“Selama ini kita cenderung fokus pada eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan” ujar Yahya Rahmana Hidayat, Direktur Sumber Daya Energi Mineral Pertambangan Bappenas .
Karena itu, merancang sebuah wilayah yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati menjadi sebuah taman bumi atau geopark adalah hal bisa menghindari eksploitasi sumber daya alam. Geopark menurut Yahya Rahmana Hidaya , bertujuan konservasi, edukasi dan pengembangan ekonomi masyarakat. Selain itu juga status sebuah wilayah sebagai taman bumi atau geopark akan membuat segala bentuk pengelolaan sumberdaya alamnya akan lebih berhati-hati.
Di Indonesia saat ini ada 13 wilayah yang berstatus Geopark Nasional, 6 berstatus UNESCO Global Geopark. Saat ini 24 kawasan sedang mengajukan status Geopark. Danau Poso di Kabupaten Poso, masih sedang merancang jalan untuk bisa mengajukan status Geopark. Peraturan Presiden tentang no.9 tahun 2019 tentang pengembangan taman bumi atau geopark menyebutkan wilayah geopark adalah wilayah geografi tunggal atau gabungan yang memiliki situs warisan geologi ( geosite ) dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek warisan geologi ( geoheritage ), keragaman geologi ( geodiversity ), keanekaragaman hayati ( biodiversity ), dan keragaman budaya ( cultural diversity ).
Lalu apa yang dimiliki oleh danau Poso?
Diskusi terfokus online di hari Jumat 30 April 2021 , dengan tema geopark danau Poso, danau purba dengan keanekaragaman hayati di jantung Sulawesi , membincangkannya.
Geodiversity Danau Poso
Danau Poso yang terbentuk dari proses tektonik sekitar 3 juta tahun lalu adalah sebuah laut sempit yang menghubungkan teluk Tomini dengan Teluk Bone. Proses pengangkatan menjadi daratan ini dapat dengan mudah ditemukan bukti geologinya, antara lain temuan kerang di atas bukit Lebanu, desa Watuawu, Kecamatan Lage. Dalam Ekspedisi Poso tahun 2019, tim geologi juga menemukan ada bukti proses pengangkatan yang terjadi di tepi danau Poso , tepatnya di tebing dekat jembatan Petirodongi. Di tebing Petirodongi, terdapat singkapan batuan yang merupakan hasil pengangkatan pegunungan Pompangeo. Batuan ini dipotong oleh sesar, yang menunjukkan bahwa sejak dahulu kala pembentukan Pulau Sulawesi erat kaitannya dengan proses tektonik yang menghasilkan sesar dan gempa.
Geolog, Abang Mansyursyah Surya Nugraha mengatakan, masih sedikit yang mengetahui bahwa terbentuknya Sulawesi diakibatkan oleh tabrakan antar lempeng atau kontinen mikro. Hal ini dibuktikan dengan adanya batuan Sekis Biru yang tersingkap di pinggir jalan antara Kuku-Panjoka. Situs Sekis Biru ini hanya dapat dijumpai di beberapa daerah di Indonesia seperti situs geologi Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah dan kompleks Bantimala di Sulawesi Selatan. Batuan Sekis Biru dan batuan Sekis Hijau hanya ditemukan di kedalaman zona subduksi atau lebih dikenal dengan sebutan mega-trust.
Bukti geologi ini penting untuk untuk dijaga kelestariannya agar tidak dirusak atau dihilangkan.
Menariknya, proses geologi jutaan tahun lalu yang terjadi di Poso ini sudah diceritakan secara turun temurun. Di desa Peura ada laulita (dongeng) tentang ayam ajaib yang mengisahkan terangkatnya laut menjadi daratan.
Kekayaan geologi Poso ini membuat Ketua Pusat Penelitian Geopark dan Kebencanaan Geologi Universitas Padjajaran, Prof. Ir. Mega Fatimah Rosana, berpendapat, kekayaan geologi di sekitar Danau Poso sudah mendukung untuk diajukan menjadi kawasan Geopark. Hal itu diungkapkannya dalam acara Poso Tectonic Lake Virtual Geotour di Geotourism Festival 2020.
