timur. Sebagai kasi perencanaan masyarakat, Emi mendorong agar pemerintah desa dan masyarakat di desanya untuk punya mimpi tentang desa. Menggunakan metode peta mimpi desa yang didapatkannya dari kelas Sekolah Pembaharu Desa, Emi mengajak untuk membicarakan desa di 50 tahun yang akan datang, antara lain tentang pemukiman baru, tentang ketahanan pangan dan lainnya.
“Kami sekarang sudah memikirkan , jika membuka pemukiman baru di desa karena jumlah penduduk semakin banyak, apa resikonya buat lingkungan dan ketersediaan pangan buat masyarakat. Kami mulai merancang pasar untuk pangan kami sendiri ”
Tidak mudah menjadi perempuan yang memimpin di desa. Semua perempuan yang ada dalam pengambilan keputusan di desa mendapatkan tantangan. Tidak dipercaya, dipandang enteng, dianggap sangat emosional, atau tidak dapat mengendalikan masyarakat. Emi, Dian, Martince, Nia, dan lainnya membuktikannya dalam pengabdian di masyarakat.
“Saya diduga korupsi saat jadi kepala desa, dilaporkan ke kejaksaan. Tapi saya pelajari semua peraturan pemerintah dan mengikuti peraturannya, saya bisa membuktikan diri melaksanakan aturan dan penggunaan uang untuk masyarakat” cerita Dian. Dian juga menceritakan sebagai kepala desa ke 22 dan perempuan pertama yang menjadi kepala desa di desanya, ada ketidakpercayaan pada kemampuannya. Yang dilakukan Dian adalah membangun jejaring perempuan, mengajak kelompok-kelompok perempuan bersama-sama dengan dirinya untuk melaksanakan program-program di desa.
Martince menceritakan “Saya dimusuhi dianggap anti proyek pembangunan karena selalu kritik jika ada proyek di desa yang bermasalah, saya jawab bahwa itu tanggung jawab saya sebagai ketua RW tapi juga hak saya sebagai masyarakat” . Menghadapi kritik, Martince mengajak lebih banyak warga khususnya perempuan untuk menyadari hak-haknya dan memperjuangkannya tanpa takut.
Velma dari Desa Gintu, Lore Selatan menimpali pentingnya membangun kepercayaan diri perempuan sebagai pihak yang kuat dan setara dalam pembangunan desa. Menghadapi kritik atas peran perempuan dalam desa dengan kepercayaan diri tentang pentingnya perempuan dilibatkan dan jika tidak maka pembangunan tersebut sudah keliru dan akan merugikan semua masyarakat.
“Bukan hanya perempuan yang rugi jika tidak dilibatkan dalam pembangunan, tapi seluruh warga” cetusnya.
Suasana riuh, semua ingin berbicara. Mengiyakan dan menguatkan.
Dian menyebutkan perempuan bekerja sebagai pemimpin dengan memperhatikan setiap detail kebutuhan masyarakat, tidak membeda-bedakan kelas-kelas sosial masyarakat, dan mau mendengarkan. Lina menyebutkan, kepedulian perempuan pada hal-hal yang ada di sekitarnya termasuk masalah yang dianggap sepele seperti sampah dan lingkungan menjadi ciri khas yang dilihatnya dari perempuan yang memimpin di desa-desa di Poso. Ratna, dari Desa Pandiri kecamatan Lage meniatkan agar 75 % perempuan di desanya yang bisa mengambil keputusan tentang pembangunan di desa. Sebegitu penting peran perempuan.
Pentingnya peran perempuan dalam pengambil keputusan di desa diceritakan dengan lugas dan percaya diri oleh kelompok perempuan di Pandayora yang menceritakan tentang isu kesehatan pada anak dan perempuan dan pendidikan menjadi perhatian penting. Dian menimpali, setahun pertama yang dikerjakannya di desa adalah memastikan layanan kesehatan pada ibu dan anak, daripada bangunan kantor. Sebagai kader posyandu nasional, Dian menceritakan betapa pengetahuan tentang kesehatan ibu dan anak sangat penting mendasari pembangunan di desa.
