“Air adalah darah kita. Tanah adalah daging kita. Batu adalah tulang kita. Hutan adalah rambut kita.”
Demikian kata Randi, seorang pemuda Timor, yang berkisah kepadaku tentang filosofi yang secara turun-menurun dipegang erat oleh masyarakat adat di Desa Taiftop, Mollo. Lantas, apa yang kemudian terjadi jika darah, daging, tulang, dan rambut dari tubuh bersama ini menjadi ‘sakit’ karena adanya krisis iklim?
Tulisan ini menjadi saranaku untuk mencoba menjawab pertanyaan di atas, khususnya dalam konteks masyarakat adat di Poso dan Mollo. Berbekal cerita-cerita dari wawancara bersama Lani Mokonio dari Institut Mosintuwu dan Randiano Tamelan dari komunitas Lakoat Kujawas, mari menelisik derita iklim dan kerentanan identitas dalam keseharian anak muda dan masyarakat adat di Poso dan Mollo.
Realita Krisis Iklim yang Begitu Dekat
Walaupun perubahan lingkungan merupakan suatu yang mempunyai makna mendalam untukku pribadi, aku mempunyai ‘mantel pelindung’ berupa privilese sebagai anak daerah yang sejak dini bermigrasi ke kota besar di pulau Jawa. Mantel ini melindungiku dari beberapa dampak krisis iklim sejauh ini. Namun, privilese ini tidak berlaku bagi warga di Poso dan Mollo.
Yuk, sejenak berkunjung ke Poso dan Mollo. Di Poso, Sulawesi Tengah, mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan nelayan. “Kotanya romantis. Teduh.” begitu kesan Lani akan Kota Tentena, Poso, ketika mengingat kondisi Tentena dan keseluruhan Poso ketika ia masih kecil dulu. “Sekarang, itu berubah total,” lanjutnya. Agenda-agenda pembangunan yang sejatinya memfasilitasi ekonomi instan ekstraktif mengubah Poso menjadi tempat yang padat, panas, berpolusi, dan membuat warga setempat tidak nyaman.
Di Mollo, Timor, sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani dan peternak. Sebagian lainnya adalah pekerja di sektor ekonomi informal, pekerja migran di kota besar dan negara lain, serta di sektor pariwisata yang belakangan berkembang. Bagi Randi, logika dan tutur bahasa Dawan–bahasa daerah Mollo, menjadikan cara berpikir dan bertutur penduduk setempat begitu puitis karena hampir semua hal akan dikaitkan dengan alam. Misalnya, untuk menyampaikan kemarahan, ia bisa berkata seperti ini dalam bahasa Dawan: “Aku ke kamu bagaikan daun yang gugur dari pohon.” Ah, sungguh terdengar syahdu di kuping.
Keduanya merupakan tempat tinggal beberapa masyarakat adat yang masih memegang erat nilai dan praktik budaya adat masing-masing. Nilai yang diemban terlihat dari filosofi masyarakat Mollo yang dicantumkan di awal tulisan ini. Rasanya sulit untuk masyarakat urban yang berpartisipasi aktif dalam kapitalisme sepertiku untuk betul-betul menghayati nilai tersebut. Sedangkan, di ranah praktik, ini terpampang nyata dalam banyaknya warisan leluhur berupa teknik memancing yang digunakan para nelayan di Poso untuk menghadirkan lauk di piring keluarga dan sesekali untuk dijual. Salah satunya adalah praktik waya masapi, di mana pondok berpagar bilah-bilah bambu digunakan untuk menjebak ikan sidat yang lewat. Satu waya masapi biasanya diurus bersama oleh 5-10 keluarga, di mana nelayan secara bergantian bertugas untuk menjaga pagar bambu tersebut dan berbagi keuntungan berdasarkan giliran menjaga. Selain ramah lingkungan karena tidak melukai ekosistem danau dan menangkap seadanya, teknologi adat ini juga sukses menjaga kekerabatan dan solidaritas antar-warga.
