“Setiap mahluk , biota terkecil sekalipun punya tugas yang diberikan oleh sang Pencipta” demikian pernyataan Dr. Fadly Tantu, seorang ahli konservasi biota akuatik endemik dan biologi Ikan.
Jika setiap biota memiliki fungsi dalam seluruh ekosistem kehidupan, maka perusakan terhadapnya adalah perusakan pada ekosistem kehidupan. Di Poso, khususnya di areal sekitar danau, satu proses kerusakan yang cepat dan disengaja sedang berlangsung. Sebuah areal seluas kurang lebih 34 hektar yang oleh warga dikenal sebagai Kompodongi, tempat sebagian ikan yang akan menyebar ke danau dan sungai Poso direklamasi untuk menjadi taman. Tempat yang fungsi terbesar nantinya hanya untuk sekedar menambah luas daratan dan tentu saja untuk swa foto.
Ada dua fungsi penting Kompodongi. Pertama, menjaga kelangsungan tradisi masyarakat Pamona yakni Mosango. Sebuah cara menangkap ikan yang dilakukan secara bersama-sama pada saat air surut sepinggang orang dewasa. Fungsi kedua yang juga akan hilang, sumber makanan alami ikan-ikan di danau dan sungai Poso. Ikan-ikan ini menjadi sumber nutrisi masyarakat Poso khususnya yang mendiami wilayah Pamona bersaudara.
Sejak 2019, sebuah proyek kolaborasi pemda Poso dan perusahaan milik keluarga JK sedang dilakukan. Yaitu, pengerukan outlet danau Poso ke arah sungai sepanjang 12 kilometer, dan pembangunan Taman Konservasi . Kedua proyek ini saling berhubungan. Material pengerukan dibuang ke Kompodongi. Jadi, areal alami tempat ikan dan burung tinggal dan berkembang akan direklamasi menjadi tempat dimana banyak manusia akan datang berfoto-foto dan berolahraga.
Perubahan fungsi Kompodongi berkaitan erat dengan proyek pengerukan sungai untuk kepentingan turbin baru PLTA milik PT Poso Energi. Imbas proyek ini dengan cepat menghilangkan tradisi Mosango yang terakhir masih dilakukan tahun 2019. Mosango, bagi Hajai Ancura, salah satu tokoh adat kelurahan Sawidago kecamatan Pamona Utara memiliki nilai spiritual tinggi.
“Ada nilai berbagi didalam tradisi itu. Kita yang mendapat ikan berbagi dengan yang tidak dapat. Sedangkan yang tidak mendapat ikan, tidak boleh kecil hati”kata Hajai tentang nilai yang menjaga kekeluargaan didalam Mosango.
Tentu ada alasan mengapa Mosango dilakukan di Kompodongi. Peneliti danau Poso, Kurniawan Bandjolu menjelaskan, daerah yang berada di kelurahan Tentena hingga Sangele kecamatan Pamona Puselemba itu adalah zona transisi bagi mahluk hidup di danau Poso. Kawasan ini menjadi semacam tempat perlindungan sekaligus rumah bagi beragam ikan air tawar untuk tumbuh besar lalu menyebar.
Perubahan Kompodongi juga akhirnyamempengaruhi siklus air danau Poso, termasuk termasuk dalam 2 tahun terakhir, kita tidak lagi melihat air danau surut saat musim kemarau. Para petani di pinggir danau bilang, seperti ada yang menahan air sehingga tidak turun, akibatnya mereka juga tidak bisa lagi memanfaatkan lahan dipinggir danau.
“Kompodongi adalah zona transisi yang kini sudah dirubah total. Padahal, ini adalah tempat yang menjadi sumber makanan ikan.
Tentu, kerusakan alam, bukan semata karena pekerjaan manusia. Dalam sejarahnya, punahnya ikan Bungu dari danau Poso disebut sejumlah orang sebagai dampak dari letusan gunung Colo pada tahun 1983, hampir 38 tahun lalu. Namun, pendapat ini masih menjadi perdebatan dikalangan ilmuwan. Musababnya, citra satelit menunjukkan, abu letusan gunung Colo tidak melintasi danau Poso. Namun wawancara Kurniawan Bandjolu, peneliti Institut Mosintuwu dengan para nelayan di pinggir danau Poso menemukan abu Vulkanik itu sampai ke danau Poso.
“Nelayan, saksi hidup di pinggir danau Poso mengatakan, pada saat itu daun pisang rubuh. Kemudian banyak sekali kan Bungu terdampar ke pinggir danau dalam keadaan luka”kata Kurniawan. Penelitian untuk memastikan itu akan menemukan jawabannya di masa mendatang.