“Kalau ibu dan anak sakit, saya tidak bisa membayangkan bagaimana pembangunan bisa berjalan ” sambung Martince yang juga menekankan kegiatan kesehatan dan pendidikan menjadi prioritas dalam pembangunan bahkan dibandingkan dengan jalan produksi.
Bagaimana menyesuaikan semua kesibukan untuk melayani masyarakat , memastikan semua perubahan terjadi di desa tapi juga mengatur kebutuhan rumah tangga? Peserta diskusi saling memberikan inspirasi atas pertanyaan yang digulirkan bersama ini.
Emi, menyebutkan bahwa dukungan dari keluarga sangat penting. Dian bercerita bahwa dalam rangka mendapatkan dukungan keluarga, perempuan bernegosiasi dalam keluarga mengkomunikasikan kepentingan dan kebutuhan , mengatur bersama pembagian tugas secara adil dan setara.
Martince sepakat .
“Tidak ada lagi isu perempuan yang memasak, atau wajib membuatkan sarapan di rumah. Semua diatur berdasarkan kebutuhan bersama dalam keluarga. Suami bisa mencuci pakaian atau memasak, jika saya sedang menghadiri pertemuan desa. Tapi saya juga bisa memasak dan menimba air jika suami sedang ke kebun” ujarnya. “ Pekerjaan juga tidak dilihat sebagai beban tapi kesukaan”
Dian yang sudah melayani masyarakat sejak subuh hingga tengah malam setiap hari menceritakan bagaimana dia dan keluarganya membagi waktu bersama.
“ Komunikasikan tugas dan tanggungjawab kita dengan keluarga sehingga bisa membagi waktu bersama. Ini juga akan membantu kita menentukan skala prioritas. Skala prioritas itu yang kita sepakati bersama, sehingga semua mengerjakannya dengan adil dan setara”
Saya menikmati semua dialog indah yang diutarakan dengan bebas dan penuh kesungguhan oleh para ibu lulusan sekolah perempuan Mosintuwu. Satu dengan yang lain saling melemparkan pujian dan dukungan , menyebutkan mereka saling terinspirasi.
Ratna Hingkua, dari Desa Pandiri terinspirasi dengan cerita Dian dan menyatakan dirinya akan maju menjadi kepala desa karena mengalami hal yang sama yaitu kemauan untuk membawa perubahan dalam desa. Irma, dari Desa Tokorondo menyebutkan tantangan yang diceritakan para perempuan dan bagaimana perempuan mengatasinya telah menguatkannya untuk menghadapi tanggungjawabnya sebagai anggota BPD di desanya.
Saling menguatkan menjadi kunci dari jejaring para perempuan antar desa di Kabupaten Poso ini. Meskipun sempat ada cerita tentang beberapa perempuan yang tidak mendukung perempuan yang lain , tapi semuanya bersepakat berjejaring antar perempuan sangat penting dan tidak bisa jika tidak dilakukan jika menjadi perempuan di desa . Perempuan yang berasal dari berbagai agama dan suku ini menyakini bahwa pembangunan seharusnya memanusiakan manusia.
“Kepentingan kita masuk dalam struktur kepemimpinan di desa, atau memimpin sebuah gerakan di desa hanya satu yaitu untuk pembaharuan desa yang setara dan adil bagi semua manusia” tegas Dian sembari mengingatkan bahwa pemimpin yang berpura-pura akan capek dengan sendirinya, namun jika tulus melayani masyarakat akan diberkati dalam pelayanannya. Tanpa pamrih, timpal Velma yang aktif mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Saya menikmati percakapan yang indah di antara mereka. Percakapan yang membuat imajinasi tentang pembaharuan desa yang dipimpin oleh perempuan bukan sebuah mimpi tapi sebuah keniscayaan. Saya membayangkan, Kartini yang menulis kegelisahannya tentang pendidikan bagi perempuan, tentang kesehatan bagi perempuan dan anak, pernikahan anak, toleransi antar agama , sedang tersenyum bahagia. Bahagia karena pemikiran-pemikirannya bukan hanya masih relevan dibicarakan tapi juga sedang diperjuangkan oleh perempuan yang berdialog hari ini.
Pakaroso, seruan untuk saling menguatkan mengakhiri dialog indah ini. Seruan yang menjanjikan kepemimpinan perempuan di desa yang menguatkan kedaulatan rakyat.