Saya memperhatikan Icha. Seorang gadis kecil, berkulit sawo matang dengan rambut yang dikucir. Dia bergerak lincah memimpin teman-temannya yang usianya lebih muda darinya. Icha duduk di kelas VII SMP. Tidak canggung dia memberi petunjuk dan mengarahkan sekitar 25 anak desa Pinedapa. Sebuah desa dengan penduduk beragam suku dan agama di poros jalur trans Sulawesi, kecamatan Poso pesisir. Sore itu kami membawakan satu boks buku untuk dibaca bersama-sama.
Selain buku kami juga membawa pensil warna dan kertas bergambar untuk dwarnai. Icha membagikan pensil warna. Dia mencatat siapa saja yang meminjam buku dan pensil warna. Tidak segan dia menanyakan mana buku yang belum dikembalikan. Di perpustakaan Sophia, setiap anak boleh meminjam 2 judul buku dan harus dikembalikan saat kunjungan kami minggu berikutnya.
Di bawah sebatang pohon Gersen (Muntingia calabura) yang rindang anak-anak berkumpul. Semua sibuk dengan buku dan menggambar. Ada yang mewarnai. Suasana hening. Tapi tiba-tiba ada yang tertawa. Bukan hanya karena saling ledek, tapi juga karena cerita lucu di buku yang mereka baca. Kalau sudah riuh, maka Icha akan menegur. Anak-anak lain mendengarkannya. Dia dianggap pemimpin disini.
Saya menghampiri Icha, membawa kertas folio berwarna merah dan lem kertas. Saya akan mengajarinya membuat amplop buku yang akan di tempel di halaman terakhir buku. Ini cara supaya setiap buku terdata. Di dalam kertas di dalam amplop itu nanti akan dicatat judul buku, kapan dipinjam dan kapan harus dikembalikan.
Jika Icha menjadi pemimpin informal anak-anak. Maka ibu Merry adalah penanggungjawab semua kegiatan perpustakaan anak di Pinedapa. Dia sangat supel. Hampir semua warga mengenalnya. Sambil menikmati teh, saya bertanya, apa yang membuatnya tergerak membuka perpustakaan untuk anak-anak di desanya.
“Supaya ada dorang punya kegiatan sehari-hari selain bermain”katanya tersenyum.
Rupanya sudah lama dia ingin anak-anak Pinedapa memiliki pengetahuan yang luas sedari kecil. Apalagi munculnya kebiasaan bermain handphone membuat imajinasi anak-anak menjadi berkurang.
“Jadi bagus sekali punya tempat untuk anak- anak membaca, dan juga karena pandemi anak-anak tidak sekolah. Jadi bagus sekali ada tempat membaca supaya dorang tidak bosan dan tidak hanya main gedjet”kata ibu Merry.
Awalnya ibu Merry memperhatikan anak-anak yang sedang bermain-main disekitar rumahnya. Waktu itu sekitar 3 sampai 5 orang. Dia lalu memanggilnya, memberikan buku cerita untuk dibaca di teras rumahnya. Lalu, anak-anak ini kemudian memanggil teman-temannya untuk datang lagi membaca buku yang sama.
Setelah anak-anak semakin banyak datang membaca, maka permintaan buku juga semakin banyak. Orang-orang tua juga bersukur karena anak mereka tidak terpaku di gadget. Bahkan, waktu kami datang, ada orang tua yang ikut membaca. Ada pula orang tua yang mendapat informasi dari anaknya tentang buku obata-obatan tradisional. Buku itu kemudian di fotocopy oleh beberapa orang tua mereka.
Awalnya, buku-buku yang dimiliki ibu Merry sejumlah cerita dongeng yang dipajang di teras rumah. Anak-anak yang datang membaca beralaskan rumput jepang di halaman. Setelah itu, pindah dibawah pohon gersen dengan alas duduk baliho bekas.
Ibu Merry kemudian membelikan krayon untuk anak-anak berumur 4 sampai 6 tahun untuk menggambar. Sedangkan untuk anak yang berumur 11 dan 12 tahun menggunakan pensil warna dan pulpen. Mereka yang lebih dewasa juga yang bartanggung jaawab untuk menjaga buku dan mendata siapa saja yang meminjam buku.
Perpustakaan keliling bukan hanya membawa kegembiraan bagi anak-anak ditengah serbuan gadget. Di Pinedapa, buku-buku cerita membuat anak yang tadinya belum bisa membaca akhirnya jadi bisa membaca. Itu dialami satu orang anak yang duduk di kelas 1 SD.
“Dia datang mengikuti perpustakaan keliling hanya melihat gambar, akhirnya kami ajari membaca, dan itu membuat dia semangat untuk rajin datang,dan diapun sudah mulai bisa membaca walaupun biasanya dia membaca tapi masih mengeja”kata ibu Merry sambil tersenyum.
Sore itu saya melihat bibir anak-anak yang tersenyum beberapa lagi tertawa-tawa sambil mewarnai. Ada yang mengkritik warna pilihan temannya yang menurutnya tidak tepat.
Hangatnya senyuman anak-anak yang telah menunggu kami sejak siang hari, membuat perjalanan lebih 2 jam dari Tentena seolah hanya semenit saja rasanya. Perasaan lelah dan senang telah bercampur aduk, panasnya terik matahari pada siang itu membuat keringat yang membasahi baju seperti tidak terasa.
Bahagia karena melihat anak-anak di desa membaca sangat penting ditengah makin turunnya kebiasaan membaca di Indonesia. Laporan UNESCO menunjukkan, minat baca orang Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Dalam riset yang berjudul World’s Most Literate Nations Ranked, dilaksanakan Central Connecticut State University, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam soal minat baca. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Bostwana yang ada di peringkat 61.
Ini menjadi tantangan sangat serius bagi para orang tua dan pemerintah. Apalagi jika melihat data dari wearesocial pada Januari tahun 2017 lalu yang menunjukkan, orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Jauh lebih lama ketimbang membaca buku.
Salah satu sebab kurangnya minat baca itu dikarenakan kurangnya akses, terutama bagi masyarakat Indonesia yang berada di daerah terpencil. Karena itu, membawa buku, mengajak anak-anak berinteraksi dengan buku, seolah mengajak mereka membuka cakrawala, membuka lapisan demi lapisan bumi dan seisinya bahkan antariksa.
Menjelang sore, selesai mengambil foto bersama, kami pun merapikan buku dan barang-barang kami dan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan di desa berikutnya. Para anak-anak dan ibu Merry melambai pada kami yang sudah di dalam mobil dan siap untuk pergi, tak ada raut sedih di wajah mereka karena mereka tahu kami pasti berjumpa lagi bulan depan.
Sebagai pengiat perpustakaan Sophia, ini sebuah kebahagiaan bukan hanya saya tapi juga anak-anak. Dari buku.