Biodiversity / Keanekaragaman Danau Poso
Danau Poso memiliki keanekaragaman hayati endemik yang menjadikannya salah satu lokasi laboratorium alam. Sejauh ini terdapat 50 jenis spesies biota endemik Danau Poso yang telah berhasil dideskripsikan. 11 spesies ikan, 11 spesies Crustacea (udang), 2 spesies kepiting, 25 spesies gastropoda (siput) dan 1 spesies bivalvia (kerang). Data terbaru pada 4 Januari 2021 adalah publikasi naturalis Werner Klotz dan kawan kawan yang mendeskripsikan 5 spesies baru udang endemik Danau Poso.
Masapi, atau ikan sidat menjadi salah satu alasan mengapa danau Poso menjadi satu dari 15 danau prioritas di Indonesia. Terdapat 5 Jenis sidat yang hidup di daerah aliran sungai Poso dari 18 jenis Ikan sidat yang ada di dunia, yaitu Anguilla marmorata, Anguilla bicolor pasific, Anguilla celebesensis, Anguilla borneensis dan Anguilla interioris.
Uniknya, sidat dewasa yaitu Anguilla marmorata dan Anguilla bicolor pasific beruaya ke laut dalam ( teluk Tomini ) untuk memijah, lalu anak-anaknya (glass eel) kemudian kembali ke air tawar, berenang dari kedalaman laut menuju ke sungai hingga kembali ke danau Poso. Sejak 5 tahun terakhir, jalur pulang anak ikan sidat ke danau terhalang bendungan PLTA Poso I. Upaya membuat jalur khusus atau fish way oleh PT Poso Energy masih dipertanyakan efektifitasnya.
Kekayaan biota ini juga menjadikan danau Poso sebagai laboratorium penelitian dunia yang menjadi salah satu pusat studi kehidupan biota air tawar . Namun, Dr. Fadly Y. Tantu, akademisi Universitas Tadulako mengingatkan kehidupan ikan-ikan endemik itu kini dalam ancaman dari masuknya ikan-ikan dari tempat lain baik lewat program pemerintah dimasa lalu, maupun yang sengaja dilepas oleh pihak-pihak tertentu.
Keragaman Budaya Danau Poso
Danau Poso menyimpan sejarah masa lalu nenek moyang orang Poso yang mula-mula mendiami pinggir danau. Ini bisa dilihat disepanjang pinggir sungai hingga ke danau. Watu mPogaa, misalnya. Menhir yang sampai kini bisa dilihat di halaman Gereja Bethel Pamona, kelurahan Pamona, menceritakan persebaran leluhur orang Pamona ke 7 penjuru.
Bukti danau Poso kemungkinan telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun lalu juga bisa dilacak dari sisi arkeologi. Tinggalan seperti Watu mPogaa setidaknya memberikan gambaran itu. Apalagi lembah Lore tempat berkembangnya kebudayaan megalitikum sekitar 3 ribu tahun lalu, secara geografis sangat dekat dengan danau Poso .
Sebagai catatan, berdasarkan data BPCB Gorontalo tahun 2014. Dari 87 situs yang dilindungi di kabupaten Poso, 10 situs ada di kecamatan Pamona Puselemba yang berada dekat danau Poso yakni : Gua Pamona, Rumah AC Kruyt, Ue Datu, Menhir Pamona / Watumponga’a, Ceruk Latea 1 dan Gua Latea, Ceruk Tangkaboba, Arca Kerbau Peura, Gua Tangkaboba, Watu mPangasa Angga, Watu Rumongi.
Sebenarnya jumlah situs bersejarah di pinggiran danau Poso masih banyak. Dalam perjalanan Ekspedisi Poso tahun 2019 dan 2021, Arkeolog Iksam Djorimi mencatat, selain situs yang sudah didata oleh BPCB, masih ada 19 situs yang penting dalam sejarah peradaban di danau Poso. Namun situs-situs ini belum terdaftar didalam peta sistem registrasi nasional cagar budaya. Situs-situs di pinggir danau Poso yang belum terdaftar di sistem registrasi nasional cagar budaya , antara lain : Tando Bancea, desa Bancea; Ngoyontava, Makilo, desa Boe; Bukit Lamusa, desa Korobono; Gua Tangkadao; Wawondoda I; Wawondoda II; Gua Kandela I; Gua Kandela II; Watu mPogaa, kelurahan Pamona; Posunga Kodi, kelurahan Pamona; Posunga Bangke, kelurahan Pamona; Gua Tonoha; Gua Labu I; Gua Labu II; Gua Torau 1 ; Gua Torau II; Gua Torau III; Gua Torau IV.