Seperti juga perubahan akibat peristiwa alam. Jika membicarakan perubahan lingkungan yang dilakukan oleh manusia hari ini, yakni pengerukan sungai Poso dan reklamasi Kompodongi, tentu ada konsekuensi ekologinya. Setiap mahluk hidup terutama yang ada di air punya batas toleransi untuk bertahan hidup. Baik suhu, tekanan, kekeruhan air, fluktuasi air.
Dalam proses pengerukan dasar sungai, tentu yang tersedot bukan hanya pasir, tapi juga kerang, ikan dan udang serta hewan lain. Proses ini juga menyebabkan kekeruhan air, baik di area yang dikeruk maupun dilokasi pembuangan materialnya di Kompodongi. Ini bisa jadi salah satu sebab yang mendorong percepatan kepunahan sejumlah endemik seperti udang, ikan danau Poso.
Apa manfaat udang, kerang dan ikan-ikan kecil di danau Poso? jawabannya sangat penting. Hewan yang terlihat lunak seperti udang misalnya, menjadi salah satu ukuran apakah kualitas air di danau dan sungai Poso masih sehat atau sudah tercemar. Seperti kata akademisi Universitas Tadulako, Dr FadliyTantu , semua hewan, sekecil apapun mempunyai peran masing-masing yang sangat penting.
Kembali ke soal Kompodongi. Perannya sebagai wilayah transisi perairan dan daratan. Kurniawan menjelaskan bagaimana wilayah itu menjadi sumber makanan ikan ketika musim kemarau, sebagian kawasan itu akan mengering. Pada saat itu, tanah mengurai mikro organisme yang ada sehingga menjadi makanan. Setelah hujan turun menggenangnya kembali, ikan-ikan memiliki persediaan makanan yang berlimpah.
Kompodongi bukan satu-satunya wilayah yang memproduksi makanan ikan dan hewan air lainnya. Di wilayah muara sungai Kodina di kecamatan Pamona Selatan yang ada di tengah padang penggembalaan kerbau, juga ada lokasi seperti ini. Tempat dimana warga desa sekitarnya melakukan tradisi Mosango. Untuk membuat ikan danau Poso bisa tetap melimpah tentu diperlukan banyak wilayah seperti ini. Jika ada yang tidak berfungsi, tentu akan mengganggu seluruh sistem kehidupan didalamnya.
Bukan hanya hilangnya tradisi Mosango dan tempat pengembangbiakan alami ikan yang terjadi di danau Poso. Siklus naik turunnya air sudah tidak sama lagi sejak hampir 2 tahun terakhir. Perilaku ikan yang secara naluriah mengikuti musim kini juga menjadi tantangan. Salah satunya adalah migrasi sidat yang secara alamiah saat permukaan air danau tinggi dimusim hujan. Begitu pula Gastropoda atau kerang yang banyak mendiami wilayah pantai yang dangkal. Kini kawasan pantai yang biasanya surut hingga nyaris kering itu sudah tidak terjadi belakangan ini.
Bagi sejumlah orang, fenomena ini mungkin hal biasa. Tapi mengutip Dr. Nur Sangadji, kondisi ini memiliki akibat akumulatif yang akan menjadi fatal dalam jangka panjang. Nur Sangadji adalah akademisi Universitas Tadulako dan ketua Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Sulteng.
Perubahan drastis yang sedang terjadi di danau hingga sungai Poso untuk kepentingan para pemilik modal yang berlebihan tentu memiliki konsekuensi dimasa mendatang. Geolog dan peneliti pulau Sulawesi, Abang Mansyursyah Surya Nugraha mengatakan, alam membutuhkan hingga jutaan tahun untuk mencari keseimbangannya. Namun manusia mengubahnya dalam hitungan hari. Ini mengganggu segala ekosistem didalamnya. Secara sederhana, perubahan alam itu adalah proses evolusi, namun manusia memaksanya menjadi revolusi.
Perubahan lingkungan yang sangat cepat ini menurut Kurniawan bisa jadi diluar batas toleransi atau kemampuan spesies yang ada di danau dan sungai Poso untuk mengikutinya. Jika itu terjadi maka kepunahan memang ada di depan mata.
Situs International Union for Conservation Nature (IUCN) bahkan sudah menempatkan Masapi jenis Marmorata berstatus rentan. Ini dari segi mahluk hidup. Yang lain? Kurniawan mengatakan, kita mesti khawatir, pengerukan yang membongkar dasar sungai itu berpotensi mengangkat beragam mikroba, atau zat-zat beracun semacam logam berat yang sebenarnya sudah terbenam didasar sungai.