Dari konteks yang baru sedikit ini saja, mungkin kalian sudah bisa menebak bahwa penduduk Poso dan Mollo merupakan bagian dari kelompok yang berada di garis terdepan dalam menghadapi krisis iklim. Keseharian yang terus-menerus menghadirkan interaksi dengan lingkungan mau tak mau mengharuskan masyarakat adat untuk sadar akan setiap perubahan lingkungan yang dibawa oleh krisis iklim.
Salah satu dampak yang paling terasa ada di ranah agrikultur. Petani di Poso dan Mollo akhir-akhir ini semakin sering mengalami gagal panen karena kondisi lingkungan seperti suhu, ketidakpastian cuaca, cuaca ekstrim, kondisi tanah, dan juga air yang diubah krisis iklim. Hal yang sama dialami juga di sektor perikanan dan peternakan. Selain kedaulatan pangan warga Poso dan Mollo yang menjadi terancam karena pangan lokal yang gagal panen, pangan yang biasa dibeli di luar–seperti beras–juga menjadi sukar karena penghasilan yang menipis.
Mirisnya, realita krisis iklim ini dialami bersama dengan agenda-agenda pembangunan, eksploitasi alam, dan ekonomi instan ekstraktif yang sudah terlebih dahulu menyalahi keseharian masyarakat adat.
Kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak kontekstual, seperti pengadaan sertifikat tanah yang mengganggu praktik tanah ulayat (lahan yang diolah bersama oleh kelompok tani) di Mollo, menjadi contoh wujud praktik eksternal yang dipaksakan terhadap masyarakat adat dan kemudian mengganggu praktik-praktik budaya lokal yang ada. Pengadaan sertifikat tanah yang menggeser kepemilikan kolektif ke privat ini mempermudah proses pengalihan lahan demi pembangunan dan pariwisata.
Sementara itu, di Poso, hadirnya industri berpengaruh besar seperti PT Poso Energy menyalahi praktik masyarakat adat seputar sumber daya alam mereka sendiri. Di beberapa desa seperti Meko, Salukaia, dan Tonusu, sawah dan kebun terendam–dan alhasil gagal panen–karena kontrol air yang dipegang dengan kuasa penuh oleh perusahaan energi terbarukan disesuaikan dengan kebutuhan turbin perusahaan, bukan dengan praktik pertanian setempat. Hampir semua teknik memancing, seperti waya masapi, juga terancam punah karena kondisi Danau Poso yang direklamasi dan dikeruk, meskipun banyak menuai penolakan dari warga.
Untuk meminjam pikiran Cameron (2021) dalam studinya mengenai kerentanan masyarakat adat, produksi gas rumah kaca selama ini–yang menyebabkan krisis iklim itu sendiri–memang bergantung pada perampasan lahan dan sumber daya masyarakat adat. Kiasan berikut menjadi sangat relevan: sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Tercerabutnya Akar Identitas Anak Muda
Dari sini, walaupun kita bercakap secara terpisah, Lani dan Randi mengungkapkan kekhawatiran yang sama; yakni menyoal pewarisan budaya di tengah krisis iklim. Kekhawatiran ini hadir karena mereka tengah menyaksikan bagaimana budaya yang sudah menubuh satu per satu mulai terancam hilang di tengah perubahan lingkungan. Identitas adat terancam putus dan anak muda terancam akan ketercerabutan dari akarnya sebagai penerus komunitas adat.