Bukan hanya agar para nelayan dan petani bisa terus memanfaatkan danau. Kebudayaan yang ada di pinggir danau lebih terjaga jika status Taman Bumi dilekatkan. Iksam Djorimi mengatakan, berdasarkan UU no 11 tahun 2010, pasal 3 menyebutkan, tujuan pelestarian cagar budaya adalah melestarikan budaya bangsa dan warisan umat manusa. Selain itu, meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Budaya Danau Poso
Danau Poso melahirkan tradisi kebudayaan masyarakat yang unik dan masih dekat dengan alam. Mosango, misalnya. Tradisi menangkap ikan beramai-ramai pada musim turunnya air danau di wilayah Kompodongi dan wilayah Koro Kodina , merupakan tradisi masyarakat dengan filosofi berbagi rejeki di air. Demikan pula tradisi wayamasapi, sebuah tradisi menangkap ikan masapi / sidat dengan menggunakan pagar dari bambu yang dibuat menjadi seperti eskalator yang memerangkap ikan sidat. Ada juga tradisi monyolo dan merono. Monyilo adalah tradisi menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan tombak dan bantuan cahaya lampu petromaks. Merono, merupakan cara nelayan menangkap ikan kecil yang disebut rono dengan menggunakan cahaya lampu untuk menggiring ikan-ikan ke pukat penangkap ikan.
Sayangnya, tradisi Mosango, terancam karena dampak proyek pengerukan PT Poso Energy yang mempengaruhi bentang alam danau Poso. Kawasan tempat Mosango yang bersejarah itu kini sudah hampir beralih menjadi tempat penampungan pasir dari proyek pengerukan sungai Poso yang sepanjang 12,8 kilometer itu.
Hajai Ancura, salah seorang tokoh adat Sawidago mengungkapkan kekecewaannya atas perubahan Kompo Dongi. Tahun 2019 lalu, dirinya bersama puluhan warga Sawidago masih melaksanakan tradisi Mosango di wilayah yang secara administrasi itu masuk dalam kelurahan Tentena, kecamatan Pamona Puselemba.
“Saya menyarankan, kalau untuk membangun pariwisata, maka bangunlah yang tidak menyingkirkan tradisi kita. Kita bisa buat festival Mosango di Kompo Dongi ini sebagai agenda tahunan”usul Hajai. Pariwisata berbasis tradisi tentu jauh lebih menarik ketimbang mengubah wilayah reparian, tempat ikan-ikan berkembang biak itu menjadi daratan.
Herry Yogaswara, peneliti ekologi manusia yang juga Kepala LIPI bidang kependudukan mengatakan, kebudayaan masyarakat dipinggir danau Poso selalu berhubungan dengan air tawar. Geopark menurut Herry dapat menjadi cara mengembangkan pariwisata wisata alam yang lebih bersih, aman, sehat dan melestarikan lingkungan hidup. Ketimbang pariwisata yang mengutamakan pembangunan fisik yang justru merubah alam.
——
Danau Poso menuju untuk taman bumi adalah sebuah langkah perlindungan keunikan situs geologi, keanekaragaman hayati dan warisan budaya yang terdapat dalam satu kawasan. Penetapan geopark danau Poso juga berfungsi untuk penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam konteks pariwisata , taman bumi atau geopark danau Poso akan mengembangkan bentuk wisata seperti geowisata, wisata alam, wisata minat khusus, dan ekowisata untuk perkembangan ekonomi secara berkelanjutan.
Danau Poso sebagai sebuah kehidupan , yang selama ini dipercayai dan dilakoni oleh masyarakat pada akhirnya memiliki ruang pemberdayaan masyarakat untuk kehidupan berkelanjutan.