Komunitas yang menjadi ruang Randi untuk bergerak, Lakoat Kujawas, dinamakan berdasarkan dua buah: Lakoat dan Kujawas. Buah lakoat (biwa) dan kujawas (jambu biji) digunakan sebagai nama komunitas yang giat dalam kerja-kerja terkait identitas dan budaya masyarakat Mollo ini karena merupakan buah yang tumbuh subur di dataran tinggi Mollo. ‘Ada memori dan cerita kebahagiaan di situ,’ kata Randi sembari mendongengkan bagaimana tiap warga Mollo pasti punya ingatan tersendiri dengan kedua buah tersebut. Namun, dewasa ini, lakoat semakin jarang ditemukan karena cuaca yang memanas sekitar 1,5 derajat celcius dan tidak lagi ramah bagi tumbuhnya lakoat.
Di Poso, teknologi-teknologi ramah lingkungan yang sudah dipraktikkan selama berabad-abad lamanya, seperti waya masapi, semakin sulit dipraktikkan karena kondisi perairan dan tanah yang berubah. Bahkan, tradisi menangkap ikan monyilo (memancing menggunakan senter dan/atau lampu petromaks sebagai penerangan, serta tombak untuk menombak ikan pada malam hari di perairan dangkal) sudah sama sekali tidak bisa dilakukan dewasa ini karena hilangnya bagian dangkal di Danau Poso.
Air adalah darah dan tanah adalah daging. Alam merupakan tubuh yang membentuk identitas dan keseharian masyarakat adat. Bagaimana pewarisan budaya kepada generasi penerus bisa terjadi ketika ‘tubuh’ lainnya ini menjadi ‘sakit’ karena krisis iklim?
Aku semakin merasa kalang-kabut ketika Randi menyinggung isu lain yang memberatkan permasalahan yang terjadi, yakni fenomena minggatnya anak muda ke kota. Dalam penelitian Susilowati (2016) mengenai krisis sumber daya manusia di pertanian, tenaga kerja di pedesaan berkurang drastis karena anak muda yang bermigrasi ke perkotaan dalam jumlah besar. Walaupun fokus kepada ranah pertanian, aku kira kita bisa meminjam argumen Susilowati untuk melihat mengapa anak muda menjauh dari desa—dan mata pencaharian yang tersedia di desa. Ditemukan bahwa tren ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti citra yang kurang bergengsi, adanya risiko tinggi karena bergantung pada cuaca, dan nihilnya kebijakan insentif untuk petani muda.
Kira-kira, begini pikiranku mengartikan krisis budaya yang sedang terjadi: Tongkat estafet budaya tengah dioper kepada generasi penerus masyarakat adat di Poso dan Mollo. Tapi, kok bentuk tongkat estafetnya berubah ya? Eh, sebentar, di mana pula si pelari penerus yang harusnya berdiri dengan kuda-kudanya di garis estafet? Membingungkan! Kalau begini terus, sepertinya masuk akal saja jika kita bisa membayangkan terkikisnya identitas ataupun hilangnya masyarakat adat di Poso dan Mollo secara keseluruhan di masa mendatang.
Alhasil, lahirlah kerja-kerja budaya oleh berbagai pihak yang juga berbagi kekhawatiran yang sama, termasuk anak-anak muda di Mosintuwu dan Lakoat Kujawas. Karena kita berurusan dengan pewarisan budaya, peran anak muda yang diupayakan tidak jauh dari satu kegiatan, yakni belajar.
Di Poso, Mosintuwu menghadirkan ruang bagi anak muda desa dan siswa-siswi muda untuk mempelajari nilai kebudayaan Poso melalui program Jelajah Budaya Rumah KITA. Anak-anak muda ini diajak menjelajahi dan berefleksi di 12 situs yang dipercaya dapat mencerminkan 12 nilai adat Poso. Misalnya, untuk mempelajari nilai kemandirian, jelajah akan berlangsung di Pasar Desa Salukaia. Pasar ini dibentuk dan dikelola oleh ibu-ibu setempat yang juga merancang sistem bebas plastik dengan penggunaan dedaunan. Pangan yang dijual juga berasal dari kebun ibu-ibu di Desa Salukaia. Lani juga menyebutkan bahwa waya masapi merupakan salah satu situs ‘sekolah’ imersif, karena mengajarkan nilai kesederhanaan.
Kendati antusiasme dari peserta kegiatan, sekolah jelajah budaya harus hiatus karena berlangsungnya wabah COVID-19. Lani, bersama kawan-kawan di Mosintuwu, sedang meramu ‘ramuan’ yang pas untuk proses pembelajaran yang bisa berlangsung tanpa membahayakan kesehatan warga lokal.
Sementara itu, kegiatan-kegiatan belajar yang diwadahi Lakoat Kujawas untuk anak muda di Mollo cenderung bersifat lebih organik dan spontan. Dari kegiatan pengarsipan resep aneka sambal dan sayur, lokakarya penulisan cerita pendek bertemakan lingkungan, sampai dengan kelas belajar self-esteem yang berkedok pembelajaran Bahasa Inggris; Lakoat Kujawas membuka diri untuk menanggapi keinginan warga setempat dalam melakukan kegiatan apapun, selama bisa mewadahi pewarisan budaya untuk anak muda. Pengarsipan dan eksperimen resep menjadi salah satu kegiatan favorit warga karena makanan yang perlahan menghilang dari piring warga dewasa ini bisa dilestarikan sembari bermain-main dengan cara menyesuaikan resep tradisional tersebut dengan selera masa kini. Dengan begini, anak muda tidak hanya menjadi penerima pengetahuan secara pasif, melainkan juga sebagai penggerak dan perancang proses belajar itu sendiri.
Lantas, untuk kembali ke titik awal tulisan ini: apa yang kemudian terjadi jika darah, daging, tulang, dan rambut dari sebuah tubuh bersama menjadi ‘sakit’ karena adanya krisis iklim? Yang kemudian terjadi di Poso dan Mollo adalah rasa sakit yang menular. Sakit di tubuh alam karena krisis iklim dirasakan oleh masyarakat adat di Poso dan Mollo dalam keseharian mereka. Belum lagi sakit yang disebabkan oleh ekonomi eksploitatif yang menjarah sumber daya penduduk Poso dan Mollo.
Yang kemudian terjadi adalah krisis budaya. Krisis iklim tidak dialami secara sama rata. Ancaman akan terkikisnya nilai dan praktik budaya adat yang sudah diwariskan secara turun menurun oleh leluhur di Poso dan Mollo tidak bisa dipungkiri.
Yang kemudian terjadi juga adalah perlawanan. Lani dan Randi bercerita tentang perlawanan—tentang upaya pewarisan budaya di tengah menipisnya harapan untuk keberlanjutan identitas dan kehidupan masyarakat adat. Ada titik terang yang harus dipelihara bersama.
Referensi:
Cameron, E. S. 2012. Securing Indigenous Politics: A Critique of the Vulnerability and Adaptation Approach to the Human Dimensions of Climate Change in the Canadian Arctic. Global Environmental Change. 22 (1), 103–114.
Gogali, L. (25 Februari 2020). Jelajah Budaya: Temukan Jejak Kemandirian di Pasar Desa Salukaia. Mosintuwu.https://www.mosintuwu.com/2020/02/25/jelajah-budaya-temukan-jejak-kemandirian-di-pasar-desa-salukaia/
Siruyu, P. (21 April 2021). Monyilo, Mengejar Ikan di Perairan Danau Poso: Tradisi Danau Poso. Mosintuwu.https://www.mosintuwu.com/2018/04/22/monyilo-mengejar-ikan-di-perairan-danau-poso/
Susilowati, S. H. (13 Juni 2016). Fenomena Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda serta Implikasinya Bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi 34 (1), 35-55. https://media.neliti.com/media/publications/135268-ID-fenomena-penuaan-petani-dan-berkurangkan.pdf
Catatan Redaksi : Tulisan ini pertama kali dimuat di Newsletter Pamflet Generasi Edisi Mei 2021 dengan tema Anak Muda dan Krisis Iklim